Pages

Minggu, 15 September 2013

I want to hold your hand



Dear.

Ini bukanlah kali pertama kita bepergian bersama. Bukan kali pertama aku mengajakmu kencan.
Namun, rasa canggung tetaplah datang- aku tidak kuasa mengusirnya.
Aku bingung memilih baju apa yang harus kukenakan, aku tidak ingin terlihat tidak pantas bersanding denganmu.
Akhirnya, aku memilih setelan kemeja putih dengan celana pendek kotak-kotak, beserta sepatu putih kesayanganku dengan kaus kaki hitam yang biasa membungkus kakiku. Matahari yang terik, membuatku mengambil topi fedora putih yang kau pilih di pasar malam waktu itu.


“Aku belum pernah melihatmu mengenakan topi.”
Sebelum aku sempat membuka mulut untuk bertanya, kau dengan cepat menjawab.
“Tidak. Kau tidak akan terlihat aneh mengenakan itu.”
Ah, aku tidak pernah bisa menolakmu. Jadi, dengan  harapan kamu akan lebih menyukaiku- akupun membeli topi itu.


Tadi pagi, saat kamu membuka pintu depan rumahmu untuk menyambutku. Lengkungan senyum yang selalu kau lukiskan di wajahmu, kini bertambah lebar ketika kau melihat aku mengenakan topi itu.
Tanpa mengatakan apa-apa, akhirnya kau pun menggandeng tanganku untuk pergi dari situ.



Honey.
Ini kesembilan kalinya kita bepergian bersama. Kelima kalinya kamu mengajakku kencan.
Dan, banyak hal yang tidak berubah darimu. Dari kebiasaan-kebiasaan kencan bersamamu.
Kamu, bukanlah lelaki pertama yang mengajakku kencan.
Sedangkan, aku tau sekali bahwa aku adalah perempuan pertama yang berkencan denganmu.

Sebagai perempuanmu, aku bangga akan hal itu. Aku merasa sebagai pengecualian, sebagai perempuan yang akhirnya membuatmu memberanikan diri untuk kau ajak kencan.
Meskipun rasa canggung seringkali kuhirup bersama udara ketika ku berada di sekelilingmu. Meski seringkali ku lihat tanganmu bergetar, ketika telapak tangan kita berdekatan. Meski terlihat sekali, kamu sengaja berdandan lebih rapi ketika berkencan denganku.

Kamu, tidak pernah membuatku merasa bosan.

Meskipun di kencan-kencanku sebelumnya bersama laki-laki lain tidak pernah sedikitpun tercium aroma canggung. Meskipun mereka menyentuh kulitku, menggenggam tanganku tanpa rasa ragu. Meskipun, mereka selalu memuji dandananku kencanku yang rapi- tidak seperti kamu yang hanya tersenyum malu-malu sembari menatap aku.

Ah, kamu punya hal yang tidak mereka punya.
Kencan-kencan seharian denganmu selalu terasa mengesankan- lebih dari menyenangkan.

Seperti kencan hari ini,  kita berjalan ringan di taman.
Sesekali ku lihat kamu memicingkan mata, karena matahari yang cukup terik. Untungnya, kamu mengenakan topi itu.
Aku suka sekali melihatmu mengenakan topi fedora itu, meskipun dengan begitu aku tidak bisa menyentuh jambulmu yang tersembul.


Namun, ada yang selalu aku pertanyakan. Mengapa kamu tidak pernah menggenggam tanganku?




Dear.

Kamu, menciptakan banyak getaran di tubuhku. Di hatiku.

Setiap kali aku melihat penampilanmu, yang selalu bertambah cantik setiap harinya.
Lidahku selalu bergetar, ingin memuji penampilanmu. Namun, aku memilih untuk melengkungkan senyum sembari terus memperhatikanmu.


Setiap kali kulit kita bersentuhan, rasanya seakan disetrum. Penuh kejutan, dan mengesankan- lebih dari sekedar menenangkan.
Setiap kali kamu menyenderkan kepalamu di bahuku, meski tanganku bergetar akhirnya di kencan ketiga kita aku berani membelai halus rambut sebahumu.
Dan, aku suka setiap kali kamu menggandeng tanganku secara tiba-tiba dan memamerkan deretan gigi tanpa pagarmu itu.

Namun, aku tak pernah cukup berani menggenggam tanganmu duluan.
Aku takut, kamu akan menolaknya. Dan, aku akan menelan rasa maluku sendiri.
Dan, aku takut kamu akan melepaskannya.

Untungnya, isi kepalaku sepertinya seringkali terbaca olehmu.
Kamu menggenggam tanganku terlebih dulu, juga meminta izin ketika akan melepasnya 

Ya, aku memang bukan lelaki yang pemberani.
Namun, kamu adalah perempuanku- yang membuatku merasa menjadi laki-laki paling berani di dunia.
Meskipun tidak terlibat duel dengan lelaki bertubuh kekar, dengan otot-otot yang besar.
Meskipun tidak terlibat adegan penuh pertumpahan darah dengan preman kelas dunia.
Meskipun tidak sedang menyelamatkan nyawa seseorang.

Kamu, adalah perempuanku- perempuan pertama yang kunyatakan cinta. Perempuan pertama yang kukenalkan ke Ibu. Perempuan pertama yang memaklumi sifat pemaluku. Peremuan pertama yang kuajak kencan.
Siang tadi, aku ingin menantang kembali nyaliku.
Aku ingin menggenggam tanganmu, meeratkan pelukan di antara jemari kita.

Saat aku mendekatkan tanganku ke arah tanganmu.
Tiba-tiba suara kamera terdengar di belakang. Saat aku menoleh ke belakang, ada seorang remaja putri sedang mengambil potret kita berdua. Pandangan kami sempat bertemu, dan dia hanya diam.
Dari pandangannya, dia menungguku menggenggam erat tanganmu.
Aku reflek membatalkan niatan tersebut, dan bergeser sedikit darimu.

Uh. Dasar pengganggu. 




Atmosfir yang tercipta di antara mereka begitu manis dan nyaman.
Obrolan ringan dan lirikan-lirikan yang saling dilemparkan.
Berjalan beriringan tanpa saling berpegang tangan.

Tebakku, mereka adalah pasangan baru. Yang mungkin, belum genap 10 kali berkencan.
Lelaki ini begitu payah, sesekali tangannya bergetar bergerak mendekati tangan perempuan itu.

Aku terus berjalan di belakang mereka, sambil memegangi kamera yang terkalung di leherku.
Hingga akhirnya jari mereka pun hampir berdekatan- aku pun mengambil foto untuk mengabadikan momen (yang mungkin langka) itu.

Ternyata, suara kameraku menghentikan gerakan lelaki itu.
Dia memandangiku sekali. Setelah itu, membatalkan misinya dan bergeser sedikit dari perempuan itu.

Uh. Dasar payah.
Tyas Hanina

0 komentar:

Posting Komentar