Pages

Kamis, 11 Mei 2017

ketiak orang dewasa

sungguh,
rindu masa putih abu-abu.
saat problematika hidup hanya seputar ujian kelulusan saja,
dan drama penuh romansa seolah dunia hanya milik kami berdua.

"habis lulus mau ke mana?"
"habis ini harus apa?"
"sebenarnya aku ini siapa?"

masih penuh ambisi.
masih harum akan mimpi.
masih gemar patah hati.

-

padahal,
setelah lulus SMA,
pergi sebentar dari kelapa dua,
dan hampir berusia kepala dua.

jawabannya masih belum ketemu juga.
entah,
padahal konon katanya,
ia bersembunyi di balik ketiak orang dewasa.

-

setiap mandi ku cari ia di balik ketiakku,
berhati-hati ku angkat lengan tanganku,
tidak ada apa-apa.

 
kutelusuri jejaknya di deodoranku,
takut-takut ia tergilas zat kimia di sana.
tidak ada juga.

aneh,
 
mungkin aku yang kurang gigih mencari.
atau mungkin dia memang sangat cinta bersembunyi.
 
atau mungkin,
aku memang belum jadi orang dewasa. 

-

jadi sebenarnya jawabannya ada di mana?
ujung langit kah bersama seorang anak yang kita utus ke sana?
atau benar-benar ada di bawah ketiak orang dewasa?
 
omong-omong,
orang dewasa yang mana?
orang dewasa yang seperti apa? 
kok bisa orang dikategorikan sebagai dewasa?
orang dewasa yang gak pake deodoran kah?
orang dewasa yang rajin cabut bulu ketiak ya?
yang mana?
 
aku harus bagaimana?

Rabu, 03 Mei 2017

Tentang Pesan dan Makna



April had been the tough month for me.
I don’t know exactly how many times that i cried to sleep last month.

Here comes the fear.
Here goes the hope.



Sebenernya, gak ada satu hal yang signifikan banget terjadi.
Gak ada orang terdekat gue yang ‘pergi’. Bumi sejauh yang gue pijaki masih baik-baik saja.
Langit juga masih suka memolek dirinya setiap sore. Dan gue masih suka menengok ke langit setiap kali gue harus merasa bahwa gue pun baik-baik saja.

Tapi, entah kenapa gue terus merasa cemas.

Seseorang yang berharga bagi seseorang yang berharga buat gue, memutuskan untuk pergi dari semesta ini. Saat itu, gue merasa bahwa bumi jadi gak sepenuhnya baik-baik saja.
Seseorang memutuskan untuk datang. Lalu, tiba-tiba mengatakan bahwa gue cantik, gak kalah sama langit. Tapi, bukannya keinginan untuk terus memolek diri yang muncul. Gue justru jatuh dalam konklusi yang gak enak tentang itu.
Seseorang yang lain, dengan kerasnya menampar gue dengan kalimatnya. Bahwa, mungkin hidup gue gak berarti apa-apa, gak punya makna khusus. Selama yang gue lakuin cuma haredolin.

-

Pada saat-saat seperti ini.
Gue merasa gak bisa nulis yang muluk­-muluk. Dan takut untuk meminta sebuah peluk.

Gue jadi sering banget buka media sosial. Mencari-cari kabar entah dari siapa.
Gue juga jadi cukup sering mengunggah sesuatu di media sosial. Mengharapkan sesuatu yang entah apa.

Karena seringnya gue gak tau mau nulis apa dan ngomong sama siapa tentang ini.
Gue putuskan untuk lari dengan cara membaca.

Buku-buku yang secara acak gue temukan di salah satu ruang baca di Jatinangor. Artikel-artikel yang tiba-tiba muncul di linimasa.
Apa saja.
I crave words.

Kemudian, gue gak sengaja berkenalan dengan salah satu tulisan yang intinya bercerita bagaimana media sosial itu sebenarnya racun. Toxic.
Ini bukan tulisan basi tentang bagaimana medsos menjauhkan kita dari yang dekat dan mendekatkan kita dari yang jauh.
Tapi, dijelaskan dengan cara yang sangat logis. Bagaimana terlalu banyak informasi dapat membuat kita limbung. Dan justru bikin kita gak mampu berdiri dengan seimbang karena menanggung beban banyak dari informasi-informasi yang kita dapat.

(Ngomong-ngomong, gue mau minta maaf. Baru sadar kalau gue sering sekali memenggal kalimat di tengah-tengah frasa yang belum selesai. So sorry.)

Bangun tidur, langsung buka hape. Cek linimasa. Cari-cari berita.
Sebenernya, menurut gue itu bukan sesuatu yang sepenuhnya buruk.
Dengan tau, kita bisa jadi lebih peduli.
Dan karena saat ini gue sedang menempuh studi di bidang Jurnalistik, which isssss kerjaannya juga nulis berita.
Gue sadar betul, penting buat masyarakat untuk melek berita. Peka dan sadar sama keadaan sosial sekitarnya.

Media sosial juga gak sepenuhnya jelek kok. Ada manfaatnya juga.
Kadang-kadang, kita terlalu males buat ngontak seseorang untuk mengetahui kabarnya kan? Itulah fungsi dari media sosial.
Mengetahui sesuatu yang ingin kita ketahui tanpa perlu bersusah payah untuk itu.
Yah, walaupun sekaligus juga mengetahui hal-hal yang gak perlu kita ketahui sih.
Hehe...

-

It’s 1:30 PM. Do you know what your best friend ate for lunch?
It’s 6 AM. Do you know what the president tweeted last night?
It’s 8 AM. Do you know what your toothpaste preference says about your love life?

Pertanyaan beserta jawabannya itulah yang akan ditawarkan oleh media sosial setiap hari.
Masih banyak lagi jumlahnya dan kegilaannya.

Kita dipaksa untuk mencari tau, untuk tau. Untuk kemudian merasa perlu untuk terus tau.
Kita punya data. Banyak sekali tersedia.

“The implied promise, or one of them, is that data gives us peace of mind. We sacrifice our privacy for it, even pay for it. We told that the more we know, the better of we wil be.

Namun, sayangnya informasi-informasi tersebut justru dapat berbalik menyerang kita. Karena rasa cemas dan gelisah yang datang bersamanya.
“Truthfully, we can’t keep up with everything, with every news happening every time around the world.”

Misal. Kita tau pacar kita di rumah. Tapi, gak pernah tau apa yang sebenarnya dia lakuin di sana.
Kita dapet informasi dari mulutnya, kalau dia mencintai kita. Tapi, gak pernah tau apa sesungguhnya makna dari cintanya itu.
Is it love or is it lust?

(Maaf ya aku merasa lama-lama tulisanku ini kok jadi bergerak ke arah yang terlalu serius, makanya ku kasih contoh yang ringan saja.)

Ya gitu dah kira-kira.

-

Sebenernya yang pengen gue bahas dan kritisi adalah penggunaan media sosial yang berlebihan aja sih.
Kaya kenapa gitu kita merelakan waktu tidur kita untuk mencari tau kabar orang lain yang sebenernya gak penting-penting banget?
Kenapa harus susah payah membagikan momen menarik di hidup kita ke orang lain yang sebenernya gak perlu-perlu banget tau tentang itu?
There will be no time to reflect. To sleep. To actually create something.

Dan sungguh, gak ada satu atau banyak pihak yang gue singgung dalam tulisan ini.
Gue cuma pengen nyentil diri gue sendiri aja sih.

Kadang, gue ngerasa jarang banget ngasih kabar ke orang rumah. But at the same time, i shared anything on my timeline. Padahal nyokap mungkin jauh lebih butuh tau keadaan di semesta gue kaya gimana daripada teman-teman gue di media sosial.

Karena itulah.
Beberapa hari ini gue menarik diri dari media sosial. Gue hapus beberapa aplikasinya di telpon genggam.
And surprisinglyyyyyy.
It helps me a lot.

Gue ngerasa lebih hidup. Masih sih megang hape, buat sekedar main game atau bales chat.
Tapi, gue lega mengetahui bahwa gue baik-baik saja ketika gue tidak mengetahui temen gue jam 2 pagi lagi galauin apa di instastory, temen gue makan-makan cantik di mana jam 3 sore lewat path (ew, i actually never using path), atau temen gue lagi gelisahin apa di twitter jam 11 malem.
Kayanya kesannya apatis banget sih. Cuma, gue ngerasa pengen ngebangun hubungan yang sehat aja sama diri sendiri. Dan orang-orang terdekat gue tentunya.
Gue pengen tau kabar mereka yang sebenarnya. Seperti apa yang mereka rasakan ketika tim bola kesayangannya kalah di turnamen yang lalu. Apa yang mereka gelisahkan ketika idolanya kena dating scandal.
Gue pengen bener-bener ngobrol. Tatap muka, liat mata.
Gue pengen jadi Tyas yang lebih peduli. Tyas yang bisa jadi pendengar yang baik.
Yang gak dengerin orang curhat tapi jarinya masih scroll-scroll telpon genggam.

Dan sebaliknya.
Gue pengen orang kenal gue secara langsung.
Cari tau. Ajak ngobrol.
Gak cuma nilai gue dari apa yang gue bagi di media sosial. Bukan dari foto yang gue unggah, bukan dari bacotan gue di twitter, bahkan bukan dari tulisan gue di blog ini.

Memang, apa yang di kepala seseorang bukanlah urusan gue.
Orang lagi-lagi, bebas mau memaknai gue seperti apa.
Dengan begitu, gue juga merasa bahwa gue punya ruang untuk membiarkan orang mau memaknai gue dengan cara seperti apa. Hehe.

-


Btw ini artikel yang sempat nyubit gue kemarin : “The Power of Not Knowing” @vanschneider



Akhir kata,
Terimakasih sudah membaca.  Terimakasih sudah memberiku makna.



Jatinangor,

Tyas Hanina


P.S
10:36 AM. Do you know what i ate for breakfast? None.
Laper.