Pages

Sabtu, 15 Maret 2014

Rainy Day


Saya mungkin tidak akan lupa hari itu.
Tiga hari yang lalu.

Pagi yang masih gelap, diguyur hujan yang tak kunjung lenyap.
Dan saya harus berangkat sekolah, dilindungi jas hujan kebesaran- berada di boncengan abang Ojek langganan yang meminta ongkosnya dinaikkan.
Hujan pagi itu, tidaklah hanya gerimis tak berkesudahan.
Volume air hujan yang berlebihan, ditambah selokan yang penuh sampah. Menciptakan banjir.

Ya, peran kita- kebiasaan buruk kita membuang sampah secara sembarang yang mendatangkannya.

Menerjang banjir, jas hujan kebesaran itu ternyata tidak sepenuhnya melindungi tubuh saya.
Air hujan merembes masuk, lewat celah di leher. Sehingga baju olahraga yang saya kenakan, hingga kaos putih sebagai dalaman kebasahan.
Saya menggunakan sendal, untuk pencegahan agar kaos kaki saya tidak berbau dan kebasahan.
Saya menggulung celana olahraga sedengkul, membiarkan betis saya menjadi tontonan dan terendam air genangan.
Saya menyipitkan mata, membiarkan wajah saya ditampar air hujan.

Dan kalian tau kenapa saya serela itu?
Untuk sebuah mata pelajaran yang mengharuskan angkatan saya masuk 30 menit lebih awal untuk senam pagi bersama.
Tidak peduli, hujan lebat. Tidak peduli, bangun terlambat.

Saya sampai di sekolah, pukul 05.59. Ketika saya memeriksa penunjuk waktu di ponsel saya.
Saya datang lebih awal 1 menit dari waktu diperintahkan.
Dan saat itu, sekolah baru didatangi beberapa dari sekian banyak murid seangkatan.

Saya memakluminya, banjir dan hujan lebat mungkin menjadi alasannya.

Pagi itu, senam dibatalkan.
Waktu belajar pun dimundurkan.
Banyak siswa yang akhirnya terlambat datang.

Dan ternyata hari itu tetap penuh kejutan.
Senam itu dilanjutkan pada siang hari.
Siswa yang baju olahraganya kebasahan panik, apalagi mereka yang tidak membawanya.

Jujur saja, saat itu saya merasa sebal.
Siang hari, sudah waktunya istirahat.
Membayangkan harus berjemur di terik matahari dan berolahraga rasanya tidak menyenangkan.

Terlebih lagi saya tidak membawa bekal makanan, dan seharian itu hanya Nasa yang mengisi perut saya.
Saya khawatir, maag saya akan kambuh dan ternyata benar.

...

Saya pulang dan sampai ke rumah 1 jam lebih lama dari biasanya.
Rumah kosong, perut saya perih, sepatu kanan saya baru saja terendam genangan air kotor kecoklatan.
Saya masuk ke kamar mandi, menutup pintunya.
Ibu saya pulang dari rumah tetangga, memprotes saya yang belum menaruh baju kotor ke mesin cuci.
Saya mencoba membuka pintu, dan pintu itu terkunci.
Tidak bisa terbuka, dan saya ternyata lupa bahwa pintu itu memang rusak sejak pagi.

Saya menangis di dalam kamar mandi, Ibu mencoba membukakan pintu dari luar.

...

Begitulah, kira-kira kekacauan 1 hari itu.
Apakah terlalu hiperbola?
Saya termasuk orang yang jarang menangis. Menangis, bagi saya adalah titik terakhir dari emosi yang saya miliki.

Saya ingat kesal sekali hari itu, dan mungkin saya akan terus mengingatnya.
Kelak ketika nanti saya berstatus Mahasiswi Negeri..
Kelak ketika nanti saya jadi penulis buku..
Kelak ketika saya diperistri..
Kelak ketika saya memiliki anak..

Kelak, ketika saya akan mengenang masa-masa menjengkelkan itu dengan senyuman atau bahkan tawa.

Haha.

...

Dan diam-diam saya juga mengucapkan banyak syukur hari itu.

Saya hanya kali itu, melewati banjir untuk mencapai sekolah.
Saya hanya kali itu, berangkat bagi shubuh untuk mencapai sekolah.

Sedangkan, ada anak negeri di luar sana.
Yang harus menyebrangi sungai. Menyebrangi jembatan yang hampir rubuh.
Untuk mencapai sekolah.
Yang harus berangkat pagi buta. Menempuh jarak yang begitu jauhnya, dengan berjalan kaki.
Untuk mencapai sekolah.

Untuk mencapai sekolah, dan belajar.
Belajar agar kelak, mereka- kita- termasuk saya.
Sebagai calon pemimpin negara ini.
Belajar untuk merubah, untuk tidak membiarkan agar di masa depan, pendidikan berjalan seperti sekarang ini.

Aamiin untuk itu.


Tyas Hanina

P.S
Entah kenapa  akhir-akhir ini saya banyak bersikap dan berpikir (terlalu) serius.

Sabtu, 01 Maret 2014

suara


Aku adalah suara yang terlalu sunyi untuk kamu dengar.
Malangnya, di sekelilingmu selalu penuh dengan hingar bingar.
Kau dapat mendengarku jika kau mau.
Begitupula,
Aku dapat mengeraskan suaraku jika aku mampu.

Suaramu adalah gema yang selalu berulang di telingaku.
Dan,
Degup jantungku selalu berirama dengan sapamu.

Suatu ketika,
Hari ketika diammu menemukanku. Dan suaraku akhirnya sampai di telingamu.
Menembus suatu ruang di hatimu. Membuatmu akhirnya mengucap kalimat itu.
Kalimat yang selalu bergema di telingaku.

Aku mencintaimu.

Namun, malangnya.
Selain berteman dengan sunyi aku pun berkawan akrab dengan malu.
Hanya kujawab kalimatmu dengan diamku.
Berharap kau mendengar sesuatu yang bahkan tak pernah kuucapkan.

Dan kesalahpahaman adalah satu-satunya suara sumbang yang mampu kita dengar.
Seperti suara lalat yang tak henti terbang memutari kepala.
Berdengung terus menerus.
Membuatku terus mencari dan mencari cara untuk menghentikannya mengangguku.

...

Dan saat ini, baik kau maupun aku.
Sama-sama hanya mau dan mampu tuk saling menyapa dalam diam.
Dalam suatu pertunjukan saling memandang mata (dan melemparnya sembarangan)- dalam suatu pertemuan yang selalu tidak disengaja.

Dengan sengaja aku menulis ini semua. Agar rindu tidak lagi gaduh dan rusuh.
Tanpa perlu bibirku mengucapkannya padamu.

Tenang saja,
Sepotong kalimat yang kau ucap. Tidak lagi menjadi pengangguku. Tidak lagi bergema di telingaku.

Aku hanya rindu, hanya itu. Tanpa perlu kamu tau.


Tyas Hanina