Pages

Sabtu, 14 Februari 2015

Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan


Dear, 
Aku menulis surat ini sembari memelukmu erat.
Memang hal itu membuatku sulit untuk menuliskannya, tapi itu tidak sesulit saat dirimu jauh dariku.

Tidak, aku tidak sedang merayumu. Sungguh.

Merindukanmu,
Terasa bagai dininabobokan oleh angin laut.
Didekap erat oleh pasir pantai.
Diombang-ombing oleh ombak lelautan.
Dilelapkan ke dasar laut terdalam.

Indah, namun menyesakkan.
Meskipun, aku tidak begitu mengerti letak keindahannya.
Tapi, keindahan tidak harus selalu dimengerti kan? Dia ada untuk dirasakan.
Sama seperti dirimu, perempuanku.

Aku dapat menulis banyak sajak untukmu saat itu.
Lalu kupasung di dalam botol kaca.
Kulepaskan ia di lautan. Membiarkannya menari bersama ombak.
Biar, laut yang membacanya.
Tidak perlu kamu- orang yang selalu kurindu, untuk tau akan hal itu.
(Tapi, aku memberitahukanmu juga pada surat ini.)

...

Perempuanku,

Masih terasa hangat di dalam ingatanku, bagaimana kita digigilkan hujan hari itu.
Tidak ada payung yang melindungi kita dari hujan. Tidak ada jas hujan yang melindungi tubuh kita.
Kita terjebak dalam hujan, dan menemukan kenyamanan di dalamnya.

Kamu merapatkan tubuhmu padaku, memegang ujung rokmu yang basah.
Tidak ada jaket yang bisa kupasangkan di tubuhmu, tidak ada selain lenganku yang merangkul bahumu.
Kulihat kamu mengulum senyum, bergumam entah untuk kudengar atau hanya untuk dirimu sendiri.

Rainy rainy day.

Ingin kucubit pipimu yang merah bersemu. Namun, aku hanya berkata.

I like the way you smile when it’s rainy.”

 Teduh matamu memandangku. Seakan mengucapkan terima kasih.

“Ke laut yuk.”

Tiba-tiba saja kalimat ajakan itu keluar dari mulutmu. Aku tidak mengerti, dan hanya dapat memberimu pandangan bingung.

“Aku mau liat hujan di lautan.”
“Pertemuan antara hujan dan lautan. Awan hujan yang berasal dari laut, kembali padanya dengan cara menjatuhkan dirinya secara perlahan.”
“Dan, hujan akan menyambutnya. Dengan ombak yang mencoba memeluk rintik hujan.”
“Aku ingin menyaksikan pertemuan mereka, dengan kekasihku.”

How I love your sweet mind.

Lalu kau berhenti menarik ujung rokmu, dan berganti menarik tanganku.
Ke dalam rintik hujan.

“Meskipun hujan itu membawa nyaman.
Namun, kita bisa dijebakkan olehnya. Kita harus membebaskan diri.”

Lalu kamu mengajakku berlari, tapi aku menolaknya.
Dan kamu menawarkanku menari, tapi aku tidak bisa menyanggupinya.

Lalu, kamu tertawa. Seakan hujan membisikkanmu sebuah lelucon.
Lalu aku tidak bisa menahannya, selain membiarkan diriku terjebak oleh seorang dirimu, dirimu seorang- dan kenyamanan yang senantiasa membuatku utuh.

Sejak itu,
Aku tidak ingin, membebaskan diri dari jebakan indah ini.

...

Namun ada kalanya.
Dua kutub di dalam masing-masing diri kita menjadi sama.
Dan membuat jarak dan waktu seakan menolak pertemuan kita.

Seperti saat itu.

Saat pekerjaanku mengharuskanku untuk jauh darimu. Jauh dari ragamu.
Meskipun saat itu kamu mendukungku, tapi tetap saja rasanya beda dengan kamu yang di sisiku.

Pembicaraan kita lewat perantara telepon. Sinyal yang terkadang begitu buruk, sehingga sering kali aku hanya bisa mendengar gemerisik tawamu atau kata-katamu yang patah.
Diskusi kita lewat chat messenger. WiFi yang tiba-tiba tidak bersahabat, membuat percakapan kita terhambat.
Surat beserta paket buku yang kukirimkan padamu. Dan surat beserta CD musik favoritku yang dikirimkan olehmu untukku. Membutuhkan waktu berhari-hari untuk sampai.

Komunikasi itu tetap terjaga, tapi rasanya berbeda.
Tidak bisa kudengar tarikan nafasmu, tidak bisa kuhirup harum tubuhmu yang masih menempel pada jaketku, tidak bisa kurekam gelak tawamu.
Tidak bisa kupeluk ragamu.

...

Hampir setengah tahun kita menjalani hari-hari kita seperti itu.
Hingga akhirnya, sifat nekatmu itu membuatmu berani memutuskan untuk datang ke tempatku.
Selama 1 minggu. Yang cukup untuk membayar rinduku selama kita jauh.

Kau menolak untuk kubayari tiket pesawat terbang, karena alasan kau benci ketinggian.
Kau pun mengelak saat kutawari tiket kereta api, padahal pemandangan ketika perjalanannya begitu indah.
Kau menolak telak saat aku ingin menjemputmu dari sana.

Dan, kau memilih untuk naik Kapal Laut.
Dengan alasan, kau tidak harus membayangkan dirimu jatuh dari awan. Dan kau akan sangat dekat dengan lautan.
Pemandangannya pun tak akan kalah dari yang akan kau liat jika kau berangkat naik kereta api.
Meski hanya biru laut, dan biru langit yang tercampur dengan batasnya yang akan hadir di depan matamu.
Tapi, kau menginginkannya.

Aku masih ingat sekali, chat terakhir kita hari itu- sebelum perjalananmu naik Kapal Laut ke tempatku.

“Semoga nanti hujan.”
“Kenapa? bukankah lebih baik perjalanannya cerah.”
“Aku ingin melihat hujan di lautan.”
“Tapi, kau kan sedang tidak bersama kekasihmu.”
“Tapi, aku kan akan menemui kekasihku.”

Dan perjalanan itu pun Tuhan kabulkan.

...

Hujan, tidak menjatuhkan dirinya dengan perlahan hari itu. Di hari perjalananmu.
Hujan yang membuat orang-orang bertahan di ruangan, memilih untuk menghangatkan dirinya. Hujan yang sangat deras.
Lebih deras dari hujan hari itu.
Namun, saat itu kau tidak dalam ruangan. Yang aman dari terpaan hujan.
Kau juga tidak sedang bersamaku, sehingga aku tidak bisa mencegah perjalananmu.

Kapal Laut. Dengan terpaan hujan lebat.
Aku rasa itu bukan ide yang hebat.

Air laut akan berubah dari tenang menjadi galak. Ombaknya akan tinggi dan bergejolak.
Dan aku khawatir, akan terjadi badai.

Tak henti-hentinya aku memandangi jendela kantorku. Menatap tetesan hujan yang menempel di kacanya. Melirik jam dinding, memencet-mencet ponselku.
Tak ada kabar darimu.

Aku tidak ingat, pernah lebih gelisah dari hari itu.

Dan gelisahku itu membawaku pada kabar selanjutnya.

...

Malam hari.
Aku yang masih menunggu kedatanganmu. Duduk diam di sofaku, tidak bisa dan tidak ingin mencoba untuk pergi tidur.
Aku menyalakan Televisi, hanya agar suara bisingnya memenuhi ruanganku.
Namamu beserta kabarmu, tidak kunjung muncul di ponselku.

Namun, justru di Televisiku. Di sebuah acara berita.
Berita tentang Kapalmu, Kapal yang mengangkutmu. Kapal yang membawa separuh jiwaku.

Tenggelam. Terbawa arus ombak yang semakin liar menari, ketika hujan datang beserta badai.

Apa ada hal yang lebih menyakitkan dari kabar itu?
Ya.

Kabarnya, kapal itu tenggelam ke laut dalam.
Beserta para raga yang diangkutnya.
Karam.

...

Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan.

Selepas kabar itu.
Ragaku terus menerus mencarimu.
Meski berita Televisi mengabarkan begitu.

Tapi, ragamu tidak kunjung ditemukan.
Menyatu bersama lautan.
Dan air hujan hari itu.

Dan aku hanya bisa memberimu pelukan.
Mendoakan jiwamu yang ada dalam diriku.
Memelukmu erat di dalam pikiranku.
Tanpa ragamu yang utuh.

Utuh?
Kata apa itu.
Tak lagi utuh aku tanpamu.

Tanpamu, perempuanku.

Surat yang kutulis dengan pena biru ini.
Akan kupasung dalam botol kaca.
Dan akan kubiarkan dia menyatu dengan biru air laut.
Biarkan kata-katanya menguap membentuk awan hujan.
Dan, semoga bisa sampai ke tempatmu di khayangan.

Dan, kelak.
Hujan yang akan turun dari awan itu.
Kuanggap sebagai pertanda- balasan suratmu.

Meski hujan.
Tidak kunjung hadir.
Semenjak kamu berhenti hadir di hidupku.

(Hi perempuanku yang sedang bertugas menjadi bidadari surga.
Permintaanmu sudah dikabulkanTuhan. Kau kini tidak lagi takut ketinggian, bukan?)


Tyas Hanina
(8 Januari 2014)

...


(Judul postingan ini sama dengan salah satu judul lagu Payung Teduh.)