Pages

Jumat, 11 Desember 2015

Sibuk

Maaf,
Kesibukan tengah merengkuhku erat.
Hingga untuk sekedar menyapamu pun tak sempat.

Semestaku penuh tenggat waktu.
Bagaimana dengan semestamu?

Ah, jangan berbesar hati dahulu.
Aku tidak sedang merindukanmu.
Hingga aku menulis tentangmu lagi di halaman blogku.
Kebetulan, tugasku mengharuskanku menulis sesuatu.
Jadi, sekalian saja kusapa kamu.

Ya, kuakui.
Aku merindukanmu, sesekali.
Tidak hanya pada pukul 2 pagi.
Ketika semestaku bising oleh sunyi.
Namun, juga pada pukul 2 siang.
Ketika semestaku tengah sibuk-sibuknya.

Kamu muncul melulu,
Dan itu menganggu.
Karena itu aku ingin mengenyahkanmu.
Karena tugasku menunggu.

Maaf. Aku terlalu sibuk untuk sempat merindukanmu.



P.S
(Nanti setelah semestaku lebih lapang tanpa tugas, datang lagi ya?)

Senin, 23 November 2015

ur bad habit

Salah satu dari sekian banyak hal yang membuatku jengkel padamu.
Adalah kebiasanmu untuk menggantungkan cerita.
Seakan, kau selalu mengakhiri kalimatmu dengan tanda koma, bukan dengan titik seperti seharusnya.
Hal itu mengganggu, dan membuatku terus menunggu.
Lalu apa? Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Namun, kau hanya membisu. Entah apa yang membuatmu begitu.

Apa aku terkesan tidak memperdulikanmu? Apa aku terlihat tidak mendengarkanmu?
Sungguh, aku bersungguh. Aku sangat ingin tahu, perihal apapun yang menimpa semestamu.
Terlebih, ketika kutangkap getar ragu dalam kalimatmu. Atau nada muram dalam celotehmu.

Mungkin kau tengah disibukkan oleh apapun kegiatanmu.
Atau mungkin kau lupa membalas pesanku.
Atau mungkin kau hanya ingin mengerjaiku.
Membiarku menunggu, membiarkanku khawatir akan kondisimu.

Ingin kukutuk jarak di antara kita.
Karena ada saat di mana aku ingin bersandar di bahumu,
Tapi kamu jauh.
Karenanya, tiap-tiap kali kudengar getir rindu dalam kalimatmu.
Aku berusaha mendekatimu. Entah dengan cara apapun itu.

“Ah, lagipula, apa benar kau pernah merindukanku?” Katamu.

Tak usahlah kau bertanya padaku. Aku tidak akan menjawabnya.
Kata orang, perempuan tidak suka ditanya.
Dia lebih suka bertanya.

Hai, kamu. Bagaimana kesibukan semestamu? Jangan lupa untuk berhenti sejenak dari kesibukanmu, lalu merindukanku.



Tyas Hanina

Vengeance

Kamu fikir aku bisa membiarkanmu begitu saja.
Setelah semua hal yang datang setelah kamu melakukannya.
Meskipun tanpa sengaja.

Kamu fikir ini akan mudah jika hanya aku yang merasa?
Itu sulit untuk ku terima,
Semua rasa hanya akan menjelma luka.

Karenanya aku akan melakukan pembalasan,
Tunggu saja.
Aku akan membuat kesamaan perasaan di antara kita.

Aku sengaja.
Aku tidak ingin terluka.


Aku akan buat kau jatuh cinta.


Tyas Hanina
18 Desember 2013

Tari

Namaku Tari.
Bagian tubuh yang kusuka adalah jari.
Yang setiap hari berada diatas keyboard komputer, menari. Menekan tuts demi tuts, menyusun rangkaian huruf menjadi puisi.
Yang setiap hari memeluk pena, berdansa di atas selembar kertas sebagai lantainya. Merangkai kata menjadi sebuah cerita.


Aku cinta berdansa, aku gila menari.



Tyas Hanina
16 Desember 2013

Kamis, 19 November 2015

Barangkali

Barangkali,
Kamu ingin mengetahui sebaris kalimat kabar dariku.
Aku akan memberimu separagraf penuh (atau mungkin lebih) tentang semestaku.

Barangkali,
Kamu tidak ingin tahu.
Aku akan tetap menuliskannya.
Tanpa mencoba mengirimkannya padamu.

Ah,
Apa yang lebih gagu dari rindu?
Apa yang lebih rusuh dari resah?
Apa yang lebih candu dari kamu?
Apa yang lebih ragu dari aku?

Barangkali,
Kamu mengetahui jawabnya.
Tolong beri tahu aku.

Barangkali,
Kamu tidak mau beri tahu.
Tak mengapa.
Aku akan terus mencari tahu.


19 Nov 2015, Jatinangor.

Tyas Hanina

Kamis, 08 Oktober 2015

satu pagi

Aku terbangun oleh mimpi buruk yang kuninabobokan sendiri.
Tidak ada suara berisik di sekitarku. Justru sunyi begitu bising di sini.
Satu-satunya yang gaduh di sini adalah pikiran di kepalaku sendiri.
Kegaduhan itulah yang membuatku terjaga malam ini.

Aku tidak sedang merindukan siapa pun. Kamu jangan dulu berbesar hati.
Memang rasanya ada yang hilang, entah apa itu. Aku malas untuk mencari.
Kubiarkan saja ada yang kosong di sana, entah di mana. Entah apa yang mampu mengisi.

Ah ya, aku ingin mengabari.
Kemarin hujan turun deras sekali.
Hujan pertama di bulan ini, di bulan kelahiranku ini.
Ada banyak yang terjebak di dalam kampus, aku justru menjebakkan diri.

Hujan itu istimewa bagiku. Mungkin kamu tidak akan mengerti.
Ada kehangatan yang dibagi, ada kenyamanan yang tak perlu lagi dicari.
Aku selalu berpikir daripada mengeluh karena terjebak olehnya, mengapa tidak dinikmati?

"Kamu naif sekali."
Mungkin kamu akan berkata begitu, aku tahu sekali.
Aku memang terlalu naif, sehingga pernah percaya padamu sekali.

Ah sudahlah, aku tidak ingin membahasmu dalam tulisanku kali ini.
Atau pun dalam tulisan-tulisanku nanti.

Kamu, dalam tulisanku hanyalah karakter mati.
Yang sesekali bangkit dari kuburannya sendiri.
Seperti mayat hidup atau zombie.

Yang harus kubasmi tiap-tiap kali muncul, seperti saat ini.
Kalau sudah mati, mati sajalah. Terima saja ajalmu itu, wahai zombie.

...

Aku tidak lagi tertarik untuk membahas masa laluku sendiri.
Hal yang ingin kutulis hanyalah saat ini, atau pun nanti.
Masa lalu sudah lama lewat, dan aku tidak ingin mengejarnya lagi.
Karena kusadari bahwa itu sia-sia sekali.
Bahkan untuk menuliskannya, karena itu terasa bahwa aku menghidupkannya lagi.

Punggungku pegal sekali. Hari ini aku kuliah pagi.
Mungkin lebih baik ku jemput dia, mimpi buruk itu lagi.

(Ah, mimpi buruk sekalipun masih lebih baik daripada harus membangkitkanmu dalam tulisanku kembali.)


Tyas Hanina

Kamis, 01 Oktober 2015

Bagaimana semestamu?


Ah, halo, selamat malam.
Lama tidak bersua, sekedar melempar salam serta sapa.
“Apa kabar?”  mungkin bukan lagi pertanyaan yang pantas ku lemparkan untuk kau tangkap.
Karena aku ingin tahu lebih dari itu. Lebih dari sekedar kabarmu.

Aku ingin tahu bagaimana semestamu berputar selama tidak ada aku di sana.

Apakah tetap sama?

Tiba-tiba aku teringat kutipan seorang filsuf terkenal.
“Yang hadir itu ada. Yang tidak hadir itu tidak ada. Yang ada tetap selamanya ada.”
Apa kau mengerti maksudnya? Ah itu bukanlah perihal yang krusial pada saat ini. Aku tidak akan memintamu untuk menguraikan penjelasannya, aku tidak butuh bantuanmu untuk pekerjaan rumahku.
Yang terpenting, adalah.. bagaimana kehadiranku berpengaruh pada semestamu?
Aku sangat ingin tahu tentang itu. Aku butuh tahu.

Dengan penuh kesadaran, aku tahu bahwa aku pernah hadir di dalam semestamu.
Pernah ada jejakku di sana, pernah ada sentuhku di sana.
Pernah ada gema suaraku di sana, pernah ada percikan air mataku di sana.
Dan apakah itu kekal? Akankah itu kekal?
Meski kini aku sudah tidak hadir di semestamu.
Tapi, aku pernah ada bukan?

Apakah justru sangat berbeda?

Sehingga ketika senja datang di hari itu.
Kau pun menyadari bahwa semua tak lagi sama.

Dan, aku yakin kau merasa lega.
Karena kini semestamu terasa lebih luas tanpa adaku.
Tentu, aku tahu.
Tak apa, jika kau ingin mengisi semestamu dengan yang lainnya.
Dengan selainku.
Aku rela. Sungguh berlapang dada tentang itu.

Aku angkat kaki. Dan aku tahu, kau hanya mampu memandangi punggungku pergi.
Dan aku tahu bahwa kau tahu, tidak ada yang bisa menahan langkahku menjauh dari semestamu kali ini.

...

Bagaimana semestamu?
Bisakah kau beradaptasi mengikuti putarannya?
Apakah kau menikmatinya, tanpa hadirku di sana?


Tyas Hanina


P.S
Kabar baik untukmu, dan untukku. (Aku tidak akan lagi menyebut kita)
Semestaku berputar dengan lancar, tanpa hambatan.
Malah terasa lebih baik putarannya tanpa hadirmu di sini.
Aku merasa lebih leluasa, bukan sekedar lega.

Dan aku bahagia dengan semestaku yang apa adanya.

Senin, 17 Agustus 2015

Putih Abu-Abu

Halo semuanya!

Sudah lama sekali tidak memberikan kabar apapun di blog ini.

Ada banyak sekali kejadian. Yang rasanya ingin gue abadikan.
Salah satunya, adalah bagaimana berlalunya 3 tahun masa SMA gue.
Selama ini, cuma jadi rencana untuk menuliskannya. Kenangan-kenangan tentangnya hanya hidup di kepala gue dan mungkin orang-orang yang melewatinya bersama gue.
Dan malam ini, gue akan coba mengabadikannya melalui tulisan.

Senin, 22 Juni 2015

yellow

Imagine this.

Terbangun dari tidurmu, dan hal yang pertama kali kamu lihat adalah, Langit malam.
Dan, hal yang kau jadikan sandaran untuk tidur bukanlah tempat tidur di kamarmu. Tapi sekumpulan bantal dan selimut tebal.
Kamu terjaga dari mimpi indahmu. Namun kamu tidak menyesalinya.
Karena pemandangan yang kamu lihat di sekelilingmu terasa jauh lebih indah untuk sebuah realita.
Bukan tembok kamarmu yang kau lihat. Tapi, suatu padang rumput yang membentang luas seakan tanpa batas, disertai pohon-pohon yang kokoh.
Dan ketika kau mendongakkan kepalamu ke atas. Yang terlihat adalah sekumpulan rasi bintang.
Dan meskipun kamu tidak tau apa-apa tentangnya, kau dapat merasakan keindahannya.
Ya, memang terkadang keindahan ada bukan untuk dimengerti. Tapi dirasakan.


Senin, 04 Mei 2015

The Unplanned Ones


“You don’t always need a plan. Sometimes you just need to breathe, trust, let go. And see, what happens.”


Sabtu, 14 Februari 2015

Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan


Dear, 
Aku menulis surat ini sembari memelukmu erat.
Memang hal itu membuatku sulit untuk menuliskannya, tapi itu tidak sesulit saat dirimu jauh dariku.

Tidak, aku tidak sedang merayumu. Sungguh.

Merindukanmu,
Terasa bagai dininabobokan oleh angin laut.
Didekap erat oleh pasir pantai.
Diombang-ombing oleh ombak lelautan.
Dilelapkan ke dasar laut terdalam.

Indah, namun menyesakkan.
Meskipun, aku tidak begitu mengerti letak keindahannya.
Tapi, keindahan tidak harus selalu dimengerti kan? Dia ada untuk dirasakan.
Sama seperti dirimu, perempuanku.

Aku dapat menulis banyak sajak untukmu saat itu.
Lalu kupasung di dalam botol kaca.
Kulepaskan ia di lautan. Membiarkannya menari bersama ombak.
Biar, laut yang membacanya.
Tidak perlu kamu- orang yang selalu kurindu, untuk tau akan hal itu.
(Tapi, aku memberitahukanmu juga pada surat ini.)

...

Perempuanku,

Masih terasa hangat di dalam ingatanku, bagaimana kita digigilkan hujan hari itu.
Tidak ada payung yang melindungi kita dari hujan. Tidak ada jas hujan yang melindungi tubuh kita.
Kita terjebak dalam hujan, dan menemukan kenyamanan di dalamnya.

Kamu merapatkan tubuhmu padaku, memegang ujung rokmu yang basah.
Tidak ada jaket yang bisa kupasangkan di tubuhmu, tidak ada selain lenganku yang merangkul bahumu.
Kulihat kamu mengulum senyum, bergumam entah untuk kudengar atau hanya untuk dirimu sendiri.

Rainy rainy day.

Ingin kucubit pipimu yang merah bersemu. Namun, aku hanya berkata.

I like the way you smile when it’s rainy.”

 Teduh matamu memandangku. Seakan mengucapkan terima kasih.

“Ke laut yuk.”

Tiba-tiba saja kalimat ajakan itu keluar dari mulutmu. Aku tidak mengerti, dan hanya dapat memberimu pandangan bingung.

“Aku mau liat hujan di lautan.”
“Pertemuan antara hujan dan lautan. Awan hujan yang berasal dari laut, kembali padanya dengan cara menjatuhkan dirinya secara perlahan.”
“Dan, hujan akan menyambutnya. Dengan ombak yang mencoba memeluk rintik hujan.”
“Aku ingin menyaksikan pertemuan mereka, dengan kekasihku.”

How I love your sweet mind.

Lalu kau berhenti menarik ujung rokmu, dan berganti menarik tanganku.
Ke dalam rintik hujan.

“Meskipun hujan itu membawa nyaman.
Namun, kita bisa dijebakkan olehnya. Kita harus membebaskan diri.”

Lalu kamu mengajakku berlari, tapi aku menolaknya.
Dan kamu menawarkanku menari, tapi aku tidak bisa menyanggupinya.

Lalu, kamu tertawa. Seakan hujan membisikkanmu sebuah lelucon.
Lalu aku tidak bisa menahannya, selain membiarkan diriku terjebak oleh seorang dirimu, dirimu seorang- dan kenyamanan yang senantiasa membuatku utuh.

Sejak itu,
Aku tidak ingin, membebaskan diri dari jebakan indah ini.

...

Namun ada kalanya.
Dua kutub di dalam masing-masing diri kita menjadi sama.
Dan membuat jarak dan waktu seakan menolak pertemuan kita.

Seperti saat itu.

Saat pekerjaanku mengharuskanku untuk jauh darimu. Jauh dari ragamu.
Meskipun saat itu kamu mendukungku, tapi tetap saja rasanya beda dengan kamu yang di sisiku.

Pembicaraan kita lewat perantara telepon. Sinyal yang terkadang begitu buruk, sehingga sering kali aku hanya bisa mendengar gemerisik tawamu atau kata-katamu yang patah.
Diskusi kita lewat chat messenger. WiFi yang tiba-tiba tidak bersahabat, membuat percakapan kita terhambat.
Surat beserta paket buku yang kukirimkan padamu. Dan surat beserta CD musik favoritku yang dikirimkan olehmu untukku. Membutuhkan waktu berhari-hari untuk sampai.

Komunikasi itu tetap terjaga, tapi rasanya berbeda.
Tidak bisa kudengar tarikan nafasmu, tidak bisa kuhirup harum tubuhmu yang masih menempel pada jaketku, tidak bisa kurekam gelak tawamu.
Tidak bisa kupeluk ragamu.

...

Hampir setengah tahun kita menjalani hari-hari kita seperti itu.
Hingga akhirnya, sifat nekatmu itu membuatmu berani memutuskan untuk datang ke tempatku.
Selama 1 minggu. Yang cukup untuk membayar rinduku selama kita jauh.

Kau menolak untuk kubayari tiket pesawat terbang, karena alasan kau benci ketinggian.
Kau pun mengelak saat kutawari tiket kereta api, padahal pemandangan ketika perjalanannya begitu indah.
Kau menolak telak saat aku ingin menjemputmu dari sana.

Dan, kau memilih untuk naik Kapal Laut.
Dengan alasan, kau tidak harus membayangkan dirimu jatuh dari awan. Dan kau akan sangat dekat dengan lautan.
Pemandangannya pun tak akan kalah dari yang akan kau liat jika kau berangkat naik kereta api.
Meski hanya biru laut, dan biru langit yang tercampur dengan batasnya yang akan hadir di depan matamu.
Tapi, kau menginginkannya.

Aku masih ingat sekali, chat terakhir kita hari itu- sebelum perjalananmu naik Kapal Laut ke tempatku.

“Semoga nanti hujan.”
“Kenapa? bukankah lebih baik perjalanannya cerah.”
“Aku ingin melihat hujan di lautan.”
“Tapi, kau kan sedang tidak bersama kekasihmu.”
“Tapi, aku kan akan menemui kekasihku.”

Dan perjalanan itu pun Tuhan kabulkan.

...

Hujan, tidak menjatuhkan dirinya dengan perlahan hari itu. Di hari perjalananmu.
Hujan yang membuat orang-orang bertahan di ruangan, memilih untuk menghangatkan dirinya. Hujan yang sangat deras.
Lebih deras dari hujan hari itu.
Namun, saat itu kau tidak dalam ruangan. Yang aman dari terpaan hujan.
Kau juga tidak sedang bersamaku, sehingga aku tidak bisa mencegah perjalananmu.

Kapal Laut. Dengan terpaan hujan lebat.
Aku rasa itu bukan ide yang hebat.

Air laut akan berubah dari tenang menjadi galak. Ombaknya akan tinggi dan bergejolak.
Dan aku khawatir, akan terjadi badai.

Tak henti-hentinya aku memandangi jendela kantorku. Menatap tetesan hujan yang menempel di kacanya. Melirik jam dinding, memencet-mencet ponselku.
Tak ada kabar darimu.

Aku tidak ingat, pernah lebih gelisah dari hari itu.

Dan gelisahku itu membawaku pada kabar selanjutnya.

...

Malam hari.
Aku yang masih menunggu kedatanganmu. Duduk diam di sofaku, tidak bisa dan tidak ingin mencoba untuk pergi tidur.
Aku menyalakan Televisi, hanya agar suara bisingnya memenuhi ruanganku.
Namamu beserta kabarmu, tidak kunjung muncul di ponselku.

Namun, justru di Televisiku. Di sebuah acara berita.
Berita tentang Kapalmu, Kapal yang mengangkutmu. Kapal yang membawa separuh jiwaku.

Tenggelam. Terbawa arus ombak yang semakin liar menari, ketika hujan datang beserta badai.

Apa ada hal yang lebih menyakitkan dari kabar itu?
Ya.

Kabarnya, kapal itu tenggelam ke laut dalam.
Beserta para raga yang diangkutnya.
Karam.

...

Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan.

Selepas kabar itu.
Ragaku terus menerus mencarimu.
Meski berita Televisi mengabarkan begitu.

Tapi, ragamu tidak kunjung ditemukan.
Menyatu bersama lautan.
Dan air hujan hari itu.

Dan aku hanya bisa memberimu pelukan.
Mendoakan jiwamu yang ada dalam diriku.
Memelukmu erat di dalam pikiranku.
Tanpa ragamu yang utuh.

Utuh?
Kata apa itu.
Tak lagi utuh aku tanpamu.

Tanpamu, perempuanku.

Surat yang kutulis dengan pena biru ini.
Akan kupasung dalam botol kaca.
Dan akan kubiarkan dia menyatu dengan biru air laut.
Biarkan kata-katanya menguap membentuk awan hujan.
Dan, semoga bisa sampai ke tempatmu di khayangan.

Dan, kelak.
Hujan yang akan turun dari awan itu.
Kuanggap sebagai pertanda- balasan suratmu.

Meski hujan.
Tidak kunjung hadir.
Semenjak kamu berhenti hadir di hidupku.

(Hi perempuanku yang sedang bertugas menjadi bidadari surga.
Permintaanmu sudah dikabulkanTuhan. Kau kini tidak lagi takut ketinggian, bukan?)


Tyas Hanina
(8 Januari 2014)

...


(Judul postingan ini sama dengan salah satu judul lagu Payung Teduh.)