Pages

Senin, 27 Februari 2017

permohonan terakhir

permohonanku ini sederhana,

aku memintamu dengan hormat untuk angkat kaki.
jangan kembali.
aku sudah periksa berulang-ulang kali, tidak ada satu atau dua barangmu yang tertinggal di sini.

kalau ada yang luput dari penglihatanku,
kalau ada yang hilang dari ingatanku,
beri tahu, ingatkan aku!
nanti, pasti segera kukembalikan padamu.

tapi, tidak usah ke sini. biar aku yang menghampiri.

-

pintuku sempat rusak, kemarin ku baru ke tukang kunci.
katanya, mulai sekarang aku harus berhati-hati.
jangan lagi suka membanting pintu sesuka hati.


ngomong-ngomong, kunci serep yang waktu itu sudah kamu kembalikan kan?
oh ya, maaf ya gantungan kunci darimu terpaksa kulepaskan.

-

aku tahu perbuatanku ini tidak sopan.
mengusir tamu yang ingin datang berkunjung.
karena itu, setelah minum teh dan bercakap-cakap barang sebentar.

mohon segera pergi ya? ini bukan (lagi) rumahmu.
ada tubuh perempuan yang menunggu kamu untuk pulang.

-

setelah keluar, mohon tutup lagi pintu.
aku cukup puas hanya memandangi punggungmu.
tidak usah menengok kepadaku.

sungguh, aku tidak ingin lagi muluk-muluk.
meski aku inginkan peluk.
dan senyummu selalu buatku takluk.

aku hanya ingin kamu pergi, dasar terkutuk!

-

pergilah. menghilang sajalah.

aku akan menyambutmu malam ini, tapi tidak lain kali.
kumohon, jangan datang lagi.

Ritme


semua orang memiliki ritmenya tersendiri.

usahlah terburu-buru karena melihat orang lain berlalu.

lulus tepat waktu.
kerja.
ketemu teman hidup.
menikah.
punya anak.

semua orang memiliki momentumnya tersendiri.

kapan giliranmu? tidak ada yang tahu.

usahlah khawatir, ada hal-hal di dunia ini yang tidak perlu kamu tahu.

apakah kamu mau menunggu atau melakukan sesuatu.
lagi-lagi, itu pilihanmu.
 

-


barangkali, memang benar.
bahwa dalam hidup kita tidak akan pernah sampai.

titik balik hanya fase semu.

sesungguhnya, kita hanya berjalan meniti dari satu kekhawatiran ke  kekhawatiran lainnya.
berlari dari satu keikhlasan ke keikhlasan lainnya.

kita tidak akan pernah berhenti mengkhawatirkan sesuatu,
bahkan saat tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan.
kita tetap akan merasa khawatir karena tidak merasa khawatir.

begitu pula tentang keikhlasan.
meski hanya sisa-sisa, meski tidak sepenuhnya.
harus selalu ada ikhlas yang kita simpan dalam dada.
selalu ada yang kita lepas saat menuju pengembaraan selanjutnya.

-

saat ini aku khawatir,
saat ini aku ikhlas.
tapi aku baik-baik saja.

semoga kamu juga begitu.

aku cuma bisa berpesan padamu.
nikmati waktumu, selama masih ada aku di situ.

Minggu, 19 Februari 2017

Untuk Tyas



Teruntuk : Tyas Hanina


Hai, apa kabarmu?
Aku harap hari ini kamu tidak melewatkan kartun pagi kesukaanmu. Karena aku sadar betul,betapa ini akan mempengaruhi suasana hatimu seharian ini.

Bagaimana sekolah? Menyenangkan bukan?
Tidak perlu merasa sebegitu kesalnya karena teman laki-lakimu membuntutimu pulang.
Suatu hari mereka akan menyesal.
Aku tahu, kamu pandai menjaga dirimu sendiri. Walau diam-diam kamu ketakutan juga.
Teruslah menjadi kuat, Tyas, hingga dewasa nanti.

Hari ini ibu masak apa?
Sayur oyong dengan ayam goreng kesukaanmu, kah?
Jangan lupa sehabis makan nanti, ucapkan terima kasih pada Ibu. Bilang, “Terima kasih telah menjadi koki terbaik dalam hidupku, Bu!”
Aku tahu kamu sangat tidak terbiasa akan hal itu. Dan aku yakin ibu akan terkaget-kaget mendengarnya. Kapan lagi anak bungsunya yang pemalu ini bisa berbicara seperti itu.

Hari ini Bapak pulang bawa buku apa?
Majalah bobomu sudah habis kamu baca, ya? Ah, teruslah membaca.
Tidak usah malu, karena kamu berbeda. Aku hanya ingin mengingatkan, jaga baik-baik matamu.
Jangan lagi suka membaca di tempat gelap atau sambil tidur-tiduran. Dan, hilangin tuh kebiasaanmu suka nyeruduk-nyeruduk orang di Mall karena baca komik sambil jalan!

Hari ini sudah bertengkar dengan Aa’?
Tak apa, nikmatilah setiap rasa kesal yang tercipta karena konflik kalian berdua.
Tiban saja tubuhnya yang kurus itu ketika tidur. Siram kepalanya dengan segelas air dingin.
Tapi, jangan kabur lagi ke kamar mandi dan nangis sendiri.
Mau nakal kok, cengeng. Gak bisa bertanggung jawab akan kesalahanmu sendiri.
Kubilangin ya dari sekarang, suatu saat kamu akan kangen masa-masa perang ini.
Kamu akan rindu lari-larian keliling komplek dengan hanya mengenakan kaos kutang dan kancut doang. Tetangga-tetanggamu pun ku yakin nanti akan rindu suara teriakanmu yang nyaring itu!
Ku beri bocoran dari masa depan.
Aa’ semakin lama semakin tidak menyebalkan. Tidak lagi gemar mengganggu.
Ini kabar baik apa kabar buruk ya? Entahlah, terserah mau kamu maknai seperti apa.

Hari ini Kakak pulang dengan cerita seperti apa?
Kisah hidupnya sudah kamu hafal betul. Siapa-siapa saja yang menyukainya di sekolah, hal-hal apa saja yang mengganggunya di rumah.
Ku kasih tahu, ya. Semakin bertambah dewasa, kamu akan semakin dekat dengannya.
Memang sih, menyebalkan sekali rasanya selalu dibandingkan-bandingkan dengannya.
Tapi, tidak perlu merasa insecure sendirian. Diam-diam dia pun juga merasa begitu. (SSSST, rahasiakan ini darinya bahwa aku tahu)



Tyas, sewaktu aku menulis surat ini untukmu aku sedang jauh dari rumah.
Jauh dari kamu, sekaligus mencoba dekat denganmu.

Tapi, hal yang ku ingin kamu tahu.
Bahwa, pada saat ini. 10 tahun setelah kamu hidup di dunia ini.
Kamu masih hidup di dalam diriku.

Segala partikel yang hidup dalam semestamu, merupakan bagian dariku.
Yang kadang-kadang terlupa, tapi tak akan tanggal dari kepala.

Segala boneka barbie, rumah mainan dari kayu, buku komik yang menguning kertasnya, bundelan majalah Bobo, buku lirik lagu daerah, seruling dan pianika, sepeda roda tiga, buku diary yang kehilangan gemboknya, boneka beruang yang robek pitanya, gulungan kaset yang sudah putus, pita film tua. Dan sebagainya.
They’re gonna live forever in me.


Tyas, tahun ini aku sudah kepala dua.
Aku ingin jujur, bahwa aku takut sekali menjadi dewasa.
Aku takut kehilangan kamu di dalam diriku.
Aku gugup memikirkannya.

Entah apa yang akan dituliskan Tyas di usia 30-nya.
Entah wejangan apa yang akan diberikannya pada kita.


Tyas, tidak perlu ikut khawatir memikirkanku.
Jalani saja ritme hidupmu.
Skenarionya menyenangkan, kok! Kalau menyebalkan, improvisasi saja. Hehe.
Kamu akan bertemu banyak tokoh yang seru. Yang akan membawamu pada titik balik dalam hidupmu.

Siap-siap, ya.
Pegangan yang kencang.
Arus hidupmu akan terus membawamu pada tempat yang tak terduga.

Aku, selalu menikmatinya kok hingga saat ini walau kadang harus dengan air mata.


Ah, ya. Jangan takut bertambah tua. Kamu akan baik-baik saja.




Tyas Hanina


P.S

Tolong ya, Pak Pos.
Antarkan surat ini kepada diriku 10 tahun yang lalu.
Pinjam saja mesin waktu dari robot kucing itu.

Chapter Two



Kepalaku tak lagi jadi taman bermain yang asik,
Akhir-akhir ini jadi terlalu berisik.

Wahana-wahananya bikin mual,
Berputar-putar hingga kepalaku rasanya ingin kupenggal.



Aku ingat pernah menulis begini,
Bahwa tulisan adalah mesin waktu yang kita ciptakan sendiri.

Sayangnya, kini aku harus melawan kata-kataku itu.
Aku tidak lagi merasa begitu.

Menengok tulisan-tulisan lamaku seakan membaca kisah orang baru.
Siapa itu?
Aku kenal betul segala latar yang dipakai, serta hafal benar segala dialog.
Namun, sialan. Aku sadar, tidak dapat lagi hidup di sana.

Aku benci mengakui, bahwa aku takut akan perubahan.

Menjadi dewasa tak ayalnya menjadi seorang bunglon.
Kamu harus selalu siap mengubah warna tubuhmu di segala situasi.

Terlebih, kenyataan bahwa ekosistem terkadang begitu kejam.
Tak peduli kamu lelah berganti-ganti warna, tak peduli kamu benci warna biru, tak peduli kamu sayang warna kuning.


“…Dewasa tidak datang pada batasan umur tertentu.”
-Tyas Hanina, saat masih lugu-

Ada beberapa pertanda seseorang menjadi dewasa menurut beberapa bacaanku yang tidak seberapa.

Salah satunya yang paling kuingat adalah keberanian untuk membeli pakaian dalam sendiri. Kelihatannya sederhana dan konyol sekali, ya?
Namun, kenyataannya hal ini bukan perkara mudah untuk semua orang. Masih ada teman-temanku yang merasa malu dan tidak tahu harus bagaimana saat membeli pakaian dalam.
Aku sudah membeli pakaian dalamku sendiri sejak SMA. #WOWFakta
Bukan suatu hal yang membanggakan.
Hanya saja, menurutku.. Pakaian dalam adalah kebutuhan primer setiap orang dan tidak perlu merasa malu untuk membeli itu. Kalo gak tahu ukuran yang pas atau bahan yang enak, ya nanya. Itulah fungsi pegawai pakaian dalam.

Ngomong-ngomong,

Waktu SMP, seorang teman dekatku pernah menganalogikanku dengan pakaian dalam.
Katanya karena sikapku yang hangat pada semua orang, dibutuhkan setiap orang, dan unik.
(Aku sempat senang karena pujiannya lalu ingat bahwa pakaian dalam itu dipakai di selangkangan. Semoga aku tidak bau.)

Jika tumbuh menjadi dewasa dianalogikan dengan pakaian dalam.

Mungkin, maksudnya begini :
Kita semua dikenalkan dan akrab dengan pakaian dalam sejak kecil. Hingga akhirnya, pakaian dalam tumbuh mengakar di dalam diri kita.
Tanpa kita sadari, kita tumbuh bersamanya. Ukurannya berkembang. Selera kita pun menjadi bercabang.
Menjadi remaja, aku tidak lagi suka yang berenda. Pilihan warna pun menjadi hal yang penting adanya.
Aku tidak peduli orang lain memiliki selera yang berbeda denganku, aku tidak suka dipaksa untuk menyukai pakaian dalam yang berbahan beludru.
Orang-orang bilang pakaian dalam wanita itu wajarnya warna merah jambu. Dan pria itu warna biru. Tapi, aku tidak mau tahu. Bagiku, pakaian dalamku ya pakaian dalamku. Urus saja pakaian dalammu.

Pakaian dalam adalah pikiran kita.
Sejak kecil pikiran kita dikenalkan dengan berbagai macam pemikiran. Semakin banyak orang yang kita temui, semakin banyak pikiran yang kita selami. Semakin berkembang ukuran “pakaian dalam” kita, makin bercabang pula lah ia!
Waktu remaja, aku pernah patah hati karena katanya oh katanya pikiranku sulit dimengerti. Cih!
(Aku tidak akan mengubah diriku dan menyederhanakan pikiranku hanya karena kamu tidak bisa memahamiku, mz.)
Sama seperti pakaian dalam, aku tidak nyaman kalau punyaku dilihat orang sembarangan. Aku yang cengengesan dan suka lelucon-lelucon rendahan ini sebenarnya sangat serius ketika memikirkan sesuatu.
Pikiranku adalah labirin yang akan membuatmu tersesat, aku saja tidak mampu membuat petanya.
Karena kerumitanku itu aku ingin sederhana saja memandang “pakaian dalam” orang lain. Aku menghargai apa-apa yang dikenakan oleh mereka. Aku benci motif renda, kamu suka? Oh, tak apa.
Kita semua memiliki selera dan kenyamanan yang berbeda tentang “pakaian dalam” yang kita kenakan setiap hari.
Aku dan kamu, tidak perlu menjadi seorang bajingan yang memaksa orang lain untuk menyukai “pakaian dalam” dengan motif yang sama.

Bagiku, inilah salah satu pertanda dewasa.


Begitulah cocoklogiku tentang dewasa dan pakaian dalam.
Urusanmu, mau kamu maknai seperti apa. Bukan urusanku.

Urusanku sudah terlalu banyak.
Tugas yang merengek minta dikerjakan, dan (lagi-lagi) kesibukan yang ku buat-buat.

Gapapa, deh.

Ada yang bilang di paruh kedua hidupmu, alia usia dua puluh.
Kita harus perbanyak kegiatan yang memperkaya diri sendiri.
Entah akan jadi seperti apa, tapi aku sedang berusaha.

Banyak sih, orang seusiaku yang udah jadi konglomerat. Punya kesempatan ke luar negeri, ikut lomba debat sana-sini. Mereka hebat. Sukses berat.

Sedangkan aku yang katanya suka menulis ini tak satupun tulisannya berhasil masuk media cetak.
Ya iyalah gak pernah ngirim.
He.

((Yaelah, ngomongin berita naik cetak, kerjain aja dulu apre abang!))




Jatinangor,
Tyas Hanina




P.S
Aku tahu, tulisan tentang pakaian dalam ini membuatmu mual. Nikmati saja ya wahana di dalam pikiranku ini?