Pages

Minggu, 31 Januari 2016

Perihal Janji



“Mungkin hanya ini yang bisa kuberi.”

Katamu.
Aku tersentak dan juga bingung. Apa yang ingin kau berikan padaku?
Kulihat kau tidak membawa apapun bersamamu, selain senyum malu-malu itu.
Apa mungkin kau menyembunyikannya di saku celanamu?
Aku terus bertanya kepadamu di dalam kepalaku.

“Semoga hal ini, dapat membuatmu terus mengingatku sebagai perihal yang baik.”
“Dan suatu saat kamu kesal padaku. Ada hal ini yang dapat membuatmu memaafkanku hehehe.”

Kau terus berbicara. Tanpa menunjukkan apa-apa.

“Katakanlah apa hal itu.”

Senyummu melebar ketika mendengarku bersuara.

“Apakah kau merasa penasaran akan hal ini?”
“Tentu saja.”

Kau tidak merogoh saku celanamu untuk mengambil hal itu.

Justru, kau memegang tanganku dan menggenggamnya erat.

“Ran.”

Aku yakin sekali, dress merah yang kukenakan ini masih kalah jauh merahnya oleh rona pipiku.

“Aku cuma bisa ngasih ini ke kamu.”

Suaramu dalam dan halus.
Dan aku yakin sekali. Suara hingar bingar live music di restoran ini tidak seberapa berisiknya dari degup jantungku.

“Janji.”

...

Bulan menyembunyikan separuh tubuhnya dari langit malam ini.
Katanya, dia sedang merasa tidak utuh.

Barangkali kamu ingin tahu, begitu pula aku.

Aku bersembunyi dari siapapun yang kukenal malam ini.
Ku matikan telpon genggamku. Tidak ingin berhubungan dengan siapapun.
Kecuali, kamu.

Aku merutuki diriku sendiri ketika mengingat kamu.
Aku tidak bisa menyalahkanmu, lagi-lagi.

Sudah lama kita tidak terhubung.
Tali yang menghubungkan kita berdua sepertinya sudah putus.
Kapan itu terjadi, aku tak tahu. Bagaimana itu terjadi, aku tak mau tahu.

Walau begitu, aku masih sering mengingatmu.
Senyum malu-malu itu. Kemeja yang digulung hingga siku. Hembusan asap rokokmu.
Percakapan kita malam itu.
Janjimu.

...

“Janji..?”
“Ran..”

Lagi, kau panggil namaku.

“Aku tahu, aku cuma bisa janji saat ini.”
“...Tapi kita tidak tahu bagaimana nanti.”

Perlahan, tanganmu bergerak menyentuh pipiku. Mengusapnya secara halus.

“Aku tahu dan aku mau. Kamu bakal ngerti. Dan, kamu pasti ngerti.”
“Ran.. Aku janji kita akan bahagia. Aku janji kita akan baik-baik saja.”

Kau sibuk berbicara. Aku sibuk menahan ledakan di dadaku.

...

Ya, kita tidak tahu bagaimana dan apa yang akan terjadi nanti.
Benar katamu. Aku setuju.

Karena saat ini,
Adalah masa depan dari masa lalu kita itu.

Dan aku pun akhirnya tahu bagaimana dahsyatnya pemberianmu itu.

Ya, janjimu.

...

“Apa maksudmu?”

Aku melepas tanganmu. Sedikit memberikan jarak kepadamu.

“Aku janji Ran. Bahwa pada akhirnya, hanya akan ada kita berdua.”
“Tanpa ada orang lain, untuk menjadi tiga.”

Pada akhirnya, aku tidak kuasa menahan ledakan itu.

“Kenapa kau harus berjanji? Kenpa tidak memberiku bukti?”

Kau menarik nafasmu perlahan, lalu menatapku lebih dalam.

“Gak bisa, untuk saat ini saja.”
“Kita harus menunggu waktu yang tepat Ran.”

Aku menggelengkan kepalaku.

“Apakah pernah ada waktu yang tepat untuk kita?”
“Apakah pernah hatimu tetap untukku saja?”

Kau menggengam kembali tanganku.

“Pasti. Pasti ada.”
“Hatiku hanya untukmu Ran.”
“Tapi semesta belum mengizinkan kita untuk berdua.”
“Karena aku masih terikat oleh orang lain.

“Saat ini, adalah saat yang buruk untuk melepaskan ikatan itu.”

...

Aku mencegah air mataku untuk tumpah lagi malam ini.
Aku tidak ingin benci kamu, tidak ingin sama sekali.
Aku ingin terus mengingatmu sebagai perihal yang baik untukku.
Aku ingin terus memegang janjimu itu.

...

“Dia sedang berbadan dua.”

Air mataku tumpah tanpa sempat aku cegah.

“Jadi, aku mohon Ran. Mohon sekali.”
“Aku janji sama kamu Ran kita akan bahagia, nanti.”
“Tapi aku mohon kamu juga bisa janji kepadaku.”
“Bahwa kamu bersedia untuk menunggu.”

Terus terang, aku tidak tahu ingin menamparmu atau memelukmu saat ini.
Aku merasa marah sebagai seorang perempuan.
Namun, juga merasa cemburu sebagai seorang kekasih.

...

Siapapun yang mendengar kisah kita pasti akan timbul rasa benci di dadanya.
Aku tahu pasti.
Perlahan, bukan hanya orang-orang lain saja.
Aku mulai membenci diriku sendiri.
Ketika aku mulai jengah dan sadar bahwa janjimu palsu.

Tapi, aku tidak pernah bisa membenci kamu.

...

“Lalu, apa rencanamu untuk kita?”

Bergetar, akhirnya keluar kalimat tanya itu dari bibirku.

“Aku akan meminangmu Ran..”
“Setelah aku memutus tali pernikahanku dengannya..”
“Setelah anakku sudah lahir dari perutnya..”

...
  
Masih terasa hangat di ingatanku.
Semua detail kejadian malam itu.

Aku ingat dengan jelas, bagaimana semua pasang mata melihat ke arah meja kita.
Aku ingat, aku menatap kamu dengan amarah.
Aku ingat, kamu memegangi pipimu yang merah.
Setelah ada tamparan yang keras dariku di sana.

...

“Aku gak pernah nyangka bahwa kamu sejahat ini.”
“...Aku juga jahat karena egois menahanmu selama ini. Mengabaikan tali ikatan itu.”

Aku menatap nanar cincin di jemarimu.

“Jika kamu ingin aku terus mengingatmu sebagai perihal yang baik.”
“Lupakan rencana itu.”
“Aku akan tetap memegang janjimu. Bahwa kita akan bahagia dan baik-baik saja.”

Kini, aku menggengam erat tanganmu.

“...tapi aku tahu bahwa kamu juga tahu.”
“Bahwa kita tidak akan bisa berdua.”
“Aku tidak dapat menggenapimu, sebaliknya juga kamu.”
“Dari awal hubungan kita sudah ganjil.”
“Jadi, biarlah seperti ini.”
“Kalau memang hatimu untukku, aku tidak keberatan kamu terikat oleh hati yang lain.”
“Biarkan perihal hati kita menjadi rahasia.”
“Dan perihal janjimu, menjadi hadiah terindah untukku. Walau mustahil untuk menepatinya.”

...

Di bilangan yang tak terbilang.
Aku mengingatmu.

Hatiku lebam. Rindu itu kejam.
Aku meringis, mengingat janjimu yang manis.
Aku menangis, mengingat pelukmu yang magis.

Aku ingat dipeluk kamu setelah aku menamparmu dan mengucapkan kata-kata itu.
Ledakan itu meredam dengan sendirinya karena pelukan itu.
Setelah itu kamu mengantarku pulang ke rumah.
Memberikan kecupan ringan pada bibirku.
Mengucapkan selamat tinggal, dan berjanji akan tetap menghubungiku.
Dan berjanji akan melupakan rencanamu.
Aku ingat memeluk kamu sebelum kamu pergi.
Dan meminta kamu untuk bahagia.
Dan meminta bahwa kejahatan kita cukup sampai sini saja.
Aku ingat kita sama-sama menangis.

...

Hai, kamu?
Apa kabarmu?
Bagaimana kabar jagoan kecilmu?
Aku rasa aku tahu alasan mengapa tali kita terputus tiba-tiba.
Itu karena kamu sudah merasa genap.
Atau kamu sudah tahu.
Bahwa untuk merasa genap, kamu harus menghilangkan satu bilangan yang membuatmu selama ini ganjil.
Yaitu, aku.

Aku adalah bilangan yang kau pilih untuk dihapus dalam hidupmu.

Tak apa.
Aku tidak akan membencimu walau itu berarti..
Janji itu hanya untuk buatmu saja.
Bahwa yang bahagia dan baik-baik saja, itu kamu.
Aku tidak perlu.

Tidak apa, kamu.
Aku tetap mencintaimu.

Aku tidak peduli seluruh dunia membenciku.
Selama ada kamu, yang pernah mencintaiku.


Tng, 31 jan 2015.
Rani.

Kekasih gelapmu /Bilangan ganjilmu

Rabu, 13 Januari 2016

m e n u l i s

Rasanya kepala ini penuh dengan kata-kata.
Dan dadaku sesak oleh perasaan yang entah apa.

Kebanyakan kawanku mengatakan bahwa aku sangat sulit untuk terbuka.
Dan beberapa dari mereka menyatakan bahwa mungkin sebaiknya aku menulis sebagai wadahku untuk didengarkan.
Sayangnya, mereka tidak sepenuhnya benar. Mereka hanya sedikit keliru.
Bahwasanya aku, bukanlah sulit untuk terbuka. Hanya saja aku bingung harus memulai ceritaku dari mana. Dan mengapa aku harus bercerita? Kadang aku bertanya-tanya.
Aku menulis bukan untuk didengarkan orang lain. Tapi untuk mendengarkan diriku sendiri.
Apa yang sesungguhnya kurasakan. Apa yang sesungguhnya kuresahkan.

(Dan kehebatan menulis adalah ketika tujuanku hanyalah untuk mendengarkan diriku sendiri, terkadang orang lain juga tergerak untuk mendengarkan diri mereka sendiri.)

Terkadang, ketika kita mendapatkan masalah dan menceritakannya dengan orang lain.
Yang kita butuhkan hanyalah sebuah pembenaran.
Justifikasi.

Kita mengenal diri kita lebih baik dari siapapun.
Kita adalah teka teki yang teterka oleh siapapun.

Dengan menulis, menyusun rangkaian huruf demi huruf, menari di atas tuts komputer, berdansa di atas selembar kertas.
Setidaknya aku mampu mengingat apa-apa yang hendak terlupa.
Aku menulis untuk mengenang. Aku menulis untuk tergenang.
Bahwasanya, banyak sekali momen dalam hidupku yang rasanya tidak kuasa kulupakan tapi bisa kapan saja terhapus dari ingatan.
Karenanya, aku menulis untuknya. Untuk mengingatnya.

Menulis membuatku mampu menciptakan mesin waktuku sendiri.
Aku dapat kembali ke masa lalu, dengan membaca tulisan-tulisan lamaku.
Aku bisa melongok ke masa depan, dengan menuliskan khayalan-khayalanku.
Dan aku bisa membuat perbandingan, dan menghayati segala perbedaan.

Ah, ada terlalu banyak hal yang ingin kutuliskan.
Tapi aku bingung harus mulai dari mana.
Jariku terasa kaku sekali kala menuliskan ini semua.
Aku harus kembali berlatih, untuk melemaskan jari-jemariku.
Untuk mempersiapkan ingatanku, dan apa-apa yang kurasakan mengenai ceritaku.

Tegur aku jika aku kembali kalah oleh rasa malasku ya?
 Mari menulis,
Catat hari ini.
Untuk kita kenang nanti.
Hal-hal yang ingin ku tulis, dan semoga  jadi ku tulis :
1.       Trip To Pahawang
2.       Nostalgia Putih Merah
3.       Anggota Keluarga Baru




Tyas Hanina

P.S
Mohon sabar menunggu , siapapun kamu itu.
Aku juga sudah sangat rindu menulis untukmu.
Pembacaku.