Pages

Rabu, 21 Maret 2018

Mana teman mana kawan mana jamban.
Mana pagar yang makan tanaman.

Susah dibedakan.

Kamis, 15 Maret 2018

Melihat yang Tak Terlihat Mata (Review “Sekala Niskala”)

Sekala Niskala (The Seen and Unseen) | 2017 | Durasi: 86 menit | Sutradara: Kamila Andini | Penulis: Kamila Andini | Produksi: Treewater Productions, fourcolours films | Negara: Indonesia | Pemeran: Thaly Titi Kasih, Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena, Ayu Laksmi, I Ketut Rina, Happy Salma, Gusti Ayu Raka

-



Saya selalu merasa bahwa anak kembar memiliki kisah yang menarik. Bagaimana rasanya hidup berpisah raga dengan teman mengobrol sejak dalam kandungan?

Seperti analogi telur yang digunakan oleh Kamila Andini dalam film ini. Anak kembar digambarkan hidup dengan berdampingan satu sama lain. Seperti siang dan malam, warna putih dan warna hitam, atau putih telur dan kuning telur.

Pada scene pembuka film, kembar buncing yang menjadi tokoh sentral dalam film ini (Tantri dan Tantra) makan bersama di depan dapur rumahnya. Alih-alih membagi rata telur ceplok buatannya, Tantri memisahkan dua bagian telur. Putih untuknya, dan kuning diletakkan di piring Tantra.
Saat Tantra dikabarkan sakit, Tantri kehilangan seseorang untuk berbagi putih telurnya. Sedangkan, penyebab sakitnya Tantra menjadi pertanyaan sendiri? Apakah Tantra sakit karena mencuri telur dari piring sesajen? Atau benarkan Kembar Buncing memang membawa petaka seperti mitos di Bali?
Dari sinilah, Sekala dan Niskala mulai buram batasannya.

Pada penayangan film di Jatinangor Town Square, senin lalu, Mbak Kamila bilang memang sudah jadi kebiasaan orang kita untuk menghubung-hubungkan suatu kejadian nyata dengan yang tidak terlihat mata. Omongan yang dimulai dengan “konon katanya” seakan-akan menghantui. Tapi, dalam film ini, Tantri memberitahu kita bahwa Sekala tidak melulu cerah dan Niskala itu indah. Atau sebenarnya, sama saja gelap maupun terangnya.

Petaka kehilangan dan kesedihan Tantri memang tidak banyak disampaikan lewat verbal. Namun, tidak dapat disangkal bahwa anak-anak juga merasakan itu. Hal-hal yang tabu bagi anak-anak seperti kehidupan malam dan kematian dikisahkan dalam film ini.

Sabtu, 10 Maret 2018

“Lu lebih percaya omongan orang yang gak pernah ngobrol sama lo lebih dari lima menit apa gue yang ngabisin waktu sama lo terus?”

(Omelan depan pagar rumah, 2015)








*P.S
Thankyou, I need that.

Kamis, 01 Maret 2018

ya juga ya


"Lu ngerasa ga sih, pas kuliah, semua orang kok rasanya pinter-pinter amat.. lebih jago ngomong, baca lebih banyak buku, dan lain-lain.."

"Engga. Pas kuliah, gue malah nyadar kalo semua orang sama, gak tau apa-apa."



(@Warung ayam pedas saus keju, 2016)
Memasuki semester tua, semakin sedikit jam kuliah di dalam kelas. Waktu perkuliahan akan habis di lapangan, untuk latihan atau berpura-pura jadi jurnalis dalam kurun waktu beberapa bulan kedepan.

(Ngomong-ngomong, aku kangen nulis di blog ini dengan format diary anak SD. Hehe.)

Dear diary, hari ini aku ada kelas Kapita Selekta Jurnalistik. Aku gak paham apa makna di tiap patah kata mata kuliah ini sebenarnya. Apa itu kapita, maksudnya selekta bagaimana, dan, bahkan pengertian Jurnalistik yang udah jadi makanan sehari-hariku selama hampir 3 tahun ini.

Aku lupa ngerjain pekerjaan rumah, dan males juga buat ngerjain di dalem kelas. Aku malah asik main ular tangga yang jumlah kotaknya ada 104 dan garisnya mengsong-mengsong bareng Dedot. Permainan ular tangga kami berhenti di menit yang entah berapa, tanpa menemukan pemenangnya.

Dosenku (yang namanya tidak bisa kusebutkan di sini agar tulisanku terkesan misterius) akhirnya mengecek pekerjaan rumah satu persatu. Tiba giliran Dedot, yang hanya menjawab dengan cengiran khasnya, tapi setelah Dosenku berpaling darinya.. Dedot sibuk scroll linimasa instagram, melihat-lihat profil jurnalis foto kesukaannya.

Aku ingat, waktu semester satu, ketika ditanya mau jadi jurnalis macam apa, Dedot bilang dia pengen jadi jurnalis perang. Terdengar naif bahkan sampai sekarang. Tapi siapa yang tau? Lagipula saat itu dan sampai saat ini kita masih pura-pura toh jadi jurnalis? Jadi, ya gak perlu lah membatasi kepura-puraan ini.

Aku kira, nasibku akan sama mujurnya seperti kelas 2 SMA dulu, ketika guru matematikaku selalu menganggapku kasat mata. Mungkin aku dianggapnya tidak tahu apa-apa, atau justru paling tahu apa-apa. Entahlah. Namun, yang jelas hari ini aku tidak semujur itu.

"Saya belum kepikiran apa-apa, Bu."
"Selama seminggu ini gak kepikiran apapun?"
"Belum, masih ngawang."

Teman-temanku tertawa, ya itung-itung meramaikan suasana. Aku gak lantas scroll portal berita atau media sosial. Aku cuma duduk diam sambil mengelap hidung. Otakku bebal tidak bekerja dan memproduksi ide, malah hidungku yang giat memproduksi ingus.
Salah seorang teman mencolek bahuku, dan menyarankan satu dua topik bahasan. Tidak ada yang benar-benar membuatku penasaran.

-

Alih-alih menulis kronologi hariku yang biasa-biasa aja, harusnya aku riset topik penelitian yang katanya bakal lanjut jadi skripsi ini. Atau, daripada membuang-buang energi, pergi tidur saja lah.
Namun, aku tidak mampu. Usahaku untuk terlelap pergi ke jalan buntu. 

Aku gak bisa mengatakan aku tergila-gila dengan kegiatan ini. Tapi, sialan, aku tidak bisa berhenti kepikiran.
Kenapa ya dulu aku memutuskan untuk latihan jadi jurnalis?

-

Aku pernah bercerita sekilas di sini. Tentang sahabat pena yang kudapat dari salah satu majalah anak dan kaitannya dengan kelahiran blog ini.

Aku pengen nulis, menyentuh kehidupan seseorang bukan lantas untuk mengubahnya (karena mungkin selamanya aku tidak akan cukup istimewa untuk melakukan itu). Tapi, aku ingin sentuhanku itu buat aku merasakan banyak hal.

Sejak kanak-kanak, aku merasa media massa bisa membuatku jalan-jalan ke mana saja. Tidak secanggih baling-baling bambunya Doraemon sih, tapi aku merasa cukup dengan sulap yang kutemukan di lembar-lembar majalah itu.

Anak-anak, perempuan, petani, laki-laki, tukang kue, guru, atau orang utan sekalipun bisa kurasakan sentuhannya dari media massa. Dan, aku ingin suatu waktu menyentuh mereka atau orang lain yang membacanya.

Mungkin jawabannya sesederhana itu.
Gatau sih.
Hehe.
-
 
Sepertinya aku harus buru-buru pergi tidur. Bukan karena ngantuk, tapi karena 6 jam dari sekarang aku harus kembali pura-pura jadi jurnalis lagi. Kepura-puraan itu menguras energi.

Tadi, di jalan buntu, waktu kuarahkan senterku. Ada beberapa petunjuk yang tertulis di temboknya. Gak bisa kutuliskan di sini. Karena kalo gitu, aku bukannya nulis catatan harian, tapi buat rancangan penelitian.


Udah ah, aku mau tidur.
Semoga aku mimpi ketemu Bona dan Rong-Rong.

Besok, atau lusa, atau minggu depan, aku akan nulis catatan harian lagi.






Jatinangor,



Tyas Hanina