Pages

Jumat, 30 Desember 2016

message to myself

what i've written here is a message to myself


Tidak perlu label apapun untuk menggambarkan dirimu,
Lakukanlah apa yang kamu mau,
Dimaknai seperti apa kamu nantinya, tidak perlu tahu.

Lakukanlah untuk dirimu, tanpa takut dicap ini itu.
Lakukanlah karena dirimu, bukan untuk dikenang ono dan anu.

Ingatlah sepenggal kalimat ini selalu ;
"Buku yang ingin kamu tulis? Tak 'kan mampu menulis dirinya sendiri.
Bahasa yang ingin kamu kuasai? The vocabs are not gonna line up inside your frontal lobe by themselves.
Instrumen musik yang ingin kamu pelajari? Well, you get the drift!
Tempat yang ingin kamu kunjungi? Just go."

i toss it into the air, like a boomerang

Biarlah orang lain memaknaimu apa saja,
Tapi jangan jadikan itu justifikasi atawa pembenaran dari apa yang kamu lakukan atau sekedar percayakan.

but the boomerang that returns is not the same one that i threw

Maknamu lebih dari itu,

Mereka tak 'kan sanggup untuk meraihnya.
(Bahkan dirimu sendiri)

Jangan mencari orang lain untuk mencari dirimu sendiri.

be free,
be You,

to the one who is still struggling to love herself :
Tyas Hanina

*
*
*

Tulisan ini adalah lembar terakhir di tahun 2016.

Minggu, 04 Desember 2016

Sialan



Kemejanya digulung hingga siku.
Sesekali ia menjetikkan abu rokok di tangannya.
Nada bicaranya sombong sekali.
Dia tahu,
bahwa dia tahu hampir segala hal.
Namun, ada satu yang luput dari pengetahuannya.
Dia tidak tahu,
dia menarik.
Setidaknya untukku.



Sesekali aku menundukkan kepalaku.
Mataku menyusuri ruangan.
Mencoba menemukan apa yang bisa kuperhatikan,
selain dirinya.
Sialan!
Aku melupakan satu hal yang penting.
Hati selalu punya aturannya sendiri.


*
*
 * 

Honestly,

I crave the deepest connection with others.
But, it’s hard for me to trust, to let anyone in.

Jumat, 25 November 2016

"Nanti kalo gue punya anak.."



“Nanti kalo gue punya anak.. kalo cowok mau gue suruh les masak. Kalo cewek gue suruh les drum.”
“Keren tuh pasti.”


Minggu, 20 November 2016

pulang



Semakin aku menua,
Rumah kehilangan batas definitnya.
Bahkan, aku kesulitan untuk mendefinisikannya.

Rumah bukan lagi perihal bangunan. Bukan pula perihal ruang.
Definisinya menjadi sangat elastis, seolah bisa kutarik sampai ujung dunia.

Aku selalu merasa ingin pulang.
Pulang.
Pulang.
Pulang.
Seakan ada yang selalu membisikannya bagai mantera di telingaku.

Melebur aku di hiruk pikuk kesibukan yang ku buat-buat.
Di tengah-tengah obrolan yang tidak perlu.
Di antara hal-hal bodoh yang terkadang lucu.

Life is great. I’m surrounded with a bunch of good people.

Tapi, aku tetap ingin pulang.

Mungkin, bahwasanya.
Hanya aku yang tidak pernah merasa cukup.
Bahkan untuk diriku sendiri.







Apakah saat aku “pulang” nanti semua akan terasa masuk akal dan cukup untukku?

Tapi, ngomong-ngomong,
Pulang ke mana?

Sabtu, 29 Oktober 2016

How to stop time?

Santolo, 28 Agustus 2016


I held on to close the sky's finally fall over me
I stood all to tall the ground's finally shake under me
I feel to the light they were more translucent than I knew
I feel into deep the truth knocks me flat down on the ground

I don't mind if the world crashes down

(Adhitia Sofyan)

Rabu, 26 Oktober 2016

Selamat



Joko Pinurbo bertanya dalam salah satu puisinya, “Apa beda selamat jalan dan selamat tinggal?

Namun, aku jauh lebih penasaran.
Apa yang menjadi pertimbangan semesta untuk meramu sebuah pertemuan dan perpisahan?

*

Toh, katanya keduanya sama-sama dilambangkan oleh lambaian tangan.
Lalu, bagaimana dengan pertemuan yang tidak disengaja? Atau bahkan tidak diinginkan?
Kemudian, bagaimana dengan perpisahan yang tiba-tiba? Tanpa adanya sesuatu yang menginsyaratkan?

Lambaian tangan.
Hah.
Bahkan sebuah sapa dan salam pun enggan diucapkan.
Boro-boro, kalimat selamat ulang tahun disampaikan.

*

Sudahlah, Mas Joko.
Usahlah bertanya-tanya sesuatu yang jawabannya tak pasti.
Janganlah mengira-ngira sesuatu yang berhubungan dengan hati.
Nanti yang ada, Mas Joko malah pusing sendiri.
Seperti saya saat ini.

*

(Usai saya mempublikasikan tulisan ini,
Semesta mengajak saya bercanda sepertinya.
Rupanya,
Datang pesan darinya.
Selamat ulang tahun, katanya.)

Sabtu, 20 Agustus 2016

Media Sosial


Akhir-akhir ini,
Aku merasa ingin menonaktifkan semua akun media sosial ku.
Atau hanya sekedar menghapus semua postinganku.
Aku ingin hilang, tak berjejak.
Meski aku sadar betul, apapun yang sudah dibagikan di jagat internet, tak akan pernah terhapus.

Namun, nyatanya. Tak semudah itu.
Aku masih suka scrolling timeline. Melihat-lihat postingan teman, mengintip semesta mereka untuk sekedar tau bagaimana kabarnya. Yah, meskipun apa-apa yang dibagi belum tentu sama dengan yang sebenarnya terjadi. Tapi, setidaknya teknologi mengizinkanku untuk sekedar tahu mereka masih ada di semesta.
Aku juga masih senang menonton postingan orang-orang yang tak kukenal di dunia nyata, tapi menarik untuk kuikuti di media sosialnya. Mereka seringkali memberikan sesuatu yang menarik setiap harinya. Terkadang menginsipirasi, menginformasi, atau sekedar untuk haha-hihi.
Aku pun, masih gemar membagikan sepotong demi sepotong kehidupanku di media sosialku. Meski aku selalu menahan diri untuk tidak terlalu membuka diri. Tapi, rasanya selama akun media sosialku masih ada, aku akan terus menelanjangi diriku sendiri. Dan, selama pengikutku masih ada, aku selamanya akan peduli tentang apapun yang kubagi.

Mungkin, jika dibandingkan dengan kawan-kawan seumuranku. Aku memang tidak terlalu terbuka di media sosial. Hampir semua akun media sosialku, aku beri gembok. Kuncinya hanya kubuka apabila aku mengenal orang tersebut di dunia nyata.
Seorang temanku pernah mengatakan aku terlalu sombong akan hal itu. Aku hanya tersenyum menanggapinya, kami berbeda persepsi akan makna sombong itu sendiri.
Bagiku, hal yang kulakukan itu bukanlah bentuk kejumawaan diri.
Bagiku juga, itu otoritasku untuk memilih siapa yang kuikuti dan siapa yang mengikutiku.

...

Media sosial itu kebanyakan adalah tentang pilihan.
Dari awal, kamu memilih untuk membuat sebuah akun atau tidak.
Lalu, memilih postingan apa yang ingin kamu bagi dan akun lain yang ingin kamu ikuti.
Jangan lupa. Kamu juga harus memilih foto profilmu dan sepatah dua patah kata untuk menjadi biomu.
Kamu bahkan dapat memilih untuk menjadi dirimu sendiri atau memakai topengmu di sini.

Itu terserah kamu.
Namun, jangan lupa kamu harus bertanggung jawab akan pilihanmu sendiri.

Media sosialmu itu sedikit banyak menggambarkan dirimu. Menceritakan sedikit demi sedikit tentang semestamu.
Postingan apa yang kamu bagi hari ini? Foto terbarumukah? Lagu yang sedang kau dengarkan? Film yang sedang kau tonton? Tempat yang baru kau kunjungi? Ah, atau kau baru saja memperbarui status hubunganmu?

Media sosialmu itu sedikit banyak mempertontonkanmu kehidupan orang-orang yang kamu ikuti.
Hati-hati, kamu bisa saja dipengaruhi. Hati-hati, ada banyak penyakit hati.
Barangkali, kamu merasa iri melihat kehidupan seseorang yang terlihat lebih menarik. Barangkali, kamu cemburu melihat seseorang mendapatkan apa yang dia mau. Barangkali, kamu jumawa karena merasa dirimu lebih baik dari dirinya. Barangkali, kamu marah karena apa yang dia bagi tidak sama dengan apa yang kamu yakini.

Sekarang, jika kamu sadar akan hal ini. Kamu pun merasa harus berhati-hati terhadap apa yang kamu bagi. Karena sedikit banyak, kamu mempengaruhi.

...

Aku pun berhati-hati dalam mengetikkan setiap huruf dan spasi di postingan ini.
Salah benarnya pendapatku, aku tidak tahu.
Hanya saja, aku merasa perlu mawas diri untuk tidak terjebak dalam egoku sendiri. Untuk tidak merasa bahwa aku paling benar atau aku tidak pernah salah.

Kamu tahu Ego Traps?
Ego Traps itu begini.. kamu merasa telur itu paling enak kalau diceplok. Lalu, kalau kamu dengar ada orang lain yang  bilang kalau telur itu paling enak direbus. Kamu merasa marah dan menganggap bahwa mereka itu aneh. Merasa bahwa kamu yang paling benar. Selain kamu, itu salah.

Ah, mungkin analogiku tentang telur ini ngaco.
Selengkapnya kamu bisa memahaminya dengan membaca tulisan yang ada di gambar di bawah ini.



“Always be aware of the feeling of superiority.”

Berhubungan dengan media sosial. Seringkali, Ego Traps menyerang kita di sana.
Maka dari itu, berhati-hatilah dengan media sosialmu.
Berhati-hatilah dengan egomu.

...

Hari ini..
(Ah, ralat. Karena ini sudah pukul 3 pagi.)
Maksudku, kemarin.

Aku tidak jadi menonaktifkan media sosialku atau menghapus postingan-postinganku di sana.
Aku ingin menjadikannya mesin waktu. Sewaktu-waktu, ketika sudah ada media sosial baru. Aku dapat membuka profilku dan melihat-lihat lagi apa yang ada di sana.
Aku suka mengenang-ngenang sesuatu.

Malahan, aku membagikan beberapa hal di media sosialku hari ini.
Aku mengunggah sebuah foto yang kuambil ketika aku sedang menjemur pakaian di atap kosanku.
Aku juga mengunggah beberapa tweet terkait  lipstik yang kupakai hari ini dan komik yang kubaca malam ini.
Tidak ada satupun yang krusial dan penting untuk orang lain ketahui, mungkin.
Tapi, bisa jadi juga penting.

Karena foto itu, pengikutku tahu aku ada di mana saat ini.
Karena tweetku tentang lipstik, pengikutku tahu seperti apa produk bibir itu dari review (sotoy)ku.
Karena tweetku tentang komik, pengikutku memiliki bacaan baru.

Aku memberikan pengaruh dari media sosialku. Mungkin kecil. Mungkin tidak seberapa. Tapi, ada.
Saat ini pun, aku sedang mempengaruhimu lewat tulisanku.
Seperti apa pengaruh yang kuberikan, aku tidak benar-benar tahu.
Mungkin, kamu hanya akan menganggap tulisan ini bagai angin lalu.
Atau mungkin tulisan ini membangkitkan ide yang sudah lama terkubur dalam pikiranmu.
Atau mungkin, tulisan ini membuatmu rindu padaku.
(Oke, sepertinya aku lebih baik tidur daripada tulisan ini berubah menjadi sajak patah hati).

Hehe.



Tyas Hanina
Jatinangor