Pages

Senin, 10 Juni 2019

Raya



Salah satu pertanda bahwa hari perayaan itu segera dimulai adalah dapur rumahku yang ngebul.
Ibu sibuk mondar-mandir mengantarkan pesanan kue nastar. Meski mungkin akan bias, tapi aku merasa kue nastar buatan toko dengan bulatannya yang sempurna disertai bungkus pita tidak akan pernah jadi pesaingnya. Ibuku konsisten membuat kue nastar, hanya kue nastar, selama bertahun-tahun di setiap bulan Ramadhan.
Aku punya satu cerita sedih tentang ini. Sewaktu acara halal bihalal di SMP, setiap dari kami diwajibkan untuk berdadan rapi bak hari raya dan membawa kue kering dari rumah masing-masing. Aku tampil dengan tunik biru laut yang kubeli di Matahari, dengan bangga menenteng kue nastar buatan Ibu. Terima kasih untuk tangan teledorku, aku tidak sengaja membenturkannya di angkot. Dan begitu ku periksa, penampilan kue nastar itu sudah berantakan. Aku tetap meletakannya di meja saji, tapi tidak ada yang mau mencicipi nastarku.
Setelah bertahun-tahun, aku masih merasa tidak enak dengan Ibu. Sedih membayangkan nastar buatan Ibu mungkin akan melayang ke tempat sampah tanpa satu tangan pun menjamahnya.

Menjelang hari raya, biasanya akan ada banyak tamu yang datang ke rumah untuk bertemu dengan Bapak. Dari mulai saudara hingga teman kantornya, sebagian besar dari mereka biasanya menghabiskan waktu untuk berdiskusi dengannya.
Terkadang, Bapak juga mengajakku berdiskusi di sofa ruang TV, walau seringnya aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak tahu banyak tentang kerajaan Inggris, urusan politik Donald Trump, buku-bukunya Rumi, dan sebagainya. Merespon ketidaknyambunganku, Bapak tetap baik dan matanya seolah mengatakan tidak apa-apa, duduklah, aku hanya ingin bercakap-cakap. Jadi, seringkali aku hanya duduk di sofa dan mendengarkannya berbicara.
Saat aku hampir masuk SMA, Bapak pergi dinas ke negeri Gajah. Mendekati akhir Ramadhan ia pulang ke tanah air. Aku sempat pundung karena jumlah uang lebaran yang kuterima lebih kecil dari kepunyaan Aa’ku. Sampai sekarang aku merasa malu ketika ingat saat Bapak menghampiriku dan meminta maaf karena ia masih membutuhkan uangnya untuk membeli tiket pesawat.

Aku hampir tidak pernah bisa tidur di malam takbiran dan tahun baru. Aku sangat mudah terbangun. Bunyi petasan adalah musuhku. Bagaimana ya? Mendengar suara batuk atau pintu kamar mandi yang terbuka di lantai bawah pun bisa membuatku pulang dari dunia mimpi. Padahal apa susahnya sih tinggal merem dan pura-pura tidur sampai tidur tidak lagi pura-pura?
Suatu malam, Aa’ sibuk menjajal gitar listriknya yang belum lama dibeli. Naluri bermusiknya memang alami. Dan diantara tiga bersaudara, dia adalah yang paling unggul di bidang seni. Sayangnya, saat itu timing­-nya tidak pas. Aku sedang kelelahan hingga rasanya seluruh tubuhku meleleh. Begitu memejamkan mata, suara gitarnya semakin membesar. Aku sibuk meneriakinya untuk berhenti selama beberapa menit.
Gumpalan rasa bersalah masih sangat pekat di dadaku. Setelah aku kuliah di luar kota, Aa’ pindah kamar tidur. Padahal sekarang, ia bebas kalau mau menciptakan orkestra semalaman penuh.

Jkt (5/6/19)
“Dek, ada kembang api!”
Bapak memanggilku dari ruang tamu. Kami baru saja selesai menyantap buka puasa terakhir, tumpukan piring dan gelas masih menumpuk di meja, dan aku masih terlena di sofa ruang TV sambil memainkan ponsel.
Aku ragu kembang api itu masih bisa menyala. Seingatku, Aa’ membelinya ketika keponakanku sedang berada di rumah awal tahun yang lalu. Kami sempat memainkannya bersama di depan teras selama beberapa menit saja, karena ternyata dia takut api.
Kabar baiknya, mereka masih menyala dengan sangat terang!
Aku dan Bapak sempat menyalakan 1 batang dan memotretnya sebagai kenang-kenangan. Setelahnya, kami masuk ke rumah dan memutuskan untuk menghadiahi kembang api ini kepada anak-anak yang takbiran di masjid. (Entah ini ide yang bagus atau tidak. Setiap kali mendengar kata kembang api, memoriku terbagi dua; 1. Perang sarung dan mukena saat taraweh, 2. Tragedi meledaknya pabrik petasan yang tidak jauh dari rumah).

Keesokan harinya, aku bangun saat Shubuh. Tubuhku sakit luar biasa karena tidak menelan tidur dengan sempurna. Aku sempat pindah ke kamar tidur Nenek yang sudah kosong, tapi rupanya hal itu tidak banyak menyumbang nyenyak.
Beberapa kenalanku mengeluh tentang kemungkinan datangnya pertanyaan menyebalkan ketika bertemu sanak saudara. Aku hanya bisa nyengir kuda membaca satu per-satu curhatan mereka. Ada yang kesal karena ditanya kapan lulus, kapan nikah, kapan membawa pacar, kapan kurusan, kapan kerja, kapan punya anak, dan sebagainya.
Aku sejujurnya tidak begitu keberatan ditanya seperti itu. Sangat sulit untuk membuka obrolan, dan aku suka ketika ada yang datang dan membawa pertanyaan duluan.
Tapi, dari pengalamanku, mungkin karena aku bungsu. Aku nyaris tidak pernah ditanya apapun perihal asmara. Saudaraku kebanyakan bertanya tentang rencana pendidikanku saja. “Tyas, sudah kelas berapa? “Sudah kuliah?” “Sudah kelar skripsinya?” “Sudah ada rencana S2 ke mana?” “Kamu jurusan apa?” “Oh, wartawan, gajinya kan kecillllll”
:D
Memang sih ada pahit-pahitnya sedikit seperti tidak sengaja mengigit lengkuas di kuali rendang. Tapi, ya sudah, telan saja atau lepeh. Asal jangan diabaikan saja seperti nastarku di tahun 2010 dulu.

Akhirnya jawaban dari pertanyaan “Tyas, kapan kamu nulis lagi di blogmu?” tidak hanya kujawab “Kapan-kapan”, tapi “Sudah, sudah kutulis!”. Haha. Selamat hari Raya, semuanya! Semoga setiap dari kita bisa memaafkan kesalahan diri masing-masing.




Tyas Hanina

Tyas Hanina

Jumat, 19 April 2019

Tubuh Adalah Perjalanan (Review ‘Kucumbu Tubuh Indahku’)


“Tubuhku adalah rumahku.”

Pernahkah kamu membayangkan sebuah bangunan bersikap agresif kepadamu? Sebuah benda yang kamu kira selama ini mati? Bangunan ini kamu bawa ke mana-mana. Ke selatan, utara, timur, barat daya. Kamu letakkan ia di posisi mana pun yang kamu hendaki. Kamu tinggal di dalamnya, berlindung di naungan atapnya.
Tanpa kamu sadari hubunganmu dengannya bersifat paradoksial. Karena pada saat yang bersamaan, kamu juga digerakkan olehnya.
Hasratmu, penasaranmu, amarahmu, girangmu, kecewamu, traumamu. Semua hal yang kamu kenang di dalam kening menjadi bahan bakar penggeraknya.

Jumat, 15 Februari 2019

Langit Biru, Awan Putih.


Sembari telentang di bangku belakang mobil, telapak kakiku menyapa kaca jendela, mataku kadang terpejam atau sibuk menari-nari dalam halaman komik. Aku tiba-tiba mampu meramal cuaca, kalau telapak kakiku hangat berarti di luar tidak hujan deras. Apabila telapak kakiku sejuk berarti matahari sedang bersembunyi. Sederhana sekali pemikiranku di usia ke-9 tahun.
Kadang-kadang, setelah Ibu memarahiku dan menyuruhku duduk dengan posisi yang benar. Pandanganku baru kulemparkan ke arah angkasa. Langit biru, awan putih. Aku senang tidak memikirkan apa-apa sembari sibuk memerhatikan arakan awan. Meramal cuaca jadi lebih susah. Mataku selalu terlambat menangkap titik hujan pertama yang jatuh, atau ancang-ancang matahari untuk kabur.
-
Langit biru, awan putih.
Siang ini, tiba-tiba aku ingin mematikan lampu kamar dan membuka gorden jendela. Cuacanya cerah sekali saat ini, tapi tidak ada garansi pasti keadaannya akan terus seperti ini 30 menit nanti. Aku baru selesai membaca bab “Melukis Langit” di buku 9 dari Nadira yang terbit lebih dari 9 tahun lalu.
Tiba di halaman ke-80, aku tanpa sadar melipat ujung halaman itu. Aku benci sekali kalau bukuku mendapat perlakuan yang sembarangan, tapi apa yang kusaksikan di halaman itu membuatku ingin membacanya berulang-ulang kali. Kemudian, memutar otak mencoba mengingat kembali ruang redaksi yang kutemui 3 bulan lalu, membayangkan tenggat waktu yang mungkin akan kuhadapi 3 tahun ke depan.
Nadira, mungkin benar menjadi wartawan itu memang....
Lamunanku terhenti sebentar setelah bunyi token listrik tetanggaku berbunyi.
Tititititititititititit..
-
Langit biru, awan putih.
Setelah kuperhatikan kalimat ini sangat dogmatis. Kalau kamu kerahkan seluruh konsentrasimu pada dua benda angkasa itu, kamu akan tahu bahwa pernyataan itu tidak pernah sepenuhnya tepat.
Biru langit tidak pernah benar-benar biru. Ada campuran warna abu-abu sedikit, seperempat warna ungu terkadang, merah jambu juga suka ikut-ikutan. Awan juga sama, ia tidak sesuci itu, kadang ada coretan warna abu-abu (lagi-lagi), juga jingga, dan jangan lupakan ungu.
Semua warna yang berkumpul itu memang seringkali bekerja sama dengan baik untuk menciptakan pemandangan angkasa yang selaras. Sapuan warnanya selalu tercampur dengan baik. Pencipta angkasa sungguh punya bakat seni yang tinggi.
Tidak sepertiku yang sampai sekarang masih tertatih untuk menggambar langit biru dan awan putih dengan cat air. Terakhir kali aku mencobanya aku sangat marah pada diriku sendiri dan merusak canvas kedua yang kubeli. Aku bukan pelukis langit yang baik.
-
Langit biru, awan putih.
Terbentang indah, lukisan yang kuasa.
Ku melayang di udara, terbang dengan balon udaraku.
Oh, sungguh senangnya lintasi bumi. Oh, indahnya dunia.

Ah, setelah lidahku pegal melafalkan kalimat itu akhirnya aku sadar itu salah satu lirik lagu Sherina.
Apa kabar ya dia sekarang? Apa masih senang menyusuri kebun teh dan menyusup ke observatorium bintang? Aku sudah tahu jawabannya, tidak. Tidak lagi. Sherina sibuk entah di mana dan mengejar sesuatu yang entah apa. Bukan Sadam, bukan bintang, bukan cokelat Chacha.
Sherina pasti terbawa terbahak-bahak kalau tahu aku pernah gagal menonton atraksi langit di Bosscha. Waktu itu seharian cuaca cerah, sampai matahari tidur langit juga masih baik-baik saja. Aku tidak menyelinap ke observatorium itu. Aku sudah memesan tiket dari jauh-jauh hari.
“Halo, tiket nonton bintangnya dua ya?” Penjaganya pun masih ingat suara sengauku di telepon.
Tiba-tiba hujan turun. Bukan tik tik tik lagi bunyinya. Langsung bressss. Lalu brrr.
Aku tidak bawa jaket tebal, hanya jas hujan biru muda yang kutinggal di jok motor. Kulihat dari ujung mataku, para petugas observatorium segera sibuk menutup teropong. Takut air hujan masuk. Takut peninggalan bersejarah itu rusak. Tapi, mereka tidak takut aku akan kecewa karena gagal menonton bintang. Sialan.
-
Langit biru, awan putih.
Aku sudah bosan mengingat kalimat itu, aku mau pergi ke kasur dan mendengarkan kembali kisah Nadira.
Belakangan ini aku banyak membaca buku dan menonton film. Kadang-kadang kulakukan dua aktivitas itu di kamar mandi. Sembari mencuci baju dan mengelap piring. Untungnya aku tinggal sendirian saja, jadi tidak akan ada yang bingung kenapa aku selalu menghabiskan waktu yang banyak sekali di ruang sempit itu.
Aku tidak tahu lagi apakah kekosongan waktu ini bisa kubilang masa berlibur. Aku sudah kenyang rasanya ongkang-ongkang kaki. Ingin segera menyelesaikan apapun yang kumulai 4 tahun lalu, dan pergi dari sini.
Eh, tapi pergi ke mana ya?




Jatinangor,





Tyas Hanina

Minggu, 18 November 2018

kenapa ya            ?




 

            ?     puisi kontemporer





                                               selalu memakai banyak spasi            ?







                                                                   ?                            sedangkan diksi semakin basi

_____________________________________________________________________________

sedangkan,
                  otak
                           semakin
                                          nggak
                                                        p    e    i   i
                                                            r   s  s

______________________________________________________________________________
                                                                                                                                 sedangkan,
                                                                                           konsentrasi habis pada

<3<3<3<3<3 <3<3<3<3<3 <3<3<3<3<3 <3<3<3<3<3 <3<3<3<3<3 <3<3<3<3<3 <3<3<3<3<3

                                 jumlah likes yang harus dipelototi

_______________________________________________________________________________


orang bilang
                   yang penting menulis
                                                     agar kamu abadi
                                                                               agar dikenang sampai jauh-jauh hari
sibuk berpegangan
                               pada kutipan
                                                     tulis hari ini
                                                                         untuk kita baca
                                                                                                 di kemudian nanti
padahal menjadi
                           penulis bukan
                                                  menjadi prestasi
                                                                             pun menjadikan
                                                                                                       kamu priyayi
______________________________________________________________________________


 apakah  lusa
 atau
sepuluh tahun lagi
                                                j              a              r                 a                 k
 ? masih berarti ?

 _______________________________________________________________________________

?
   pusing
               nggak
                          sih
                                 baca
                                         tulisan
                                                    kaya
                                                             gini
                                                                     ?
sekali ini saja,
                       izinkan aku
                                           mengunjungi museum kata
                                                                                        di kepalamu itu.

Kamis, 15 November 2018

Amunisi

Kalau menulis adalah senjata, Pujangga sudah kehabisan amunisi.