Pages

Senin, 17 November 2014

Same shit, different day.

Begitulah kalimat yang tertulis di punggung seorang pengendara motor yang berada di hadapan saya ketika berangkat sekolah. Raut pria itu menahan kantuk, begitu pula anak kecil berseragam putih merah yang dengan erat memeluk pinggangnya. Mungkin ini adalah salah satu rutinitas mereka, salah satu agenda wajib yang terisi di 5 hari dalam seminggu. Rutinitas yang bisa dibilang dialami oleh kebanyakan orang.
Termasuk saya.
Pada rentang waktu 6 sampai 7 pagi. Saat Spongebob dan Patrick baru muncul di televisi hingga acara mereka selesai. Pada saat itu, jalan raya dipenuhi oleh kendaraan. Dipenuhi oleh orang-orang yang berangkat ke tempat tujuan, berjuang untuk sesuatu di masa depan. Menuju kantor untuk mencari sejumlah materi, menuju sekolah untuk meraih segenggam ilmu.
Roda kehidupan terus berputar seperti itu. Setidaknya, begitu yang saya liat di kota tempat saya tinggal yang tidak terlalu besar ini.
Entah kapan roda itu akan berhenti.
Dan, bukan itu hal terpenting untuk dipertanyakan.
Kapanpun roda itu dapat saja berhenti. Dan entah siapa yang sudah siap untuk beradaptasi.

Justru yang terus menerus menggangu perhatian saya adalah pertanyaan..
Apakah kita benar-benar “bergerak” ketika roda kehidupan berputar?
Apakah kita selama ini hanya “digerakkan” dan mengikuti geraknya?

Does it matter? For me, yes.
Sedari dulu, mimpi buruk saya adalah menjelma jadi sebuah “monster” yang bernafas namun tidak benar-benar hidup, pergi tidur namun tidak punya mimpi, berjalan tapi tidak punya tujuan. Menjadi hanya seonggok daging yang punya nama.
Rutinitas terdengar membosankan. Ah tidak, memang membosankan.  Meski, saya tahu saya pun membutuhkannya.
Tapi di sisi lain, saya pun merasa lelah akhir-akhir ini dengan segala rutinitas yang dibedakan hanya dengan pergantian hari.

Saya mulai meragukan bahwa hitungan 1 hari di hari sabtu dan minggu adalah 24 jam. Karena rasanya, 2 hari tersebut berlalu dalam satu pejaman mata.

Lalu ketika saya membuka mata. Hari senin sudah menyapa.
“Hai, tanggung jawabmu sudah ada bersamaku.”
Dan saya harus tersenyum palsu menyambutnya, dengan tanggung jawab yang datang bersamanya.

...

You know, it’s kind of tired that sleep can’t fix.

Saya tidak dapat menemukan kata yang cocok untuk mewakili perasaan yang memeluk erat saya akhir-akhir ini.
Tapi sepertinya, kata Lelah sudah cukup mewakili.

Tired. And scared.
Saya takut menjadi “monster”.

Tadi malam saya bermimpi. Di mimpi tersebut, saya menonton diri saya sedang berbicara di depan kelas menjelaskan pemikiran saya akan sesuatu hal (yang saya lupa apa tepatnya).
“...pada intinya... yang membedakan dirinya hari ini dan esok hari bukanlah hitungan usia. Yang terpenting bukanlah hal apa yang dia harapkan hadir ketika ia membuka mata esok paginya, bukan hal apa yang akan dia dapatkan keesokannya.
Namun, yang terpenting adalah apa yang dia lakukan pada hari ini, apa yang dia perjuangkan dari fajar hingga senja tiba.
Itu yang terpenting.. itu yang akan merubahnya. Itu yang akan membedakan dirinya yang kemarin dan sekarang.”

Saya tidak pernah menganggap mimpi sebagai suatu hal yang remeh. Karena itu, ketika saya terbangun dari mimpi tersebut. Saya merasa tertampar oleh kata-kata yang saya ucapkan di mimpi.

Ah, Yas.
Lo ngapain aja selama ini.

Semoga bekas tamparan ini terus terasa ketika saya berhenti “bergerak”.

...

“We know you’re tired.
Tired and scared.
Happens to everyone, okay?
Just don’t let your feet stop.”
-Haruki Murakami-


Tyas Hanina

Sabtu, 04 Oktober 2014

Selain dirimu

Put your iPod/Spotify on shuffle, grab the lyric that appears 1:35 into the song,
and write from there.

Dua – Kau
1:35

Selain dirimu.

...

Selamat malam, Tuan.
Apa yang sedang kamu lakukan di ujung minggu ini?
Tebakku, kamu sedang bersama seorang perempuan.
Seseorang yang pastinya bukan aku.

Ah, tidak. Aku tidak akan mengeluhkan hal itu. (Atau mungkin aku akan..)
Aku hanya ingin bercerita tentang malamku.
Malam yang kulewati dengan segelas kopi yang didinginkan oleh angin malam.
Yang kuhabiskan dengan mengguratkan penaku, menulis huruf per huruf, berkisah tentang kisah cinta pahit. Kisah fiksi, yang kuharap tak akan pernah jadi nyata.
Sesekali aku mendongakkan kepalaku, menatap kursi kosong di hadapanku.

Seandainya ada kamu duduk di situ.

Mungkin, aku tidak aka rela bersibuk-sibuk membalas pesan yang muncul di ponselku.
Bahkan mungkin, aku tidak akan ingat aku membawa ponsel itu.
Karena percakapan langsung denganmu jauh lebih kutunggu.
Karena berbagi gelak tawa denganmu akan selalu kurindu.

Apa mungkin diriku tanpamu?
Jika aku jauh nanti, meninggalkan kamu dan kota kelahiranku ini.
Menanggalkan akar yang menempel di kakiku selama ini, meninggalkan kamu bersama segala kenangan semu..

Aku terbiasa sendiri. Aku tidak mempermasalahkannya, tidak lagi.
Sesekali aku memang masih bertanya. Mengapa harus sendiri? Mengapa tidak berdua denganmu?
Tapi, itu hanya sekedar pertanyaan. Yang sebaiknya harus segera kulupakan tiap-tiap kali muncul di kepalaku.

Hanya saja...
Ah.
Kenapa aku jadi terkesan mengeluhkan ketidakhadiranmu?

Malam ini, aku pindah dari tempat duduk yang biasa kutempati di kedai kopi ini.
Rasa-rasanya, aku hanya pernah duduk di satu tempat meski sudah sekian lama berkunjung ke sana.
Aku merasa jenuh. Dan terganggu dengan suara tawa berisik di meja sebelahku.
Aku pindah ke tempat yang lebih sepi. Meja depanku kini adalah sebuah keluarga kecil yang tengah menikmati makan malamnya.
Akupun menikmati kesendirianku.

Para pelayan mondar-mandir mengantarkan pesanan. Salah seorang dari mereka, menatapku. Entah sejak kapan.
Aku tidak sengaja membalas tatapannya. Dan memberikan senyumku. Dia membalasnya.
Kamu tentu tau. Aku terbiasa menghindari tatapan mata.
Bahkan, matamu. Pijar terindah yang pernah kupandangi tidak kuasa lama-lama kupandang.

Karenanya, setelah itu aku kembali melemparkan pandanganku ke buku. Kembali menundukkan kepalaku. Tenggelam dengan pikiranku, dan harapanku akan kehadiranmu.

Sebenarnya,
Malam ini, aku tidak sedang ingin benar-benar sendirian.
Aku butuh teman untuk berbagi obrolan.
Karenanya, aku rela bersibuk-sibuk membalas pesan di ponselku. Yang biasanya kudiamkan ketika aku ingin sendirian.
Karenanya juga, aku mengeluhkan ketidakhadiranmu. Yang biasanya aku coba lupakan.

Mengapa kamu tidak hadir malam ini?
Setidaknya, muncullah di ponselku. Singkat saja, sapa aku dengan ucapan selamat malammu.
Tidak usah mengucapkan apa-apa lagi. Tidak perlu kata-kata manis itu lagi.
“Selamat malam”.
Itu sudah lebih dari cukup.
Seperti sesendok gula untuk kopiku malam ini.

Tuan. Selain dirimu, siapa lagi yang bisa kubayangkan duduk di hadapanku saat ini?
Berbagi dua gelas kopi di meja. Berbagi gelak tawa dan mimpi-mimpi tanpa ada jeda.
Apa rencanamu setelah ini? Tahun depan, kemungkinan besar kita akan semakin berjarak.
Sebelum itu, aku ingin melewatkan hari bersamamu. Sekedar bercerita.

Lucu mengingat bagaimana dulu sering kali aku terganggu oleh dirimu yang cerewet berkomentar akan penampilanku.
Kini. Rasanya jikalau aku rela bersibuk-sibuk merapikan diri, memakai dress cantik, mengatur rambutku rapi, menyapukan kosmetik di wajah. Rasanya, kamu tidak akan memandangku.
Apalagi, memberikan komentar tentang itu.

Tuan. Selain dirimu, siapa lagi?

Aku meringis membayangkan hari-hari yang akan kulewati nanti.
Kala kita semakin berjarak.
Aku ngeri membayangkan aku masih seperti ini.
Diam di tempat yang sama. Tidak sadar atau tidak memperdulikan waktu yang terus berjalan melewatiku.

Aku mendongakkan kepalaku. Melepas earphone di telinga.
Dari sini, dari tempat dudukku yang baru.
Aku bisa lebih jelas melihat penampilan Live Music yang tampil di panggung.
Tempat ini semakin ramai oleh pengunjung.

Aku bangkit dari kursiku. Menyeruput sisa kopi yang dingin karena kudiamkan sedari tadi.
Meninggalkan tempat ini.

Semoga kelak, aku juga bisa meninggalkan bayanganmu.

Tuan, semoga bukan lagi dirimu.




Tyas Hanina


(Aku berharap ini kisah fiksi.
Sayangnya, harapan tidak selalu sejalan dengan kenyataan.

Kumohon, jangan tanyakan lagi tentang hal ini.)

Minggu, 31 Agustus 2014

Ke Entah Berantah



Dan kawan
Bawaku tersesat ke entah berantah

Tersaru antara nikmat atau lara
Berpeganglah erat, bersiap terhempas
Ke tanda tanya


(Banda Neira – Ke Entah Berantah)

...

“Mari kita berpetualang. Giliran mendadak gini aja, malah jadi. Setan.”

Saya tertawa membaca sebaris kalimat darinya di Line. Teman saya yang satu ini memang gemar menggunakan kata-kata kasar di kesehariannya. Tapi, saya tau bahwa sebenarnya perasaannya halus.

Malam itu, saya mendaftarkan diri untuk mengikuti sebuah Pameran Pendidikan yang akan diadakan keesokan harinya di salah satu hotel di daerah Ibukota. Saya juga mendaftarkan dirinya, karena diancam. Hahaha, gak deng. Ya karena, memang orang ini yang mengajak saya untuk mengikuti acara ini dan sepertinya dia pun cukup “sibuk” dengan kegiatannya sehingga tidak sempat mendaftar.

...

Pukul 07:42
Sebuah panggilan telepon membangunkan saya dari tidur.
Saya terbangun dengan kepala berat dan hidung tersumbat.
Mendiamkan dering telepon yang rewel untuk beberapa lama, dan akhirnya mengangkatnya.
Seseorang yang terikat janji dengan saya untuk bertualang di Ibukota lah pemilik suara di telepon tersebut. Sebut saja ia, Sarra.

Saya berangkat ketika Sarra hampir sampai di tempat kami sepakat untuk ketemuan.
Sebuah Coffeeshop di Mal dekat rumah saya.

Begitu saya sampai di sana, saya justru menemukan Ia duduk di halte Bus dengan earphone yang seakan terjahit di telinganya. Lucunya, saya mengenalinya dari sepatu biru muda yang ia kenakan, karena tubuhnya tertutupi oleh orang-orang sekitar.
Kami pun memesan tiket untuk 2 orang. Memastikan jadwal keberangkatan.
Dua orang yang buta arah akan pergi menjelajahi Ibukota.

Kami berjalan menuju Coffeeshop terdekat, memesan dua gelas Kopi Dingin.
Duduk di tengah-tengah Kafe, perlahan mulai membuka tas masing-masing. Saya mengeluarkan buku yang ia pesan. Dan buku yang ingin saya baca.
Kami merencanakan dan mempertimbangkan banyak hal untuk perjalanan kami hari ini.
Sesekali ia menyesap Cappuccinonya. Begitu pun saya, menikmati setiap teguk Cafe Latte saya.

Dengan cekatan dia mencatat semua hal yang kami perlukan, memberi advice kepada saya untuk memisahkan uang. Jadi, apabila kemungkinan terburuk kami kecopetan.. kami tidak kehilangan semuanya.
Hope for the best, prepare for the worst.

Saya berjanji dalam hati untuk mendokumentasikan kegiatan kami hari ini, dan memberikan tantangan untuk menulis tentang hari itu di blog masing-masing.
Sarra menyetujuinya.






...

Mendekati jam keberangkatan, kami berjalan ke halte yang mulai dipenuhi oleh orang-orang. Meskipun terlambat dari jadwal, bus yang akan mengantarkan kami pun tiba.

Kami duduk terpisah cukup jauh di dalam bus. Saya di bagian belakang bus, dan Sarra di depan.
Saya memasang earphone di telinga, memainkan playlist lagu kesukaan yang akan menemani saya sepanjang perjalanan. Saya memilih Adhitia Sofyan.
Saya membuka buku yang belum selesai saya baca, membuka lembaran-lembarannya dengan perlahan. Buku ini seakan “membaca” pribadi saya, jadi beberapa kali saya mengambil jeda dalam membaca dan larut dalam pikiran saya sendiri. Buku apa itu? Semoga saya sempat untuk menuliskan reviewnya ketika selesai membacanya.

Petikan gitar dan suara halus Mas Dhit dan buku yang membaca saya. Keheningan orang asing di sebelah saya. Kebisingan isi kepala saya.
Mereka menemani saya di perjalanan kali ini.

Inilah kenapa, saya hampir selalu menikmati perjalanan menuju suatu tempat.



Sepi itu indah, percayalah. Membisu itu anugerah.

(Banda Neira – Hujan di Mimpi)

...

Sampai di Pameran Pendidikan, yang menjadi tujuan utama kami.
Kami mendapat banyak informasi tentang kuliah dan tinggal di luar negeri.
Sarra yang berniat untuk meneruskan pendidikan di bidang desain atau hukum.
Saya dengan passion saya di bidang sastra dan jurnalistik.
Kami mendapat banyak informasi secara gratis di sini. Terima kasih untuk pihak-pihak yang terlibat, yang kartu namanya masih saya selipkan di notes saya.

Kami menghentikan taksi di jalan, menuju Perpustakaan Nasional sebagai titik tujuan berikutnya. Sebenarnya, sudah sejak liburan panjang yang lalu kami merencanakan akan pergi ke Perpustakaan di Ibukota namun baru hari itu kami bisa mewujudkannya.
Pilihan yang nekat dan selamat untuk memilih taksi sebagai kendaraan di Ibukota. Mengingat kita tidak bisa menebak bagaimana kondisi jalanan Ibukota, tapi mengingat bahwa kami berdua buta arah... Ini pilihan yang aman.
Di taksi, kami berdiskusi tentang jurusan yang akan kami pilih. Mengeluh tentang ketidakyakinan kami. Menggerutu tentang pandangan kebanyakkan orang yang berorientasi pada uang.

“Waktu gue diskusi sama dia dan nyadar kalo orientasi dia adalah uang. Gue langsung ngerasa gak cocok.”
“Gue mikirinya gue kuliah ya buat mempelajari sesuatu yang gue suka.”

Begitu sampai di sana, disambut oleh sapaan dua orang Satpam. Kami dikejutkan oleh fakta bahwa perpustakaan sudah tutup beberapa saat yang lalu.
Kebetulan pada saat itu, dua orang yang merupakan petugas perpustakaannya ke luar untuk pulang. Salah satu dari mereka, memberitahu kami tentang jadwal perpustakaan dan memberi saran untuk mendaftarkan diri secara online.

Dengan langkah gontai dan sedikit perasaan kecewa kami melangkah ke luar gerbang, menaiki kendaraan roda tiga berwarna biru. Menuju tujuan akhir kami, mencari makanan.



Kanan kiri, ramai jalanan
Arungi lautan kendaraan

Oh, senja di Jakarta
Nikmati jalan di jakarta

Maafkan jalan Jakarta

(Banda Neira – Senja di Jakarta)


...

“Berarti lu cocok jalan ama gue yas. Gue ngabisin apa aja yang bisa dimakan.”

Kata Sarra, sembari mengambil potongan terakhir sushi di meja.
Saya hanya tersenyum simpul. Tiba-tiba teringat seseorang yang dulu juga sama seperti Sarra, mungkin bedanya orang yang saya ingat ini seringkali mengomeli saya kalau menyisihkan makanan.

Saya menatap bolpoin dan notes di meja, dan teringat bahwa kami belum menulis apa-apa.
Sebelum makan, saya mengusulkan untuk menulis tentang apa yang akan kami lakukan ketika kami menginjak usia 20 tahunan. Apa yang kami lihat di diri kami beberapa tahun mendatang. Apa yang kami ingin lakukan dan butuhkan.

Sarra bertanya tentang hal itu kepada saya sebelum menulis, saya menjawab pertanyaannya setelah terdiam beberapa lama sembari menatap langit-langit restoran.
Satu hal yang otomatis keluar dari bibir saya adalah, “menulis buku.”
Dan impian saya lainnya yang saya utarakan secara panjang..

“gue udah bayangin setelah lulus kuliah nanti, gue bakal ikut Indonesia Mengajar. Baca taglinenya aja udah merinding, setahun mengajar seumur hidup terinspirasi. Dan gue gak bisa bayangin kerja di kantoran...”
“ngerjain data...”
“iya ngerjain data... bayangin ya... pagi-pagi berangkat macet... pulang sore kejebak macet.. di kantor ngapain? Ngerjain data yang udah disuguhkan, yang harus gue kerjakan. Tanpa gue tau pasti ini data dari mana? Sampe tua kaya gitu.. gue gak mau.”

Sarra menyetujuinya, dia pun sepertinya sama.

Kami memasang deadline 30 menit untuk menulis, dan akan membaca tulisan masing-masing di perjalanan pulang di bus.
Gue menghabiskan 3 halaman untuk menulis, sedangkan Sarra hanya 2.
Ini adalah salah satu hal yang membedakan kami berdua, meskipun kepribadian kami hampir sama tapi dalam beberapa aspek kami sangat berbeda.
Sarra lebih straightforward dalam menyampaikan pendapatnya, ucapannya sangat persuasive sehingga membuat orang lain mudah percaya.
Sarra adalah seseorang yang berkepribadian INTP. Sedangkan saya adalah seorang INTJ.

Kami berdua sama-sama terlihat “dingin” di luar. Dan sama-sama tidak menikmati pembicaraan basa-basi tanpa arti. Kami mencintai analisa, juga terbiasa menilai seseorang dari pertemuan pertama.
Sarra memberi tahu saya tentang betapa pentingnya “pandangan mata”. Saya mengaku kalau saya sering menghindari kontak mata secara lama.
Dan lain-lainnya.



...

Di perjalanan pulang, untungnya kami bisa duduk bersebelahan. Sehingga dapat bertukar notes, dan membaca tulisan masing-masing.
Tanpa disengaja, kami menulis satu hal yang sama.

“.... membuat mereka merasakan hal yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya...”

Ketika saya larut dalam pikiran saya sendiri, tiba-tiba Sarra menepuk pundak saya. Membisikkan sesuatu yang langsung saya setujui.
Dengan hati-hati saya memotret seorang Ibu yang duduk di sebelah kami. Sebagai bagian dari dokumentasi.
Ibu itu tampak lelah, dia tertidur dengan mulut terbuka. Ketika terbangun, dia membuka ponselnya- mungkin untuk mengetahui kabar orang rumah.



Silih berganti datang para pengamen dan peminta-minta.
Hingga, tiba seorang Pria tua yang menggendong jualannya. Kumpulan buku dan majalah.
Dia menawarkan buku gambar dan buku mewarnai. Juga majalah anak-anak yang dulu sempat menjadi langganan saya.
Peluh dan lelah terlihat di wajahnya. Harapannya sederhana, semoga buku-buku yang dia bawa saat ini bisa menemukan pembelinya. Sehingga dia dapat menafkahi keluarganya.
Meski bukan lagi buku yang cocok untuk usia kami. Saya dan Sarra sama-sama membelinya.
Semoga beban Bapak itu menjadi lebih ringan, dan punggungnya lebih dikuatkan untuk menampung beban. Aamiin.

Perempuan di paruh waktu,
Hatinya teguh ditempa kalut

Lelaki di ujung tanduk, harapannya sederhana
Sekisah tanpa cerita
Sekisah tanpa cerita


(Banda Neira – Kisah Tanpa Cerita)


...


Begitulah sepintas cerita perjalanan kami berdua.
Mungkin biasa saja untuk sebagian orang yang terbiasa pulang pergi ke Ibukota.
Mungkin terlalu naif bagi kebanyakan orang.
Namun, tidak mengapa.

Saya dan Sarra, sedang melangkah. Menuju ke mana kami belum tau pasti.
Tapi yang kami ketahui, mulai saat ini dan juga nanti.. kami akan berjalan lebih jauh, menyelam lebih dalam. Seperti lirik lagu Banda Neira.
Saat ini, kami berdua masih menjadi dua orang yang buta arah. Tapi tunggulah, beberapa tahun lagi. Ketika kami mampu dan mau untuk menjelajahi bumi.
Mungkin sesekali kami masih akan menuju Entah Berantah, tapi tak mengapa. Karena kami tidak ingin sekedar pergi, tapi juga mempelajari tempat kami berpijak. Perhatian utama kami bukanlah hanya di titik tujuan, tapi juga di perjalanan.
Saat ini kami sedang di perjalanan, menuju masa depan.


Kaki-kaki kecil kami, si Calon orang besar.


Semoga, apapun yang selama ini saya dan Sarra doakan dan perjuangkan bisa sejalan dengan takdir Tuhan.
Semoga kami tidak lupa untuk menguatkan punggung, tidak hanya mengeluh meronta meminta beban untuk berkurang.
Semoga.

“Semesta mengamini apa yang kamu yakini.” (Tyas Hanina, di usia 15 tahun)
Kalimat yang secara spontan keluar dari bibir saya ketika guru BK saya menanyakan apa prinsip hidup saya.
Sebuah kalimat yang akan selalu saya ingat. Sebuah semangat yang saya teriakkan untuk diri sendiri.
Semoga semangat tersebut bisa sedikit menguatkan punggung orang yang membaca ini.

...

Hey, siapapun kamu.
Berhati-hatilah, dan nikmatilah perjalananmu.

Terima kasih sudah membaca.



Tyas Hanina

Minggu, 27 Juli 2014

Are you satisfied? Are you sad inside?

One Chance
POV : Him
Dua hari setelah hari pernikahan Dyo. Gue pulang, ke tempat di mana gue seharusnya berada.
Nyokap protes dengan kepulangan gue yang katanya terlalu mendadak. Dia protes dengan penggunaan kata pulang yang gue pakai, dia bilang :
“Kamu mau pulang ke mana? Di sini rumah kamu. Ibu, rumah kamu.”
Serasa ada tamparan di pipi ketika mendengarnya. Tentu, tentu selamanya akan begitu. Sejauh mana pun gue melangkah, kepada Ibu lah gue pasti kembali.
Tapi, maksud gue mengucapkan kata pulang adalah untuk menghindari kata pergi.
Gue pulang ke sana bukan berarti gue gak bakal kembali ke sini kan?
Gue benci mendengar kata pergi, terlebih lagi menggunakannya. Terlebih lagi melakukannya.

Meski Ibu tidak mengerti sepenuhnya keputusan gue untuk “pulang”, tapi dia tetap bersedia mengantar gue ke bandar udara. Membekali gue dengan makanan, nasihat dan saran-saran.
“Kamu gak bisa terus-terusan melarikan diri. Tempat kamu di sini.”
“Melarikan diri? Aku gak kabur dari apapun Bu.”
“Pulang ke sini lagi. Jangan lupa ama Ibu.”
Katanya, ketika gue mencium telapak tangannya sebagai ucapan perpisahan.
“Pasti aku gak akan lupa sama Ibu.”
“Jangan lupa pulang ke sini.”
Ulangnya.
“Aku pasti pulang ke sini, Ibu.”

...

Gue selalu suka suasana di sini, di bandar udara. Ataupun di tempat-tempat sejenisnya, seperti stasiun kereta api, terminal bus, pelabuhan dan lain sebagainya.
Tempat di mana seseorang berangkat ke suatu tempat, atau pulang kembali.
Tempat di mana seseorang harus melepas akar-akar di kakinya yang melekat di bawah kota kelahirannya, tempat di mana seseorang yang lainnya harus melepas doa dan rasa rela melepas kesayangannya.

Gue suka mengamati orang-orang, dan di tempat seperti ini gue ketemu banyak orang yang menarik untuk gue amati.
Kadang, gue beranikan diri untuk membuka obrolan dengan mereka.
Atau kadang, gue hanya berani untuk membuat cerita tentang mereka di kepala gue.

Hari ini, di ruang tunggu bandar udara.
Gue mengamati sepasang kekasih yang duduk di depan gue. Tangan mereka saling menggandeng. Di tangan kiri sang perempuan tergenggam erat sebuah peta dunia. Di tangan kanan sang laki-laki, ada dua buah paspor negara. Di samping kaki mereka terdapat dua buah ransel besar.
Dugaan gue, pasangan ini sudah bersama dalam jangka waktu yang cukup lama. Sehingga bisa saling percaya untuk pergi berdua bersama ke suatu tempat baru. Dan sepertinya, ini trip berdua mereka yang pertama kali. Terlihat dari antusiasme di wajah mereka, dan genggaman erat tangan mereka pada peta dunia dan paspor mereka berdua.

Pengalaman gue mengajarkan, salah satu cara terbaik untuk mengetahui pribadi seseorang yang sebenarnya adalah dengan berpergian bersama dengannya.
Selama perjalanan, tidak hanya hal menyenangkan yang menunggu. Banyak tanggung jawab dan kejadian mengejutkan yang ikut menanti.
Semoga, pasangan ini sama-sama bisa menikmati perjalanan mereka berdua.

Tapi, di lain sisi. Ada rasa ngeri dengan cerita mereka yang gue buat di kepala gue sendiri.
Tentu akan banyak memori yang tercipta selama perjalanan.
Bagaimana jika suatu hari mereka berpisah?
Tentu tidak mudah melepas satu persatu kenangan yang mengikat mereka.
Di setiap tempat yang pernah mereka datangi berdua, akan ada kenangan yang menunggu di sana. Di setiap lagu yang pernah mereka senandungkan berdua, akan ada luka yang menunggu di dengarkan. Di setiap potret diri berdua, akan ada rindu yang menunggu di lihat.
Bagaimana cara mereka bisa melepas semua itu?

Selama gue sama Dia,
Tidak banyak tempat yang kami kunjungi. Dia kurang suka berpergian, tapi suka berlama-lama di suatu tempat kesukaannya.
Tidak banyak lagu yang kami senandungkan bersama. Dia sangat pemalu, dia seringkali menyembunyikan suaranya. Tapi, ada beberapa mixtape berisi kumpulan lagu yang gue buat untuknya.
Tidak banyak potret diri kami yang tercipta. Meski hubungan kami bisa  terbilang lama. Dia kurang suka difoto, gue suka mengerjai dia dengan cara memfotonya diam-diam.

Tapi, segala kenangan juga luka masih susah gue lepaskan dari diri gue. Bahkan hingga saat ini. Ah, sial gue jadi rindu.

Ketika kali terakhir kami bertemu, gue gak tau apa yang mengontrol diri gue sepenuhnya saat itu. Gue tidak bisa menahan senyuman gue, tapi ada rasa nyeri dan gengsi untuk menyapa terlebih dulu.
Gue membuang pandangan gue ke jendela, diam-diam berharap dia masih memandangi gue.
Meski begitu, gue tetap mencoba bersikap biasa saja. Meminum kopi hitam di meja, untuk menghentikan lidah gue yang ingin menyapa. Mengajak ngobrol Dyo kembali, untuk segera lupa akan segala rentetan pertanyaan yang ingin gue tanyakan ke dia.
Gue ingin biasa aja. Gue gak ingin membenci wanita yang dulu pernah buat gue bangga, gue gak bisa. Gue juga gak pengen terus menerus menyayangi wanita ini kaya dulu, dan gak pernah bisa berbalik membuat dia merasakan hal yang sama.
Selama kami bersama, gue memberi dia banyak kesempatan untuk mencoba jatuh cinta kepada gue. Gue memberi lebih banyak kesempatan lagi kepada diri sendiri, untuk mempertahankan dia- untuk mempertahankan kita.
But,
She only get one chance to break my heart.

Ah, jadi melankolis kan gue.

Suara pengumuman keberangkatan pesawat yang akan gue naiki terdengar. Gue bangkit dari kursi, memakai tas gue. Menggenggam erat paspor gue.
Memberikan senyuman gue kepada dua pasang muda mudi yang sedang saling jatuh hati di depan gue. Rasa terima kasih, karena mereka sudah mengingatkan gue akan dia, terima kasih karena setelah mengingatnya. Gue semakin yakin.

Gue melangkah pasti.
Gue gak sedang melarikan diri.
Gue sedang memulai hidup gue yang baru.
Sehingga, ketika gue pulang kembali ke kota ini. Gak akan lagi ada jejak pahit dan rasa sakit di hati.

...

Dear Him, are you sad inside?

...

Salt Water
POV : Her

They're all these and those, nothing
I don't care
It's okay
I'm used to being alone myself
I was so cold
I was so emotionless
These days I'm a bit strange
I was so greedy
I was so selfish
But I started to let myself go little by little
I get everything I've wanted
 
But I can't have what I need
(Taeyang – Let Go)
...

Gue mengusap keringat yang mengalir di kening gue dengan handuk yang diberikannya.
“Masih kuat?”
Tanya Rama, Bos Gue.
Gue mengangkat bahu, mengambil ancang-ancang untuk berlari lagi.
Tapi, untuk berdiri aja gue gak sanggup. Untungnya, ada Rama. Dia segera menjadi tumpuan buat gue.
“Udah jangan paksain diri sendiri.”
“I’m okay.”
“I know you’re not.”

Gue mengalah kepada diri gue sendiri. Baiklah istirahat untuk beberapa lama, tidak akan berarti apa-apa.
Gue duduk di kursi taman. Tiba-tiba ada sensasi dingin di pipi gue.
Rupanya, Rama menempelkan air mineral dingin.
Gue membisikkan kata terima kasih. Dia duduk di samping gue.

Selama beberapa lama kami hanya duduk diam.
“Kenapa...”
“Hah?”
Rama menarik nafas sebelum melanjutkan pertanyaannya.
“Kenapa pilih lari? Dari sekian banyak olahraga?”
“Gue payah di bidang ini Ram, gue gak suka olahraga beregu. Cuma lari yang gue bisa dari kecil.”
“biasa kabur dari nyokap ya pas kecil?”
“Hahaha kan waktu dulu mah mainnya emang lari-larian.”
Lalu kami larut dengan pembicaraan tentang permainan masa kecil. Seperti galaksin, petak umpet, tapak gunung, batu tujuh, polisi maling, dan lain-lainnya.

“Bagus sih olahraga. Tapi gak bagus jadinya kalo lo maksain diri kaya gini.”
“Gue gak maksa...”
“Kenapa harus lari coba? Mau belajar lari dari masa lalu ya? Hahahaha.”
Rama tertawa begitu puas.
Dan raut muka gue bias.

Karena gue tidak menanggapi omongannya (untuk kesekian kalinya hari itu). Dia sepertinya mulai lelah, dan memutuskan untuk menyerah.
Tiba-tiba, jidat gue basah oleh sesuatu.
Hujan gerimis turun.
Orang-orang yang berolahraga di taman dan melakukan aktivitas lainnya segera berlarian ke sana ke mari mencari tempat berteduh.
Rama menarik tangan gue, mengajak gue pergi untuk menghindari hujan.
Gue menggeleng.
“Kenapa lagi sih yas?”
Ada rasa putus asa yang terdengar dari pertanyaannya.
“Ya gapapa.”
“...”

Dia duduk kembali di samping gue. Gue memandangnya heran.
“Kalo mau sakit jangan sendirian. Gue temenin.”
Gue tertawa mendengar kalimatnya, yang maksa.
“Sana neduh.” Gue mendorong bahunya pelan.
“Sama lu tapi.”
“Dih ogah.”
“...”

“Lo suka hujan ya?”
Pertanyaannya membenturkan gue ke kenangan lama. Seseorang pernah bertanya hal yang serupa pada suatu waktu.
Gue hanya mengangguk, tidak bisa menahan senyuman.
“Kenapa?”
“...”

Hujan semakin deras. Mungkin orang-orang yang berteduh memandang kami sebagai dua orang yang tidak waras.
Gue tidak menjawab pertanyaan Rama. Dan berbalik mengajaknya pergi.
“Ram? Hujannya makin deras.. Ke laut yuk?”
“Lo sakit ya yas? Ujan gini kok ke laut.”
“Gue belom pernah liat ujan di laut.”
“Gue juga. Tapi kan....”
“Kenapa?”
“Kenapa lo mau liat hujan di lautan?”
“I want to wash away all of my pain."

...
"The cure for anything is salt water - sweat, tears, or the sea."
Isak Dinesen
...

Dear Her, Are you satisfied?

...

(Cerita ini adalah lanjutan dari "Is This Love?" dan "Are you happy, My Dear?")


Tyas Hanina