Pages

Kamis, 08 Oktober 2015

satu pagi

Aku terbangun oleh mimpi buruk yang kuninabobokan sendiri.
Tidak ada suara berisik di sekitarku. Justru sunyi begitu bising di sini.
Satu-satunya yang gaduh di sini adalah pikiran di kepalaku sendiri.
Kegaduhan itulah yang membuatku terjaga malam ini.

Aku tidak sedang merindukan siapa pun. Kamu jangan dulu berbesar hati.
Memang rasanya ada yang hilang, entah apa itu. Aku malas untuk mencari.
Kubiarkan saja ada yang kosong di sana, entah di mana. Entah apa yang mampu mengisi.

Ah ya, aku ingin mengabari.
Kemarin hujan turun deras sekali.
Hujan pertama di bulan ini, di bulan kelahiranku ini.
Ada banyak yang terjebak di dalam kampus, aku justru menjebakkan diri.

Hujan itu istimewa bagiku. Mungkin kamu tidak akan mengerti.
Ada kehangatan yang dibagi, ada kenyamanan yang tak perlu lagi dicari.
Aku selalu berpikir daripada mengeluh karena terjebak olehnya, mengapa tidak dinikmati?

"Kamu naif sekali."
Mungkin kamu akan berkata begitu, aku tahu sekali.
Aku memang terlalu naif, sehingga pernah percaya padamu sekali.

Ah sudahlah, aku tidak ingin membahasmu dalam tulisanku kali ini.
Atau pun dalam tulisan-tulisanku nanti.

Kamu, dalam tulisanku hanyalah karakter mati.
Yang sesekali bangkit dari kuburannya sendiri.
Seperti mayat hidup atau zombie.

Yang harus kubasmi tiap-tiap kali muncul, seperti saat ini.
Kalau sudah mati, mati sajalah. Terima saja ajalmu itu, wahai zombie.

...

Aku tidak lagi tertarik untuk membahas masa laluku sendiri.
Hal yang ingin kutulis hanyalah saat ini, atau pun nanti.
Masa lalu sudah lama lewat, dan aku tidak ingin mengejarnya lagi.
Karena kusadari bahwa itu sia-sia sekali.
Bahkan untuk menuliskannya, karena itu terasa bahwa aku menghidupkannya lagi.

Punggungku pegal sekali. Hari ini aku kuliah pagi.
Mungkin lebih baik ku jemput dia, mimpi buruk itu lagi.

(Ah, mimpi buruk sekalipun masih lebih baik daripada harus membangkitkanmu dalam tulisanku kembali.)


Tyas Hanina

Kamis, 01 Oktober 2015

Bagaimana semestamu?


Ah, halo, selamat malam.
Lama tidak bersua, sekedar melempar salam serta sapa.
“Apa kabar?”  mungkin bukan lagi pertanyaan yang pantas ku lemparkan untuk kau tangkap.
Karena aku ingin tahu lebih dari itu. Lebih dari sekedar kabarmu.

Aku ingin tahu bagaimana semestamu berputar selama tidak ada aku di sana.

Apakah tetap sama?

Tiba-tiba aku teringat kutipan seorang filsuf terkenal.
“Yang hadir itu ada. Yang tidak hadir itu tidak ada. Yang ada tetap selamanya ada.”
Apa kau mengerti maksudnya? Ah itu bukanlah perihal yang krusial pada saat ini. Aku tidak akan memintamu untuk menguraikan penjelasannya, aku tidak butuh bantuanmu untuk pekerjaan rumahku.
Yang terpenting, adalah.. bagaimana kehadiranku berpengaruh pada semestamu?
Aku sangat ingin tahu tentang itu. Aku butuh tahu.

Dengan penuh kesadaran, aku tahu bahwa aku pernah hadir di dalam semestamu.
Pernah ada jejakku di sana, pernah ada sentuhku di sana.
Pernah ada gema suaraku di sana, pernah ada percikan air mataku di sana.
Dan apakah itu kekal? Akankah itu kekal?
Meski kini aku sudah tidak hadir di semestamu.
Tapi, aku pernah ada bukan?

Apakah justru sangat berbeda?

Sehingga ketika senja datang di hari itu.
Kau pun menyadari bahwa semua tak lagi sama.

Dan, aku yakin kau merasa lega.
Karena kini semestamu terasa lebih luas tanpa adaku.
Tentu, aku tahu.
Tak apa, jika kau ingin mengisi semestamu dengan yang lainnya.
Dengan selainku.
Aku rela. Sungguh berlapang dada tentang itu.

Aku angkat kaki. Dan aku tahu, kau hanya mampu memandangi punggungku pergi.
Dan aku tahu bahwa kau tahu, tidak ada yang bisa menahan langkahku menjauh dari semestamu kali ini.

...

Bagaimana semestamu?
Bisakah kau beradaptasi mengikuti putarannya?
Apakah kau menikmatinya, tanpa hadirku di sana?


Tyas Hanina


P.S
Kabar baik untukmu, dan untukku. (Aku tidak akan lagi menyebut kita)
Semestaku berputar dengan lancar, tanpa hambatan.
Malah terasa lebih baik putarannya tanpa hadirmu di sini.
Aku merasa lebih leluasa, bukan sekedar lega.

Dan aku bahagia dengan semestaku yang apa adanya.