Pages

Rabu, 21 Februari 2018

Nostalgia: Cita dan Cinta



"Memories Come Tumbling Down"

A twenty-seven-year-old office worker travels to the countryside while reminiscing about her childhood in Tokyo. 


“Pada suatu hari yang biasa-biasa saja, kamu dan teman-teman masa kecilmu bermain untuk terakhir kalinya. Dan tiada seorang pun dari kalian yang menyadarinya.”

Begitulah kira-kira bunyi tweet yang kubaca sore tadi. Perihnya serupa dengan luka goretan cutter yang lahir dari kecerobohanku.

Selasa, 13 Februari 2018

Tinggal Landas

Halo, Tyas.
Jangan lagi buru-buru ingin kembali ke masa lalu. Dilarang juga untuk berlambat-lambat berjalan ke masa depan.
Berdamailah pada dirimu sendiri. Sayapmu tidak akan pernah genap jumlahnya, bulumu tidak akan pernah satu warnanya. Kamu tetap tidak istimewa, tapi itu tidak apa-apa.
Terbanglah.
Ke mana pun yang kamu mau. Setinggi apapun yang kamu mampu.
Terbanglah.
Setiap kali dapet kesempatan buat nulis di blog ini, rasanya kaya ketemu sama temen lama.
Ada rasa canggung yang terselip, kadang-kadang.
Bahasan masa lalu emang selalu kedengaran seksi di telinga, tapi ya hanya sebatas itu, gak pernah semenggairahkan dulu.

Ketemu sama temen lama, selalu terasa mendebarkan. Setiap kali pulang ke rumah masing-masing, rasanya ada sebagian dari diri gue yang tertinggal di pusaran waktu.

-

Udah berapa tahun ya gue nulis di sini? Rasanya udah lama banget.
Dari sekian banyak hal yang gue bayangkan tentang masa depan, rasanya cuma ini yang bener-bener gue betah kerjain. Walau gak seharian juga. Nulis.

Dari dulu gue selalu mencoba cari aman dalam bermimpi. Sampai di tahap gue gak pernah bener-bener ngomongin apa yang mau gue lakukan di masa depan sama orang lain.
Gue punya krisis kepercayaan diri, sebuah pujian bisa jadi malah menjatuhkan prasangka gue kepada diri gue sendiri.
Gue setengah mati benci dibilang penulis waktu SMA, tapi nyatanya gue gak bisa berhenti menulis hingga saat ini.

Dulu gue pengen banget jadi komikus. Pernah marah sama seorang teman karena menganggap remeh komik. Namun, entah pada titik yang mana gue menyerah. Jemari gue rasanya gak diciptakan buat menggambar outline dan mewarnai. Gue gak pernah lagi menyentuh buku gambar kecuali untuk keperluan tugas sekolah ketika SMA.
Penghujung tahun yang lalu, seperti biasa gue melewatkan waktu luang untuk duduk sendirian di kedai kopi langganan Bokap. Gue menggambar pizza karena saking kepinginnya tapi gak punya uang lebih buat makan. Setelah posting di media sosial, tiba-tiba gue kepikiran. Lah, udah lama juga gak gambar, dan rupanya gak seburuk itu? Gambar pizza gue terlihat menggoda, sampai gue bisa membayangkan lelehan keju mozarella di atasnya. Dari titik itu, gue melanjutkan perjalanan untuk kembali menggambar.

Gue inget Kakak sampe mengirim pesan, "gue baru tau lo bisa gambar."
Sebenernya, gue juga baru tau. Dari situ gue hampir setiap hari menggambar, nyontek-nyontek dari Pinterest, atau google, atau apapun yang menarik perhatian gue. Dan, astaga, rasanya menyenangkan.
Gue gak tau kenapa gue bisa melewatkan kesenangan ini selama bertahun-tahun.

 -

Gue udah capek buat nulis tentang Peterpan Syndrome yang gue alami. Gue ngerasa alih-alih jadi seorang realis karena sadar diri sudah menua, gue justru jadi pesimis karena menganggap kesempatan gue mengecil seiring berkurangnya usia gue.
Padahal, nyet, baru 20 tahun hidup, masih banyak pintu yang rasanya belum gue buka. Bahkan belum diketuk. Gue udah keburu menciut, serasa gak sengaja ngikutin kelinci berkacamata dalam Wonderland.

Belakangan ini, lagi rame banget komik lokal di instagram yang ngangkat tema ketemu sama diri sendiri pada 10 tahun yang lalu. Gue udah pernah nulis hal yang serupa, tapi isinya cuma nostalgia. Kalo saat ini gue bisa nulis surat buat diri gue 10 tahun yang lalu, gue malah ngerasa bangga. Dan, yah, diam-diam menyimpan iri dalam dada.
Gue iri sama Tyas yang gak takut ngelakuin apa-apa. Dalam artian, bebas ngelakuin apa aja.

Sulit merasa bangga ketika jadi orang dewasa. Akan selalu ada orang yang terlihat terbang lebih tinggi daripada kita. Setiap kali bercermin, mbok ya, rasanya hidup gini-gini aja? Seringkali lupa, bahwa setiap orang menyimpan ritmenya masing-masing.

Dan, persetan dengan kata motivasi kalo kamu spesial. Siapapun spesial. Dan, tidak ada yang spesial tentang itu.
Gue berhenti menganggap diri gue spesial entah dari berapa waktu yang lalu. Tapi, gue merasa gue baik-baik saja tentang itu.

-

Kalo dikasih kesempatan buat membawa senjata sebelum jadi orang dewasa. Gue pengen bawa rasa percaya diri gue waktu kecil.
Kalo suka gambar, ya gambar aja, gak usah peduli garisnya gak rapi atau arsiran warnanya gak sepadan. Kalo suka nulis, ya nulis aja, gak usah takut tulisan tanganmu acak-acakan atau puisimu gak masuk majalah langganan. Kalo suka baca, ya baca aja, gak usah pusing bacaanmu beda dari orang lain, toh setiap orang punya minatnya masing-masing.

Gue pengen bebasssss ngelakuin apa aja tanpa ada beban harus jadi yang nomor satu, setidaknya buat diri gue sendiri. Kalo suka ya suka aja, emangnya perlu jadian? Lho lho lho gak gitu ya.

-

Tulisan ini berantakan banget. Plotnya kelempar sana sini. Sama seperti cerita-cerita yang biasanya gue bagikan ke temen lama. Tapi, gak masalah, gue gak pernah butuh konklusi dalam cerita gue, dan gue yakin temen lama gue juga begitu.

Sebelum bangkit dari kursi dan kembali berpisah di persimpangan jalan bersama temen lama ini, gue pengen menutup perbincangan kita dengan sebuah harapan.
Bukan lagi sebuah angan untuk memberhentikan waktu atau kembali ke masa lalu. Harapan ini masih mungkin terjadi tanpa perlu mesin waktu.
Semoga. Anak kecil di dalam diri kita tidak pernah menghilang.


Jatinangor,


Tyas Hanina