Pages

Minggu, 16 April 2017


Malam ini aku terbangun dari tidur yang kuninabobokan sendiri.
Dahiku basah oleh keringat.
Entah karena kipas angin tuaku yang sudah payah. Atau karena ingatan di kepalaku yang makin parah.

Aku punya ingatan daratan. (Frasa ini dipinjam dari buku ‘Sastra Pranikah’nya Nyi Vinon)
Aku hanya ingat hal-hal yang ingin aku ingat saja.
Cenderung mudah melupa hal-hal yang tidak ingin kusimpan di kepala.
Tragedi memalukan apa pun yang menimpaku, atau kenyataan bahwa aku (mungkin) pernah menangis hingga dadaku ngilu-ngilu semalaman. (Kenapa ku tulis mungkin? Karena mungkin pernah terjadi, dan mungkin aku pernah melupakannya).

Ah sudahlah. Aku tidak ingin banyak basa basi. Takut tulisan ini keburu basi.
Mumpung masih hangat ruam-ruam kuku di bantalku.
Aku ingin segera menunaikan tulisan tentang mimpiku ini.

-

Jadi, tadi aku bermimpi. Seseorang mengirimkan sebuah pesan singkat untukku di majalah kampus.
Jelas di sana tertulis nama panjangku dan nomor pokok mahasiswaku.
Entah siapa. Entah bagaimana.
Kesimpulan yang dapat kuambil dari pesan itu, aku menyakiti perasaannya.

Aku tidak bisa menceritakan detail kejadiannya.
Tak seperti biasanya, aku lupa kalau aku sedang bermimpi. (Biasanya aku selalu bisa membedakan mana mimpi dan realita).
Aku (di mimpi) merasa gusar dan menebak-nebak apa yang kuperbuat.
Aku (di mimpi) merasa bersalah akan dosa yang tak ku sadari.
Selintas ingatan tayang di kepalaku. Tidak ada satu pun ingatan itu yang pernah kualami secara langsung.
Ini menyakitkan.
Aku tidak mengenali diriku di mimpi.

-

Aku bangun dengan dada yang sesak. Entah oleh apa.
Ruam-ruam di lenganku akibat alergi sudah mengering membentuk konstelasi bintang.
Aku menghapus keringat di dahiku yang basah.

Aku merasa,
bersalah.

Selama ini, barangkali aku hanya fokus terhadap patah hatiku sendiri.
Selalu berteriak-teriak akan lukaku yang basah.
Sibuk menutup diri untuk tidak terluka.

Barangkali, aku lupa. Bahwa mungkin aku juga pernah menciptakan duka di dada seseorang.
Tak sengaja menggores luka dari senyum yang kulempar.
Tak sadar menyakiti dari puisi yang kutulis.

Selama ini, terlalu sibuk menghapal sajak-sajak patah hati.
Seakan-akan yang paling merana.  Yang paling banyak dukanya.
“Selama hidup udah berapa kali matahin hati orang yas?,” pertanyaan temanku di perjalanan waktu itu kembali terngiang.

-

Seringkali, aku merasa bahwa aku adalah peran utama dalam kehidupanku.
Tapi, peran utama tidak selalu dapat dimaknai sebagai tokoh yang baik.
Aku bisa merupa menjadi apa saja. Tergantung orang memaknaiku seperti apa.
Sialnya, aku suka lupa. Kalau aku bisa saja menjadi tokoh yang jahat pula.

-

Maaf untuk kesalahan yang kuperbuat.
Maaf untuk permintaan maafku yang terlambat.

-

(Patah hati tidak selalu berkaitan dengan kisah asmara. Bisa saja hubungan pertemanan dan urusan pekerjaan. Jika aku pernah menyakiti hatimu tanpa sepengetahuanku, tolong beri tahu aku ya! Hubungi aku kapan saja. Ajak aku bicara.

Sebab hidup terlalu singkat untuk memendam luka di dada sendiri, berbagilah.)