Pages

Selasa, 14 Januari 2014

Heyyy


HEEEY. It’ almost 2 week.
Tanpa postingan apapun di blog ini.

...

Setelah hari ketiga #WritingChallenge gue sama Kak Rani. Gue sebenarnya masih menulis, ada dua kata yang kita jadikan tema untuk kita tuliskan lalu (seharusnya) kita publikasikan di blog masing-masing.

Tapi..


Kak Rani kelihatannya lagi sibuk akhir-akhir ini.
Ya, wajar sih semester ini semester terakhir dia di SMA. Dan beberapa bulan menjelang Ujian Nasional.
Tentu banyak persiapan yang harus dia kerjakan, banyak materi pelajaran yang harus dia pelajari.
Jadi, gue memakluminya. Semoga, kalian (siapapun yang pernah baca #WritingChallenge kita) memakluminya juga. (Dan ikut mendoakan persiapannya)

Nah, gue juga gatau nih..
Apakah Writing Challenge ini akan tetap lanjut, seperti kesepakatan awal?
Kapan kami setidaknya mempublikasikan dua tulisan kami di blog masing-masing?
Apakah Tantangan menulis ini bakal berhenti gitu aja?
Apakah lepas dari Tantangan Menulis ini gue bisa lebih konsisten menulis?
Berapakah jumlah mantan kekasih Aurel Hermansyah?

Gue gak tau.

...

Yang gue tau..
Writing is fun.

Terasa menenangkan, lebih dari sekedar menyenangkan.
Meskipun gue gak punya jadwal khusus untuk menulis, tapi setiap kali gue melakukannya- menyusun huruf demi huruf untuk menjadi cerita..
Rasanya seakan terbang bersama paus akrobatis,terjun ke lautan cokelat manis, tenggelam ke dalam bayang-bayang mantan sambil menangis.
INI APA SIH.


Jadiiii, menurut gue sendiri.
Tantangan menulis ini sangat menyenangkan. Bukan hanya karena gue dapat menulis, bukan hanya karena kejutan di balik tema-tema yang diberikan.
Tapi juga karena- dengan tantangan menulis itu.. gue dapat menarik orang-orang untuk membaca.

Membaca itu menyenangkan.
Awal dari kesukaan gue menulis, juga dimulai dari gue tergila dengan membaca.
Meskipun gue sering diomelin nyokap, karena kata beliau belanja buku melulu.
Tapi, seperti kutipan dari @WOWkonyol

“Tidak ada yang lebih baik, dari jajan buku.”

Dan, meskipun belum punya ‘buku’ gue sendiri.
Tapi dengan media Blog ini, alhamdulillah setidaknya ada beberapa teman-teman gue yang meluangkan waktu untuk membacanya.
Dan lebih bersyukur lagi, kalo mereka menikmatinya. Membaca deretan kata demi kata yang gue tuliskan di blog ini. Lebih dari sekedar menyukainya, mereka dapat menikmati proses membacanya.
:3

...

Bulan depan,  bulan Februari.
Bakal ada Tantangan Menulis lagi, dan sepertinya akan menarik hati :D.
Entahlah gue akan mengikutinya atau tidak.

Dan, entahlah apakah hubungan kita #WritingChallenge ini akan berlanjut atau berhenti sampai di sini ? o.O 
Mari kita bersama-sama tanya Kak Rani...

"Mau di bawa kemana #WritingChallenge kitaaaaaaaaaaa... ???"

...


"Orang yg punya hobby baca sejak remaja, bahkan bocah,
tidak pernah menjadi "bukan siapa-siapa" di masa nanti. Its your turn." -@WOWkonyol


...



Tyas Hanina

Jumat, 03 Januari 2014

Panggung Sandiwara


Hari ketiga #WritingChallenge

Tema :  Tirai


Panggung Sandiwara


Dunia ini panggung sandiwara
Cerita yang mudah berubah
Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar ada peran berpura pura

Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara

Peran yang kocak bikin kita terbahak bahak
Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan

Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara

Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan

Mengapa kita bersandiwara


(Achmad Albar - Panggung Sandiwara)


...

“Naskahmu sudah kau hafal, keh?”
“Sudah, pak.”

Pria di depanku ini mengangguk-nganggukkan kepalanya, sambil memilin-milin jenggotnya.

“Fokuslah, keh. Sejak minggu kemarin kamu kaku sekali.”

Aku hanya membalas ucapannya dengan selengkung senyuman. Kugigiti kembali permen karet di gigiku. Waktu tampil semakin dekat.

Pria itu menepuk bahuku pelan. Dia langkahkan kakinya menuju pemain lain.

...

Sejujurnya masalahku bukanlah menghafal naskah. Sungguh, bagiku itu bukanlah hal yang susah. Aku bisa menghafal sesuatu dengan mudah.

Hanya saja,
Semenjak minggu kemarin, lawan mainku diganti. Menjadi perempuan itu.
Aku seperti hilang kendali, atas diriku sendiri.

Sejak pertama kali aku latihan drama dengannya. Aku bagaikan robot di atas panggung.
Melafalkan naskah yang sudah kuafal di luar kepala.. Tanpa ekspresi dan akting yang mendukung.

Perempuan itu,
Sepertinya memakluminya. Dia memang lebih dulu terjun ke bidang teater ini.
Namun, dia anak baru di sini.
Dan semenjak kepindahannya, dia dipasangkan denganku. Dipasangkan menjadi pasanganku, pula!

...

 “ Rama!”

Tanpa sadar Shinta langsung melangkahkan kakinya mendekati Rama dengan tangannya yang merentang ingin memeluk Rama, Namun…

“ Tidak Shinta sebaiknya kau jangan mendekat sebelum memastikan bahwa kau masih suci! “ Rama mengelak dari pelukan Shinta dan mengucapkannya dengan nada Ketus.

Mendengar kata-kata Rama, Shinta pun menangis. Hingga terduduk di tanah, di hadapan kaki Rama yang tegap berdiri.
Namun, Rama tidak memandang ke arahnya. Meskipun matanya pun kini berkaca-kaca oleh bening air mata.

 “ Sungguh tak kusangka kau tega berkata seperti itu kepada ku”

Disela-sela tangisannya, tiba-tiba Shinta berlari menuju Api dan membakar dirinya.
Rama berteriak tak kuasa menyaksikan hal itu terjadi di depannya. Dia berlari mengejar Shinta, sebelum ia sampai ke kobaran api itu..
Dewa Angin meniupkan angin untuk memadamkannya. Atas bantuan Dewa Angin Shinta pun selamat dan tidak mengalami luka sedikit pun.

 “ Api pun tak kan mau menyentuhnya, Rama. Karena Shinta masih dalam keadaan suci.”

Lalu angin pun bergelung pergi meninggalkan mereka berdua.
Rama melangkahkan kakinya dengan cepat. Ia pun akhirnya percaya bahwa Shinta masih dalam keadaan suci. Lalu Rama menghampiri Shinta.

 “ Maafkan aku Shinta karena aku telah berburuk sangka kepada mu “

“ Tidak apa-apa Rama…. Aku senang karena kau telah mempercayai kesucianku.

...

Drama itu selesai dimainkan.
Rama berhasil memerankan perannya dengan baik, jauh lebih baik dari yang dia lakukan saat latihan.

Bunyi musik instumental Jawa dimainkan.
Tirai panggung mulai ditutup perlahan, ketika keduanya tengah merentangkan pelukan.
Dua tetes air mata jatuh di pipi Shinta, Rama membisikkan sesuatu di telinganya perlahan.

Penonton menyeka air mata di wajah, merasa ikut merasakan kesedihan.
Beberapa di antaranya mulai berdiri dari kursinya.
Tepukan tangan pun membahana.
Tirai akhirnya menutup sempurna.

...

“Kau tau. Kalau saja aku mampu, dan kau mau.. Aku tak akan melepaskan pelukan ini.”

“Sehingga kau tidak pergi tanpa penjelasan lagi.”

Shinta, nama perempuan itu yang sebenarnya. Terisak setelah mendengar ucapan Rama.

“Sungguh. Aku tak peduli kegadisanmu. Bukan hal itu yang membuatmu suci, Ta.”

“Tapi, hatimu.”

Tirai panggung semakin erat menutup. Terasa lambat sekali bagi Rama, seperti berjalannya waktu saat ini

“Seandainya, saat itu kau katakan bahwa kau akan pergi ke pelaminan. Bersama seseorang- yang bukan aku.”

“Seandainya, Ta. Kau tidak pergi tanpa penjelasan.”

Panggung tertutup sempurna.
Tepuk tangan terdengar digaungkan di kursi penonton
Mereka tidak mendengar apapun dari mulut mereka berdua semenjak Tirainya menutup perlahan, microphone sudah dimatikan.

“Aku mau Rama. Aku tak kan pergi, aku akan beri kau penjelasan. Tolong jangan lepaskan pelukannya..”

Shinta berkata dengan suara parau, punggung Rama basah oleh air matanya.

“Tapi, kau bukan lagi Shintaku, Ta. Aku bukan lagi Ramamu. Kau sudah diculik oleh Rahwana- untuk selamanya.”

“Maaf Shinta.”

Rama mengeratkan pelukannya untuk beberapa saat.. Dan perlahan-lahan pelukannya mengendur.
Dia memegang bahu Shinta dengan kedua tangannya, tidak peduli banyak sorot mata diemparkan pemain drama lainnya kepada mereka berdua.

“Aku menyayangimu Ta, sangat. Kau tau, itu akan tetap menyakitkan meskipun kau memberi penjelasan sebelum kepergianmu. Aku sudah memikirkannya dari dulu.”

“Hanya saja, sebelum tirai itu tertutup tadi. Denganmu di pelukanku, aku kembali memikirkannya. Bagaimana jika, setidaknya kau memberi tanda sebelum kepergianmu. Sehingga aku bisa menyadari kehilangan- sebelum dia menampakkan wajahnya di depanku.”

“Maaf aku sudah lancang, kepadamu. Kini kau adalah perempuan orang lain.”

“Meskipun pernikahanmu terjadi karena hilangnya kegadisanmu olehnya.” Rama membisikkan kalimat itu dengan sangat pelan, tapi Shinta merasa seperti hal itu diteriakkan di depan telinganya.

Rama memberi tepukan pelan di bahu Shinta, mengangkat dagunya pelan, menghapus air mata yang seakan tak bisa berhenti mengalirkan air mata walaupun dia sudah tidak meneruskan kalimatnya.

Tiba-tiba tepuk tangan terdengar lagi, kini di atas panggung yang tirainya sudah tertutup sempurna.
Lelaki tua berjenggot tebal mendatangi mereka berdua, menepuk pundak mereka bersamaan.

“Luar biasa. Emosi yang kalian sampaikan begitu nyata. Hey Shinta, kau benar-benar menangis karena dialog Kekeh?”

“Kekeh?”

“Ya. Panggilan bujang lapuk ini dariku, habis dia selalu terkekeh ketika selesai mengucapkan dialog percintaan.”

Rama tersenyum mendengarnya, memang benar adanya. Dia melirik ke arah Shinta dari sudut matanya- perempuan itu terpaku.

“Bagus sekali yang barusan kalian mainkan.”

“Itu bukan......”

“Yang barusan itu pasti dialog ciptaan si Rama. Dia memang sering seperti itu, merencanakan lanjutan dramanya diam-diam dengan lawan mainnya.
Yak semuanya, waktunya Istirahat.”

Lelaki itu memotong ucapan klarifikasi Shinta.
Baik Rama maupun lelaki itu sama-sama memilih untuk tidak mendengarkan penjelasannya.

...

Shinta memandangiku, setelah yang lainnya pergi dari situ meninggalkan kami berdua di panggung dengan Tirai yang Tertutup ini.
Lelaki tua itu masih berdiri di ujung panggung, mengawasi kami.

“Rama aku bisa jelasin tentang pernikahan itu.”

“Ya. Kau bisa, jika aku mau dan mampu mendengarkannya. Tapi aku tidak.”

Dengan langkah cepat aku menjauh darinya. Tidak mampu lagi berdekatan dengannya- ia menggoyahkan hatiku setiap kali menyaksikan tangisannya.
Ayahku benar, perempuan memang seperti itu. Senjata tangisannya, begitu hebat- sehingga membuatku merasa takut.
Aku mendekatkan langkahku ke arah Pak Tua, dia tersenyum memandangiku sembari memilin jenggotnya.
Dia, ayahku.

“Jangan bawa-bawa urusan pribadi di panggung, Keh.”

Aku terkekeh keras.
Berusaha sekeras hati, menahan tangis yang sedari tadi kutahan.

...

(sumber gambar : http://sayaeganingrum.wordpress.com/tag/rama-shinta/)

...

(Sumber dialog drama Rama dan Shinta, diambil dari link ini : http://rizal-nurmansyah.blogspot.com/2013/01/naskah-drama-untuk-acara-perpisahan.html). Dengan perubahan yang seperlunya.)

...


Tyas Hanina


Kamis, 02 Januari 2014

Undefined


Hari kedua #WritingChallenge
Tema :  Abu-Abu
(Tema ini direkomendasikan oleh Yuniar Dwi Putri)


Undefined


“Nanti jendelanya nervous lho kamu liatin mulu.”

Hmm..”

Aku hanya tertawa mendengar gurauannya.

“Ada apa sih di luar?”

Dia berdiri dari kursinya, dengan telapak tangan bertumpu pada meja. Dia ikut melihat-lihat ke luar jendela. Tidak ada siapapun atau apapun yang istimewa di luar sana, setidaknya untuknya.

“Ah. Aku tau kamu mandangin apa dari tadi.”

Aku mengangkat alisku satu, bertanya-tanya apakah dia benar-benar mengetahuinya dalam hati.

“Langit.”

...

Pria yang kini duduk di depanku ini.
Memang selalu seperti ini, sejak pertama kali kami saling memperkenalkan diri.
Mulutnya seperti tidak pernah kehabisan kata untuk mengajakku ngobrol, dan tertawa.
Dan dia senang menggulirkan pertanyaan, karena dia hampir selalu penasaran.
Meskipun kadang aku hanya meresponnya dengan diamku. Walau diam-diam aku menyukai usahanya itu.
Pria yang saat ini memakai Sweater abu-abu polos ini- memiliki keistimewaan.
Salah satunya adalah,
Dia mengingat detail-detail hal yang pernah kuucapkan- dan kulakukan.
Tanpa pernah kusadari bahwa dia memberikan perhatian pada hal-hal itu.

Aku menjawab pernyataannya dengan anggukan.

“Langitnya kelabu.”

Selepas aku mengucapkan dua kata itu, pintu masuk Kafe berdecit. Pertanda datangnya pelanggan baru.
Aku melirik pelanggan baru itu dari ujung mataku, seorang pasangan muda.

“Seperti hatimu?”

Dia menyeruput Kopinya cepat setelah bertanya padaku- tanpa pernah memperdulikan panasnya. Uap panas dari kopi itu, membentuk embun di kacamatanya.

Aku mengangkat bahu.

I'm in love-hate relationship with grey colours.”

“Oh . Aku fikir kamu sedang tidak berikatan hubungan dengan apapun saat ini.”

Kami sama-sama tersenyum, karena hal itu hampir benar adanya.
Hampir tidak ada hal apapun yang mengikatku saat ini.
Kecuali, dia- pria ini mengikatku.
Tanpa pernah dia sadari- bahwa dia sudah menyentuh tali itu. Dan memperumit ikatan itu setiap pertemuan demi pertemuan kami.
Namun, dia tidak pernah tau.

Kini, dia duduk diam di kursinya. Dengan kilatan mata yang tidak pernah diam memandangiku.
Ikatan itu semakin rumit dibuatnya.
Aku bisa membaca dari pandangannya, bahwa dia memintaku bercerita.

Kulemparkan pandanganku ke arah jendela, ke arah langit kelabu.

“Aku menyukai warna abu-abu...” Kataku sambil melirik sweaternya.

Abu-abu itu melambangkan sesuatu yang tidak terdefinisi.”

“Warnanya netral, dan cenderung permanen.”

“Begitulah keindahan yang terkandung di dalamnya.”

Belum selesai aku menceritakannya. Dia memotong ucapanku.

“Sepertimu.”

Ucapnya sangat pelan, tapi aku mendengarnya dengan jelas seakan hal itu diteriakkan di depan telingaku.
Aku tidak tau apakah dia sedang bergumam untuk dirinya sendiri, atau berniat memujiku.
Aku tidak tertawa. Tapi, aku pun tidak kuasa mengontrol bibirku untuk tidak tersenyum.
Aku menekan perutku, kupu-kupu di dalamnya bertambah liar menari.
Semakin rumit.

“Lanjutkanlah.” Katanya, seperti tidak sadar bahwa dia yang sudah memotongnya tadi.

“Tapi, ketika abu-abu melukiskan warnanya di langit. Seperti sore ini.”

“Aku tidak menyukai kehadirannya.”

Lalu aku kembali dalam diamku, untuk sementara.
Menciumi harum kopiku, dan meninumnya secara perlahan.

“Masih panas kopinya? Sejak lama kamu diamkan tadi.”

Aku memang tidak terlalu suka minuman panas. Tapi aku tergila pada kopi, terlebih kopi buatan kafe ini.

“Ya.”

Dia selalu ingat.

...

“Jadi.. Kenapa? Bukankah langit dan warna kelabu itu sendiri adalah kesukaanmu, mengapa justru ketika mereka digabungkan kau tidak menyukainya?”

Dia menanyakan pertanyaan panjangnya dengan lancar. Tidak sepertiku yang sepotong-potong ketika menceritakan sesuatu.

“Karena.. ketika langit kelabu. Kita tidak mendapat kepastian. Kapan hujan akan turun. Apakah hanya gerimis yang dibawanya atau badai besar? Apakah justru kelabu itu hanya sementara, sedangkan matahari tengah bersembunyi di baliknya?”

“Lalu apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus berhenti lalu meneduh walau hujan belum turun, atau kita harus melanjutkan perjalanan dengan ada resiko kehujanan?”

“Dia menimbulkan terlalu banyak pertanyaan. Aku suka pertanyaan. Tapi aku benci tiadanya kepastian.”

...

“Bukankah, seperti itu kita sekarang?”

Aku tidak tau apakah itu sebuah pertanyaan atau justru pernyataan.
Aku kembali dalam diamku. Begitupun juga dengan dia.
Apa yang kami pikirkan mungkin tidaklah sama, tapi aku sadar.. sebaris kalimat yang aku ucap barusan menimbulkan pertanyaan yang hampir sama di benak kami.

“Bukankah saat ini hubungan kita terjebak dalam zona abu-abu?”

Salah satu dari kami akhirnya mengeluarkan pertanyaan itu. Aku tidak tau siapa yang bertanya, apakah aku ataukah dia? Karena kalimat pertanyaan itu persis dengan apa yang tengah kupikirkan.
Apakah aku lepas kendali... atau...

“Maaf.”

Tiba-tiba bibirnya mengeluarkan kata itu. Entah untuk alasan apa.
Dan entah kenapa, kata maaf itu justru terdengar menyakitkan.

...

Hujan pun tumpah ke jalanan.
Jendela berembun dibuatnya.
Saat ini begitu banyak pertanyaan.
Namun, dia hanya menjawab dalam diamnya.
Maaf yang baru saja dia ucapakan.
Terasa seakan pukulan telak di kepala.
Menyakitkan.



Tyas Hanina

Rabu, 01 Januari 2014

Ledakan


Hari pertama #WritingChallenge

Tema : Diam


Ledakan

Diamnya seorang perempuan bisa berarti banyak hal.
Bisa karena emosi yang menumpuk di dalamnya, dan bersiap untuk meledak kapan saja.

Namun,
Ledakan itu belum pernah terjadi. Sejak kali pertama kami saling memperkenalkan diri.
Sejak awal, dia memang pendiam sekali. Dia hanya sesekali menjawab ucapanku.
Dan aku berkali-kali mencoba untuk membuatnya tertawa, karena aku ingin membuatnya suka (setidaknya tertarik) padaku seperti saran orang-orang di luar sana.

Dia tertawa, dan setelahnya dia kembali dalam diamnya.
Dia tidak tertawa dengan terbahak-bahak sehingga semua orang menoleh ke arahnya. Tawanya tidak memekik seperti suara tercekik. Tapi, tawanya juga bukan jenis tawa malu-malu.

Dia hanya tersenyum- lebih lebar dari sebelumnya. Hingga lesung di pipi kanannya terlihat lebih dalam.
Dan pelan sekali aku mendengar dia mengatakan “hmm”.
Aku tau dia tertawa saat itu. Karena matanya mengatakan begitu, pandangannya dalam dan ada kilatan di sana ketika dia ‘tertawa’.

Dan itu sempat membuatku diam. Menghentikan segala kata yang mengantri di ujung lidahku.

...

Aku pernah mendengar, seseorang meledeknya. Mengatakan bahwa seorang Tuna Wicara dapat lebih banyak berbicara dibanding dirinya.
Dan aku tau orang itu menyesali perkataannya.
Karena ketika ia mengenal perempuan itu, dia tau bahwa diamnya adalah keistimewaannya.
Dan menyadari bahwa ada 2 tipe orang istimewa di dunia ini.
Orang yang pintar dalam berbicara, dan orang yang hebat dalam mendengarkan.

Dia-perempuan itu adalah tipe yang kedua.
Ketika dia benar-benar ‘payah’ dalam yang pertama, Penciptanya memberikan keistimewaan yang kedua.

Aku mencintai sang Pencipta. Aku mencintai idenya untuk menciptakan perempuan sepertinya- dengan keistimewaan dalam diamnya.

Dan kau tau, aku sangat menyesali ucapanku itu.

...

“Jika, diamnya seorang perempuan bisa berarti banyak hal. Aku tidak kuasa menerka, seberapa banyak hal yang kau simpan di dalam dirimu...”

Petang menuju malam di Rooftop itu, Kalimat itu keluar begitu saja dari bibirku- ah lagi-lagi aku sulit mengontrol ucapanku. Belum sempat aku mencecap kalimat itu di lidahku, untuk menerka apakah itu akan menyakiti hatinya jika ia mendengarnya..
Namun, dia tertawa. Dengan suara “hmm” di bibirnya.

“Katakanlah, 1 atau beberapa hal di antaranya. Mengapa lebih sering ku temukan atau kau tunjukkan diammu daripada perkataanmu kepadaku?”

Aku melihat ia mengubah posisi duduknya menjadi berbaring di kursi malas itu. Dan aku memandanginya terus memandangi langit, hingga akhirnya dia menjawab pertanyaanku.

“Sebab, aku ingin- aku butuh lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.”
Setelah kalimat itu keluar dari bibir mungilnya. Kami bertukar “posisi”.

“Sebab mendengarkanmu berbicara- terasa sangat menenangkan lebih dari sekedar menyenangkan. Sebab dengan begitu- rasanya aku tak perlu lagi mencari-cara bahan obrolan karena kamu selalu menemukannya dan kamu tidak pernah keberatan meski hanya diamku yang membalas segala perkataanmu.”

“Sebab, aku lebih memilih untuk mendengarkan pikiranku berteriak dengan lantang daripada membiarkan orang-orang harus menyiapkan telinganya dan menjaga diri mereka agar tidak bosan mendengarkan ceritaku.”

“Sebab seorang Pria yang pernah mengatakan bahwa seorang Tuna Wicara bisa lebih banyak berbicara dibandingku, kini ada di sebelahku memberikanku kesempatan untuk mendengarkan ceritanya dan memberiku kesempatan untuk diam. Dia memang sering tidak menjaga omongannya, tapi dia bukan seorang pemaksa.”

“Dan ada sebab-sebab yang lainnya. Aku khawatir kini kau sudah bosan mendengarkannya.”

Aku hanya menjawab kekhawatirannya itu dengan menggelengkan kepalaku, lidahku seakan terkunci  ketika dia membuka dirinya.
Dia memilih untuk tidak meneruskan menceritakan sebab-sebab yang lainnya, dan kembali menyimpan untuk dirinya sendiri.
Dia kembali tertawa menyaksikan aku diam- setelah menyaksikan “ledakannya”.

“Sungguh itu “ledakan” yang indah.” Pujiku tulus untuknya.

“Hmm.” Dia hanya tertawa.

...

Gelap pun jatuh di atas atap gedung-gedung tinggi itu.
Aku memandanginya yang sedang memandangi langit-
yang selalu memandangi kami berdua.
Aku memeluknya erat dalam tatapanku.
Menjaganya bersama keistimewaannya,
mengagumi kekurangannya.
Diamnya.



Tyas Hanina

#WritingChallenge


Dini hari tadi, selepas mempublikasikan tulisan pertama gue di tahun ini.
Gue ngeline Kak Rani, ingin mengetahui bagaimana komentarnya.

“kak bersediakah kau.. bersediakah kau..”
“apakah itu.. apakah itu..”
“menjadi pembaca blogku pertama di tahun ini? Heheu.”

Dan dia menyanggupi tawaran gue tersebut. Sesudah ia selesai membacanya, ia mengirimkan komentarnya di Twitter- dan secara lebih pribadi membahasnya di Line.

Responnya terasa begitu istimewa. Dia tidak hanya menikmati proses membaca itu.. dia mengatakan ketika ia selesai membacanya rasanya keinginannya untuk melanjutkan passionnya di bidang ini menjadi membara.
Lalu dia sempat meminta untuk memberitahunya setiap kali ada tantangan menulis, seperti #CeritaDariKamar atau #PeopleAroundUs.

Namun, seperti pembicaraan-pembicaraan kami sebelumnya. Yang tidak terduga ujungnya.
Dia tiba-tiba mengusulkan untuk...

Menciptakan sebuah Tantangan Menulis untuk kita berdua.
Dengan tema yang kita berdua tentukan sendiri.

Tantangan ini berlaku selama 1-2 minggu.
Salah satu dari kita akan memberikan satu tema untuk yang lainnya.
Dengan cara menyebutkan 1 kata.

Misal :
Gue memberikan 1 kata padanya.
“Cantengan.”
Dan dia harus menulis sesuatu tentang itu, lalu mempublikasikannya di Blognya.
Linknya akan kita bagikan secara bersamaan di Twitter masing-masing, setiap pukul 10 Malam.

...

Jadi, begitulah..

Semoga kalian menikmati proses membacanya.
Dan semoga Tantangan ini berjalan sebagaimana mestinya dan kami dapat mengalahkan musuh pribadi kami (Rasa malas).

...

Selamat menikmati barisan huruf yang kami ketikkan. \m/





Salam Awkimbo