1 Juni 2011
POV : Her
“Apa
pendapat lo tentang hujan?”
“Hah?”
Gue
melepas kedua pasang earphone di
telinga gue. Pria yang duduk di depan gue ini, emang punya kebiasaan menanyakan
atau menyatakan sesuatu secara tiba-tiba. Gue gak selalu menanggapi omongannya.
Ya mungkin karena gue emang orang yang menyebalkan. Tapi pria ini seakan selalu
menyimpan kejutan di setiap ucapan dan perilakunya. Kejutannya memang tidak
selalu menyebalkan sehingga gue malas menanggapi..
Hanya
saja, seringkali kejutan-kejutannya membuat gue tidak tau harus menanggapi
seperti apa.
Tapi,
kali ini gue tertarik dengan apapun hal yang barusan dia utarakan. Karena ada
satu kata di akhir kalimatnya, Hujan.
“Kita
sampe telat pulang karena hujan.” Katanya sambil menunjuk hujan di luar jendela.
Gue
melirik jam tangan. Betul juga, sudah cukup lama.
“Ya..
terus kenapa?”
“Ini
maksudnya lo nanya kenapa gue nanya apa pendapat lo tentang hujan atau lo nanya
kenapa gue ngomong kita telat gara-gara hujan?”
“Hah?
Lo nanya pendapat gue tentang hujan?”
“Jahit
aja udah itu earphone di kuping lo..”
Katanya
dengan nada jutek, sok jutek lebih tepatnya. Karena selengkung senyum tetap
saja tampak di wajahnya, meski gue yakin dia berusaha buat menyembunyikannya.
“Ya...
buat permintaan maaf gue. Gue jawab deh pertanyaan lo. Lo mau dengerin gak
nih?”
“Kuping
gue selalu siap buat dengerin omongan lo kok.”
“Eek
kuda.”
“Lembek
dong.”
...
“I
find peace in the rain.”
Ada
hening selama beberapa saat. Gue fikir dia akan memberikan suatu respon karena
pria ini sangat responsif terhadap segala sesuatu, kebalikannya dari gue.
Gue
meminum sisa kopi yang sudah dingin di atas meja, karena gue diamkan sejak
tadi.
“..... udah?”
Satu
kata itu keluar dari mulutnya. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah gue, alisnya tertaut,
seakan tidak yakin atau heran.
Gue
jadi ikutan heran kenapa dia bereaksi seperti itu.
“Hah? Ya..”
Dia
menjentikkan jarinya ke jidat gue secara tiba-tiba.
“Apaan
sih?!”
“Sakit
emang?” Dia mengulurkan tangannya lagi. Gue mencoba menahan tangannya.
Dia
meremas tangan gue pelan. Gue fikir dia akan tiba-tiba mengajak gue adu panco
seperti sebelumnya. Atau akan keluar pertanyaan menyebalkan seperti “kok tangan lo kecil banget sih?”
Namun
justru yang ia lakukan adalah membalikkan telapak tangan gue dengan mudahnya,
sehingga berada di atas telapak tangannya. Lalu mengecupnya.
Sudah
gue bilang kan sebelumnya kalau dia penuh kejutan?
...
5 juni 2011
POV : Him
Have
you ever seen something so beautiful?
Pernah kan pasti.
Dan apakah lo tetap ngeliat hal yang lo sebut
indah itu sebagai sesuatu yang indah, kalau dia jauh? Kalau dia tertutup oleh
sesuatu? Kalau lo hanya melihat sebagian kecil darinya? Kalau wujudnya bahkan
hanya ada di dalam pikiran lo?
Perempuan
di depan gue ini sangat cantik.
Dia cantik. Gue gak bosen buat bilang hal itu
ke dia setiap hari, meski mungkin dia sudah bosan mendengarnya.
Dia punya kecantikan yang tidak akan berubah
meskipun ukuran kecantikan zaman berubah di setiap masa.
Dan, ya. Dia tetap cantik meski ia jauh sehingga
tubuhnya yang kecil tampak lebih kecil lagi.
Meski wajah dan tubuhnya tertutup oleh
sesuatu, seperti sekarang ini ketika buku di tangannya menutupi wajahnya.
Meski hanya jemarinya yang dapat gue lihat
ketika ia menutup mata gue ketika kami menonton film dan ada kissing scene di sana.
Dan ya, tanpa harus gue pikirkan jawabannya.
Dia tetap cantik di dalam pikiran gue.
Dan akan selalu begitu.
Hahaha, gue nulis apaan barusan. Itu termasuk
surat cinta bukan?
Btw,
Aduh si neng, daritadi abang dicuekin. Untung
abang bawa notes neng.
Gue berhenti menorehkan tinta di notes, ketika gue menyadari bahwa
perempuan di depan gue ini bergerak.
Dia menaruh buku yang sedari tadi menutupi
wajahnya ke meja. Dia menutup matanya, dan menaruh telapak tangannya di depan
mulutnya.
Yak dia bersin.
“ALHAMDU?”
“Alhamdulillah.”
Katanya lirih. Lalu mengambil tisu di meja.
...
5 Juni 2011
POV : Her
“I wanna see myself from your point of view.”
Begitulah sebaris kalimat yang tertulis di
secarik kertas yang gue temukan di lembaran majalah yang belum selesai gue
baca.
Pelakunya?
Siapa lagi kalau bukan dia.
Entah kapan dia menaruh kertas tersebut, dan
entah kenapa gue bisa tidak menyadarinya tadi.
Tadi, dia sibuk menulis di notesnya. Entah menulis apa, mungkin
lirik lagu baru?
Entahlah, gue gak bener-bener tau karena gak
bertanya padanya. Biasanya dia bercerita tentang apa yang selalu ia tulis, latar
belakang lagu-lagu barunya. Tapi tadi gak, mungkin bukan lirik lagu yang ia
tulis atau mungkin dia hanya ingin menyimpannya sendiri?
Tadi, gue juga sibuk membaca majalah. Dan
sibuk bersin-bersin. Entah kenapa, mungkin karena sinar matahari pagi yang
menyengat.
Dan dia terus menerus bertanya, memberikan
perhatiannya.
“lagi
baca artikel apa?” “selain majalah itu kamu suka majalah apa?” “kamu
bersin-bersin mulu, ada alergi?” “biasain ya bawa sapu tangan, biar gak
buang-buang tisu.”
Dan lain-lainnya.
Dan gue hanya menjawab sembari lalu, tidak
menatap wajahnya. Meski gue menyadari sorot matanya yang seakan terus merekam
segala aktivitas gue.
Gue...
Gimana ya gue harus menjelaskannya.
Gue ngerasa, gak tahan.
Dengan segala perhatiannya yang berlimpah.
Dengan sorot matanya yang teduh.
Dan gue gak bisa membalasnya.
Seringnya, gue cuma bisa ngeluh di depan dia.
Itupun selalu tanpa alasan yang jelas, dan dia lagi-lagi buat gue gak tahan.
Dengan kesabarannya menghadapi gue.
Seringnya, gue bingung harus merespon omongan
atau perlakuan dia ke gue.
Dan, kini gue lagi-lagi bingung harus
bagaimana menjawab pertanyaannya...
Are you
really wanna see yourself from my point of view?
Are you
sure?
Gue mengambil jurnal pribadi gue dari laci
meja. Merobek selembar kertas dari sana.
Ingin menjawab pertanyaannya, ingin membalas
rasa penasarannya.
Seperti apa dia di mata gue.
Seperti apa kita yang gue rasa.
Kali ini gue gak akan menutupi apapun. Gue
sudah gak tahan dengan diri gue sendiri.
Semoga gue tidak merobek hatinya.
Atau mungkin sudah?
...
6 July 2011
POV : Him
Tadi pagi, gue menumpahkan kopi di meja kerja
gue.
Membuat notes
berisi lirik lagu dan surat cinta yang kemaren gue tulis buat dia basah.
Tinta birunya membaur di kertas membuat
kalimat yang gue tulis menjadi tidak terlalu jelas terbaca.
Ah, ya setidaknya aroma kopi tertinggal di
sana. Haha.
Tapi, gak biasanya gue kaya gini.
Gue mungkin emang orang yang clumsy, dalam menjaga omongan gue.
Gue kadang gak tau kapan harus berhenti
ngomong, juga kapan harus “berbohong”.
Tapi, dalam hal-hal seperti ini biasanya gue
lebih berhati-hati.
Ah, apa mungkin pertanda?
Gue juga gak biasa-biasanya kepikiran ada
pertanda di setiap kejadian kecil di hidup gue.
Dan, hal-hal gak biasa itu terus terjadi
berturut-turut dalam satu hari.
Gue lupa ambil kembalian laundry. Gue jatohin sikat gigi ke kloset. Gue gak sengaja nginjek
buntut kucing kosan.
Dan orang ini juga gak biasanya kaya gini.
Tiba-tiba mengirim pesan ke ponsel gue,
mengajak untuk bertemu.
Ya tentu dengan senang hati gue mengiyakan
ajakannya. Tapi dari kejadian beruntun tadi, gue jadi berhati-hati.
Apa mungkin gue melakukan suatu kesalahan
padanya?
Entahlah, gue bertanya padanya di pesan tapi
dia tidak menjawabnya.
Ya, dia sering gak menjawab pertanyaan gue.
Itu merupakan hal yang biasa.
Ah, gue pikir juga gue bakal menemukan
jawabannya di pertemuan kami nanti.
...
“Heiiii. Maaf udah
bikin kamu nunggu.”
Sapa gue, menepuk pundaknya pelan. Ingin
mengecup pipinya, namun gue tertegun melihat matanya.
Sembab. Ada jejak air mata di sana.
Dia gak perlu bilang, gue udah tau. Meski gue
gak tau kenapa.
“Heeey. Gapapa
biasanya aku yang bikin kamu nunggu. Duduk deh, aku mau ngomong sesuatu..”
Aku-mau-ngomong-sesuatu.
Shit. Lo tau gak sih, kalimat
itu bisa menimbulkan banyak pertanyaan di kepala dan banyak juga perasaan
bersalah yang lo gatau sebabnya apa?
Gue menarik kursi di sebelahnya. Masih tidak
bisa melepaskan pandangan gue darinya. Dia meraih teh hangat dari meja, gak
biasanya dia memilih teh dibanding kopi. Lalu setelah seteguk air masuk ke
kerongkongannya, dia membalas tatapan gue. Dan lagi-lagi itu gak biasanya
terjadi, dia biasa menghindarinya.
“Kemarin kamu nulis
apa di notes?”
“Ah, aku nulis lirik
lagu baru.”
“Oh tentang apa?”
Gak biasanya dia nanya duluan kaya gini.
“Rahasia? Hahaha. Aku
juga nulis hal lain sih.”
“Oh rahasia.”
Udah. Terus dia diem lagi.
“Aku kemarin nulis
surat cinta buat kamu.”
Dia membuka mulutnya, seperti mau mengatakan
sesuatu. Lalu dia telan kembali perkataannya.
“Mau baca? Tapi baru
aja ketumpahan kopi tadi pagi.”
Dia hanya tersenyum. Seperti biasa, tidak
menjawab.
“Aku juga nulis surat
buat kamu.”
What
the hell did i just hear?
“Kamu mau baca?”
Gue mengangguk dengan antusias. Dia tertawa
melihat respon gue, tapi tawanya getir.
Dia membuka tasnya. Mengeluarkan sepucuk
amplop dari sana.
Tangannya bergetar menyerahkan surat tersebut
ke gue.
Hati gue ikut bergetar.
Gak biasanya kaya gini.
“Suratnya tentang
apa?”
“Jawaban dari
pertanyaan kamu kemarin.”
“Pertanyaan aku yang
mana?”
“Yang gak bisa aku
jawab secara langsung. Cuma bisa aku tulis di surat.”
“Terlalu banyak
pertanyaan aku yang gak kamu jawab...”
“...... Maaf.”
Kini, gue kembali ngerasa bersalah.
“Aku bisa baca
sekarang?”
Dia melemparkan pandangannya ke sembarang arah.
Kembali, tidak menjawab.
“Aku anggep itu iya
ya.”
Gue membuka amplop tersebut.
Membaca kata perkata.
Luka di hati gue menganga.
...
Kamu di mataku?
Hanya laki-laki
biasa. Yang jatuh cinta pada wanita biasa sepertiku.
Kamu
memperlakukanku secara tidak biasa. Seakan aku istimewa, padahal kenyataannya
aku hanya manusia biasa.
Kata orang, jatuh
cinta itu biasa aja. Tapi kurasakan perlakuanmu terlalu istimewa.
Aku seringkali
menghindari tatapan matamu. Aku seringkali tidak menjawab pertanyaanmu.
Maafkan aku.
Bahkan mungkin di
surat ini, lagi-lagi aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu.
Hari di mana kamu
menyatakan perasaanmu, hari yang biasa saja. Namun begitu istimewa untukku.
Hari itu, sekali
itu, aku merasa bahwa aku istimewa.
Dan aku merasa, aku
jatuh cinta.
Aku benci harus
menulis ini. Aku benci harus berbalik bertanya kepadamu. Ah, mungkin ini bukan
pertanyaan.
But, what if...?
What if
someday reality hits you really hard that you never love the one you’re with,
you just think you did?
What if you think
you’re in love but the truth is you just don’t wanna be alone?
What if the
love you think you deserve is merely a companionship?
What if you
keep the relationship just because people around you think you two are meant to
be while you feel you don’t belong?
What if when
you tried to walk away from the one you think you love but you couldn’t because
he genuinely loves you?
What if?
Sayangnya, untukku.
Itu bukan bayangan semata, bukan pertanyaan angan-angan biasa. Aku
mengalaminya..
Aku kira aku jatuh
cinta, namun kenyataannya tidak.
Aku kira dengan aku
merasa aku istimewa di matamu, maka kamu pun akan begitu di mataku. Namun
kenyataannya tidak.
Aku kira aku
mempertahankan hubungan kita semata karena perasaanku. Ya, aku kesepian. Aku
tidak ingin sendirian.
Aku kira kamu
benar-benar mencintaiku, dan sepertinya itu benar.
Kamu mencintaiku,
aku tau.
Aku benci diriku
sendiri tidak bisa berbalik mencintaimu.
Maafkan aku.
Kamu di mataku
tetap laki-laki biasa. Aku tidak memandangmu sebagai seorang teman, atau sahabat,
atau kakak laki-laki.
Kamu kekasihku,
selama ini. Tapi aku tidak mencintaimu.
Lalu apa arti
kekasih? Aku tidak benar-benar tau.
Aku brengsek. Dan,
kamu terlalu baik.
Mungkin setelah
membaca ini semua. Kamu akan membenciku, atau tetap mencintaiku.
Keduanya, sama-sama
bukan keinginanku.
Setelah surat ini
selesai kamu baca, mungkin aku akan menyakitimu.
Dan akan selalu
menyakitimu.
Atau mungkin sudah?
Maafkan aku.
Aku tidak bisa
bertahan dengan diriku sendiri, bahkan aku bertanya-tanya apa yang aku
pertahankan selama ini. Brengsek, aku tau.
Dan. Ya. Dari
pandanganku, atau pandangan siapapun.
Orang sebaik kamu
tidak boleh bertahan pada orang sepertiku.
...
What IF Love?
you think you’re in love but the truth is, you’re not.
Tyas Hanina
0 komentar:
Posting Komentar