Pages

Sabtu, 26 Juli 2014

Is This Love?

1 Juni 2011
POV : Her

“Apa pendapat lo tentang hujan?”
“Hah?”

Gue melepas kedua pasang earphone di telinga gue. Pria yang duduk di depan gue ini, emang punya kebiasaan menanyakan atau menyatakan sesuatu secara tiba-tiba. Gue gak selalu menanggapi omongannya. Ya mungkin karena gue emang orang yang menyebalkan. Tapi pria ini seakan selalu menyimpan kejutan di setiap ucapan dan perilakunya. Kejutannya memang tidak selalu menyebalkan sehingga gue malas menanggapi..
Hanya saja, seringkali kejutan-kejutannya membuat gue tidak tau harus menanggapi seperti apa.

Tapi, kali ini gue tertarik dengan apapun hal yang barusan dia utarakan. Karena ada satu kata di akhir kalimatnya, Hujan.

“Kita sampe telat pulang karena hujan.” Katanya sambil menunjuk hujan di luar jendela.
Gue melirik jam tangan. Betul juga, sudah cukup lama.
“Ya.. terus kenapa?”
“Ini maksudnya lo nanya kenapa gue nanya apa pendapat lo tentang hujan atau lo nanya kenapa gue ngomong kita telat gara-gara hujan?”
“Hah? Lo nanya pendapat gue tentang hujan?”
“Jahit aja udah itu earphone di kuping lo..”
Katanya dengan nada jutek, sok jutek lebih tepatnya. Karena selengkung senyum tetap saja tampak di wajahnya, meski gue yakin dia berusaha buat menyembunyikannya.
“Ya... buat permintaan maaf gue. Gue jawab deh pertanyaan lo. Lo mau dengerin gak nih?”
“Kuping gue selalu siap buat dengerin omongan lo kok.”
“Eek kuda.”
“Lembek dong.”

...

I find peace in the rain.”

Ada hening selama beberapa saat. Gue fikir dia akan memberikan suatu respon karena pria ini sangat responsif terhadap segala sesuatu, kebalikannya dari gue.
Gue meminum sisa kopi yang sudah dingin di atas meja, karena gue diamkan sejak tadi.

“..... udah?”
Satu kata itu keluar dari mulutnya. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah gue, alisnya tertaut, seakan tidak yakin atau heran.
Gue jadi ikutan heran kenapa dia bereaksi seperti itu.
“Hah? Ya..”

Dia menjentikkan jarinya ke jidat gue secara tiba-tiba.
“Apaan sih?!”
“Sakit emang?” Dia mengulurkan tangannya lagi. Gue mencoba menahan tangannya.
Dia meremas tangan gue pelan. Gue fikir dia akan tiba-tiba mengajak gue adu panco seperti sebelumnya. Atau akan keluar pertanyaan menyebalkan seperti “kok tangan lo kecil banget sih?”
Namun justru yang ia lakukan adalah membalikkan telapak tangan gue dengan mudahnya, sehingga berada di atas telapak tangannya. Lalu mengecupnya.

Sudah gue bilang kan sebelumnya kalau dia penuh kejutan?


...

5 juni 2011
POV : Him




Have you ever seen something so beautiful?
Pernah kan pasti.
Dan apakah lo tetap ngeliat hal yang lo sebut indah itu sebagai sesuatu yang indah, kalau dia jauh? Kalau dia tertutup oleh sesuatu? Kalau lo hanya melihat sebagian kecil darinya? Kalau wujudnya bahkan hanya ada di dalam pikiran lo?

Perempuan di depan gue ini sangat cantik.
Dia cantik. Gue gak bosen buat bilang hal itu ke dia setiap hari, meski mungkin dia sudah bosan mendengarnya.
Dia punya kecantikan yang tidak akan berubah meskipun ukuran kecantikan zaman berubah di setiap masa.

Dan, ya. Dia tetap cantik meski ia jauh sehingga tubuhnya yang kecil tampak lebih kecil lagi.
Meski wajah dan tubuhnya tertutup oleh sesuatu, seperti sekarang ini ketika buku di tangannya menutupi wajahnya.
Meski hanya jemarinya yang dapat gue lihat ketika ia menutup mata gue ketika kami menonton film dan ada kissing scene di sana.
Dan ya, tanpa harus gue pikirkan jawabannya. Dia tetap cantik di dalam pikiran gue.
Dan akan selalu begitu.

Hahaha, gue nulis apaan barusan. Itu termasuk surat cinta bukan?

Btw,
Aduh si neng, daritadi abang dicuekin. Untung abang bawa notes neng.

Gue berhenti menorehkan tinta di notes, ketika gue menyadari bahwa perempuan di depan gue ini bergerak.
Dia menaruh buku yang sedari tadi menutupi wajahnya ke meja. Dia menutup matanya, dan menaruh telapak tangannya di depan mulutnya.
Yak dia bersin.

“ALHAMDU?”
“Alhamdulillah.”
Katanya lirih. Lalu mengambil tisu di meja.

...

5 Juni 2011
POV : Her

“I wanna see myself from your point of view.”
Begitulah sebaris kalimat yang tertulis di secarik kertas yang gue temukan di lembaran majalah yang belum selesai gue baca.
Pelakunya?
Siapa lagi kalau bukan dia.

Entah kapan dia menaruh kertas tersebut, dan entah kenapa gue bisa tidak menyadarinya tadi.
Tadi, dia sibuk menulis di notesnya. Entah menulis apa, mungkin lirik lagu baru?
Entahlah, gue gak bener-bener tau karena gak bertanya padanya. Biasanya dia bercerita tentang apa yang selalu ia tulis, latar belakang lagu-lagu barunya. Tapi tadi gak, mungkin bukan lirik lagu yang ia tulis atau mungkin dia hanya ingin menyimpannya sendiri?
Tadi, gue juga sibuk membaca majalah. Dan sibuk bersin-bersin. Entah kenapa, mungkin karena sinar matahari pagi yang menyengat.
Dan dia terus menerus bertanya, memberikan perhatiannya.
“lagi baca artikel apa?” “selain majalah itu kamu suka majalah apa?” “kamu bersin-bersin mulu, ada alergi?” “biasain ya bawa sapu tangan, biar gak buang-buang tisu.”
Dan lain-lainnya.
Dan gue hanya menjawab sembari lalu, tidak menatap wajahnya. Meski gue menyadari sorot matanya yang seakan terus merekam segala aktivitas gue.

Gue...
Gimana ya gue harus menjelaskannya.
Gue ngerasa, gak tahan.

Dengan segala perhatiannya yang berlimpah. Dengan sorot matanya yang teduh.
Dan gue gak bisa membalasnya.
Seringnya, gue cuma bisa ngeluh di depan dia. Itupun selalu tanpa alasan yang jelas, dan dia lagi-lagi buat gue gak tahan. Dengan kesabarannya menghadapi gue.
Seringnya, gue bingung harus merespon omongan atau perlakuan dia ke gue.
Dan, kini gue lagi-lagi bingung harus bagaimana menjawab pertanyaannya...

Are you really wanna see yourself from my point of view?
Are you sure?

Gue mengambil jurnal pribadi gue dari laci meja. Merobek selembar kertas dari sana.
Ingin menjawab pertanyaannya, ingin membalas rasa penasarannya.
Seperti apa dia di mata gue.
Seperti apa kita yang gue rasa.

Kali ini gue gak akan menutupi apapun. Gue sudah gak tahan dengan diri gue sendiri.

Semoga gue tidak merobek hatinya.
Atau mungkin sudah?

...

6 July 2011
POV : Him

Tadi pagi, gue menumpahkan kopi di meja kerja gue.
Membuat notes berisi lirik lagu dan surat cinta yang kemaren gue tulis buat dia basah.
Tinta birunya membaur di kertas membuat kalimat yang gue tulis menjadi tidak terlalu jelas terbaca.
Ah, ya setidaknya aroma kopi tertinggal di sana. Haha.
Tapi, gak biasanya gue kaya gini.

Gue mungkin emang orang yang clumsy, dalam menjaga omongan gue.
Gue kadang gak tau kapan harus berhenti ngomong, juga kapan harus “berbohong”.
Tapi, dalam hal-hal seperti ini biasanya gue lebih berhati-hati.
Ah, apa mungkin pertanda?
Gue juga gak biasa-biasanya kepikiran ada pertanda di setiap kejadian kecil di hidup gue.

Dan, hal-hal gak biasa itu terus terjadi berturut-turut dalam satu hari.
Gue lupa ambil kembalian laundry. Gue jatohin sikat gigi ke kloset. Gue gak sengaja nginjek buntut kucing kosan.
Dan orang ini juga gak biasanya kaya gini.
Tiba-tiba mengirim pesan ke ponsel gue, mengajak untuk bertemu.

Ya tentu dengan senang hati gue mengiyakan ajakannya. Tapi dari kejadian beruntun tadi, gue jadi berhati-hati.
Apa mungkin gue melakukan suatu kesalahan padanya?
Entahlah, gue bertanya padanya di pesan tapi dia tidak menjawabnya.
Ya, dia sering gak menjawab pertanyaan gue. Itu merupakan hal yang biasa.

Ah, gue pikir juga gue bakal menemukan jawabannya di pertemuan kami nanti.

...

“Heiiii. Maaf udah bikin kamu nunggu.”
Sapa gue, menepuk pundaknya pelan. Ingin mengecup pipinya, namun gue tertegun melihat matanya.
Sembab. Ada jejak air mata di sana.
Dia gak perlu bilang, gue udah tau. Meski gue gak tau kenapa.

“Heeey. Gapapa biasanya aku yang bikin kamu nunggu. Duduk deh, aku mau ngomong sesuatu..”
Aku-mau-ngomong-sesuatu.
Shit. Lo tau gak sih, kalimat itu bisa menimbulkan banyak pertanyaan di kepala dan banyak juga perasaan bersalah yang lo gatau sebabnya apa?
Gue menarik kursi di sebelahnya. Masih tidak bisa melepaskan pandangan gue darinya. Dia meraih teh hangat dari meja, gak biasanya dia memilih teh dibanding kopi. Lalu setelah seteguk air masuk ke kerongkongannya, dia membalas tatapan gue. Dan lagi-lagi itu gak biasanya terjadi, dia biasa menghindarinya.

“Kemarin kamu nulis apa di notes?”
“Ah, aku nulis lirik lagu baru.”
“Oh tentang apa?”
Gak biasanya dia nanya duluan kaya gini.
“Rahasia? Hahaha. Aku juga nulis hal lain sih.”
“Oh rahasia.”

Udah. Terus dia diem lagi.

“Aku kemarin nulis surat cinta buat kamu.”
Dia membuka mulutnya, seperti mau mengatakan sesuatu. Lalu dia telan kembali perkataannya.
“Mau baca? Tapi baru aja ketumpahan kopi tadi pagi.”
Dia hanya tersenyum. Seperti biasa, tidak menjawab.

“Aku juga nulis surat buat kamu.”
What the hell did i just hear?
“Kamu mau baca?”
Gue mengangguk dengan antusias. Dia tertawa melihat respon gue, tapi tawanya getir.

Dia membuka tasnya. Mengeluarkan sepucuk amplop dari sana.
Tangannya bergetar menyerahkan surat tersebut ke gue.
Hati gue ikut bergetar.
Gak biasanya kaya gini.

“Suratnya tentang apa?”
“Jawaban dari pertanyaan kamu kemarin.”
“Pertanyaan aku yang mana?”
“Yang gak bisa aku jawab secara langsung. Cuma bisa aku tulis di surat.”
“Terlalu banyak pertanyaan aku yang gak kamu jawab...”
“...... Maaf.”

Kini, gue kembali ngerasa bersalah.

“Aku bisa baca sekarang?”
Dia melemparkan pandangannya ke sembarang arah. Kembali, tidak menjawab.
“Aku anggep itu iya ya.”

Gue membuka amplop tersebut.
Membaca kata perkata.

Luka di hati gue menganga.

...

Kamu di mataku?
Hanya laki-laki biasa. Yang jatuh cinta pada wanita biasa sepertiku.
Kamu memperlakukanku secara tidak biasa. Seakan aku istimewa, padahal kenyataannya aku hanya manusia biasa.
Kata orang, jatuh cinta itu biasa aja. Tapi kurasakan perlakuanmu terlalu istimewa.

Aku seringkali menghindari tatapan matamu. Aku seringkali tidak menjawab pertanyaanmu.
Maafkan aku.
Bahkan mungkin di surat ini, lagi-lagi aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu.

Hari di mana kamu menyatakan perasaanmu, hari yang biasa saja. Namun begitu istimewa untukku.
Hari itu, sekali itu, aku merasa bahwa aku istimewa.
Dan aku merasa, aku jatuh cinta.

Aku benci harus menulis ini. Aku benci harus berbalik bertanya kepadamu. Ah, mungkin ini bukan pertanyaan.

But, what if...?
What if someday reality hits you really hard that you never love the one you’re with, you just think you did?
What if you think you’re in love but the truth is you just don’t wanna be alone?
What if the love you think you deserve is merely a companionship?
What if you keep the relationship just because people around you think you two are meant to be while you feel you don’t belong?
What if when you tried to walk away from the one you think you love but you couldn’t because he genuinely loves you?
What if?

Sayangnya, untukku. Itu bukan bayangan semata, bukan pertanyaan angan-angan biasa. Aku mengalaminya..
Aku kira aku jatuh cinta, namun kenyataannya tidak.
Aku kira dengan aku merasa aku istimewa di matamu, maka kamu pun akan begitu di mataku. Namun kenyataannya tidak.
Aku kira aku mempertahankan hubungan kita semata karena perasaanku. Ya, aku kesepian. Aku tidak ingin sendirian.
Aku kira kamu benar-benar mencintaiku, dan sepertinya itu benar.
Kamu mencintaiku, aku tau.
Aku benci diriku sendiri tidak bisa berbalik mencintaimu.

Maafkan aku.
Kamu di mataku tetap laki-laki biasa. Aku tidak memandangmu sebagai seorang teman, atau sahabat, atau kakak laki-laki.
Kamu kekasihku, selama ini. Tapi aku tidak mencintaimu.
Lalu apa arti kekasih? Aku tidak benar-benar tau.
Aku brengsek. Dan, kamu terlalu baik.

Mungkin setelah membaca ini semua. Kamu akan membenciku, atau tetap mencintaiku.
Keduanya, sama-sama bukan keinginanku.

Setelah surat ini selesai kamu baca, mungkin aku akan menyakitimu.
Dan akan selalu menyakitimu.
Atau mungkin sudah?

Maafkan aku.
Aku tidak bisa bertahan dengan diriku sendiri, bahkan aku bertanya-tanya apa yang aku pertahankan selama ini. Brengsek, aku tau.
Dan. Ya. Dari pandanganku, atau pandangan siapapun.
Orang sebaik kamu tidak boleh bertahan pada orang sepertiku.

...

What IF Love?
you think you’re in love but the truth is, you’re not.



Tyas Hanina

0 komentar:

Posting Komentar