Pages

Minggu, 27 Juli 2014

Are you satisfied? Are you sad inside?

One Chance
POV : Him
Dua hari setelah hari pernikahan Dyo. Gue pulang, ke tempat di mana gue seharusnya berada.
Nyokap protes dengan kepulangan gue yang katanya terlalu mendadak. Dia protes dengan penggunaan kata pulang yang gue pakai, dia bilang :
“Kamu mau pulang ke mana? Di sini rumah kamu. Ibu, rumah kamu.”
Serasa ada tamparan di pipi ketika mendengarnya. Tentu, tentu selamanya akan begitu. Sejauh mana pun gue melangkah, kepada Ibu lah gue pasti kembali.
Tapi, maksud gue mengucapkan kata pulang adalah untuk menghindari kata pergi.
Gue pulang ke sana bukan berarti gue gak bakal kembali ke sini kan?
Gue benci mendengar kata pergi, terlebih lagi menggunakannya. Terlebih lagi melakukannya.

Meski Ibu tidak mengerti sepenuhnya keputusan gue untuk “pulang”, tapi dia tetap bersedia mengantar gue ke bandar udara. Membekali gue dengan makanan, nasihat dan saran-saran.
“Kamu gak bisa terus-terusan melarikan diri. Tempat kamu di sini.”
“Melarikan diri? Aku gak kabur dari apapun Bu.”
“Pulang ke sini lagi. Jangan lupa ama Ibu.”
Katanya, ketika gue mencium telapak tangannya sebagai ucapan perpisahan.
“Pasti aku gak akan lupa sama Ibu.”
“Jangan lupa pulang ke sini.”
Ulangnya.
“Aku pasti pulang ke sini, Ibu.”

...

Gue selalu suka suasana di sini, di bandar udara. Ataupun di tempat-tempat sejenisnya, seperti stasiun kereta api, terminal bus, pelabuhan dan lain sebagainya.
Tempat di mana seseorang berangkat ke suatu tempat, atau pulang kembali.
Tempat di mana seseorang harus melepas akar-akar di kakinya yang melekat di bawah kota kelahirannya, tempat di mana seseorang yang lainnya harus melepas doa dan rasa rela melepas kesayangannya.

Gue suka mengamati orang-orang, dan di tempat seperti ini gue ketemu banyak orang yang menarik untuk gue amati.
Kadang, gue beranikan diri untuk membuka obrolan dengan mereka.
Atau kadang, gue hanya berani untuk membuat cerita tentang mereka di kepala gue.

Hari ini, di ruang tunggu bandar udara.
Gue mengamati sepasang kekasih yang duduk di depan gue. Tangan mereka saling menggandeng. Di tangan kiri sang perempuan tergenggam erat sebuah peta dunia. Di tangan kanan sang laki-laki, ada dua buah paspor negara. Di samping kaki mereka terdapat dua buah ransel besar.
Dugaan gue, pasangan ini sudah bersama dalam jangka waktu yang cukup lama. Sehingga bisa saling percaya untuk pergi berdua bersama ke suatu tempat baru. Dan sepertinya, ini trip berdua mereka yang pertama kali. Terlihat dari antusiasme di wajah mereka, dan genggaman erat tangan mereka pada peta dunia dan paspor mereka berdua.

Pengalaman gue mengajarkan, salah satu cara terbaik untuk mengetahui pribadi seseorang yang sebenarnya adalah dengan berpergian bersama dengannya.
Selama perjalanan, tidak hanya hal menyenangkan yang menunggu. Banyak tanggung jawab dan kejadian mengejutkan yang ikut menanti.
Semoga, pasangan ini sama-sama bisa menikmati perjalanan mereka berdua.

Tapi, di lain sisi. Ada rasa ngeri dengan cerita mereka yang gue buat di kepala gue sendiri.
Tentu akan banyak memori yang tercipta selama perjalanan.
Bagaimana jika suatu hari mereka berpisah?
Tentu tidak mudah melepas satu persatu kenangan yang mengikat mereka.
Di setiap tempat yang pernah mereka datangi berdua, akan ada kenangan yang menunggu di sana. Di setiap lagu yang pernah mereka senandungkan berdua, akan ada luka yang menunggu di dengarkan. Di setiap potret diri berdua, akan ada rindu yang menunggu di lihat.
Bagaimana cara mereka bisa melepas semua itu?

Selama gue sama Dia,
Tidak banyak tempat yang kami kunjungi. Dia kurang suka berpergian, tapi suka berlama-lama di suatu tempat kesukaannya.
Tidak banyak lagu yang kami senandungkan bersama. Dia sangat pemalu, dia seringkali menyembunyikan suaranya. Tapi, ada beberapa mixtape berisi kumpulan lagu yang gue buat untuknya.
Tidak banyak potret diri kami yang tercipta. Meski hubungan kami bisa  terbilang lama. Dia kurang suka difoto, gue suka mengerjai dia dengan cara memfotonya diam-diam.

Tapi, segala kenangan juga luka masih susah gue lepaskan dari diri gue. Bahkan hingga saat ini. Ah, sial gue jadi rindu.

Ketika kali terakhir kami bertemu, gue gak tau apa yang mengontrol diri gue sepenuhnya saat itu. Gue tidak bisa menahan senyuman gue, tapi ada rasa nyeri dan gengsi untuk menyapa terlebih dulu.
Gue membuang pandangan gue ke jendela, diam-diam berharap dia masih memandangi gue.
Meski begitu, gue tetap mencoba bersikap biasa saja. Meminum kopi hitam di meja, untuk menghentikan lidah gue yang ingin menyapa. Mengajak ngobrol Dyo kembali, untuk segera lupa akan segala rentetan pertanyaan yang ingin gue tanyakan ke dia.
Gue ingin biasa aja. Gue gak ingin membenci wanita yang dulu pernah buat gue bangga, gue gak bisa. Gue juga gak pengen terus menerus menyayangi wanita ini kaya dulu, dan gak pernah bisa berbalik membuat dia merasakan hal yang sama.
Selama kami bersama, gue memberi dia banyak kesempatan untuk mencoba jatuh cinta kepada gue. Gue memberi lebih banyak kesempatan lagi kepada diri sendiri, untuk mempertahankan dia- untuk mempertahankan kita.
But,
She only get one chance to break my heart.

Ah, jadi melankolis kan gue.

Suara pengumuman keberangkatan pesawat yang akan gue naiki terdengar. Gue bangkit dari kursi, memakai tas gue. Menggenggam erat paspor gue.
Memberikan senyuman gue kepada dua pasang muda mudi yang sedang saling jatuh hati di depan gue. Rasa terima kasih, karena mereka sudah mengingatkan gue akan dia, terima kasih karena setelah mengingatnya. Gue semakin yakin.

Gue melangkah pasti.
Gue gak sedang melarikan diri.
Gue sedang memulai hidup gue yang baru.
Sehingga, ketika gue pulang kembali ke kota ini. Gak akan lagi ada jejak pahit dan rasa sakit di hati.

...

Dear Him, are you sad inside?

...

Salt Water
POV : Her

They're all these and those, nothing
I don't care
It's okay
I'm used to being alone myself
I was so cold
I was so emotionless
These days I'm a bit strange
I was so greedy
I was so selfish
But I started to let myself go little by little
I get everything I've wanted
 
But I can't have what I need
(Taeyang – Let Go)
...

Gue mengusap keringat yang mengalir di kening gue dengan handuk yang diberikannya.
“Masih kuat?”
Tanya Rama, Bos Gue.
Gue mengangkat bahu, mengambil ancang-ancang untuk berlari lagi.
Tapi, untuk berdiri aja gue gak sanggup. Untungnya, ada Rama. Dia segera menjadi tumpuan buat gue.
“Udah jangan paksain diri sendiri.”
“I’m okay.”
“I know you’re not.”

Gue mengalah kepada diri gue sendiri. Baiklah istirahat untuk beberapa lama, tidak akan berarti apa-apa.
Gue duduk di kursi taman. Tiba-tiba ada sensasi dingin di pipi gue.
Rupanya, Rama menempelkan air mineral dingin.
Gue membisikkan kata terima kasih. Dia duduk di samping gue.

Selama beberapa lama kami hanya duduk diam.
“Kenapa...”
“Hah?”
Rama menarik nafas sebelum melanjutkan pertanyaannya.
“Kenapa pilih lari? Dari sekian banyak olahraga?”
“Gue payah di bidang ini Ram, gue gak suka olahraga beregu. Cuma lari yang gue bisa dari kecil.”
“biasa kabur dari nyokap ya pas kecil?”
“Hahaha kan waktu dulu mah mainnya emang lari-larian.”
Lalu kami larut dengan pembicaraan tentang permainan masa kecil. Seperti galaksin, petak umpet, tapak gunung, batu tujuh, polisi maling, dan lain-lainnya.

“Bagus sih olahraga. Tapi gak bagus jadinya kalo lo maksain diri kaya gini.”
“Gue gak maksa...”
“Kenapa harus lari coba? Mau belajar lari dari masa lalu ya? Hahahaha.”
Rama tertawa begitu puas.
Dan raut muka gue bias.

Karena gue tidak menanggapi omongannya (untuk kesekian kalinya hari itu). Dia sepertinya mulai lelah, dan memutuskan untuk menyerah.
Tiba-tiba, jidat gue basah oleh sesuatu.
Hujan gerimis turun.
Orang-orang yang berolahraga di taman dan melakukan aktivitas lainnya segera berlarian ke sana ke mari mencari tempat berteduh.
Rama menarik tangan gue, mengajak gue pergi untuk menghindari hujan.
Gue menggeleng.
“Kenapa lagi sih yas?”
Ada rasa putus asa yang terdengar dari pertanyaannya.
“Ya gapapa.”
“...”

Dia duduk kembali di samping gue. Gue memandangnya heran.
“Kalo mau sakit jangan sendirian. Gue temenin.”
Gue tertawa mendengar kalimatnya, yang maksa.
“Sana neduh.” Gue mendorong bahunya pelan.
“Sama lu tapi.”
“Dih ogah.”
“...”

“Lo suka hujan ya?”
Pertanyaannya membenturkan gue ke kenangan lama. Seseorang pernah bertanya hal yang serupa pada suatu waktu.
Gue hanya mengangguk, tidak bisa menahan senyuman.
“Kenapa?”
“...”

Hujan semakin deras. Mungkin orang-orang yang berteduh memandang kami sebagai dua orang yang tidak waras.
Gue tidak menjawab pertanyaan Rama. Dan berbalik mengajaknya pergi.
“Ram? Hujannya makin deras.. Ke laut yuk?”
“Lo sakit ya yas? Ujan gini kok ke laut.”
“Gue belom pernah liat ujan di laut.”
“Gue juga. Tapi kan....”
“Kenapa?”
“Kenapa lo mau liat hujan di lautan?”
“I want to wash away all of my pain."

...
"The cure for anything is salt water - sweat, tears, or the sea."
Isak Dinesen
...

Dear Her, Are you satisfied?

...

(Cerita ini adalah lanjutan dari "Is This Love?" dan "Are you happy, My Dear?")


Tyas Hanina

0 komentar:

Posting Komentar