I’ve hurt myself by hurting you.
POV : Her
“I should have loved myself with the love I gave to you.”
Dia membisikkan kalimat itu pelan di telinga,
sebelum dia meninggalkan gue sendiri di kafe ini.
Dia tetep senyum mengucapkan kalimat itu,
walau gue tau jauh di dalam hatinya dia sama sekali gak bisa senyum. Senyum dia
itu kaya tato permanen di wajahnya. Selalu ada di sana setiap kali gue
menengoknya.
Ah entahlah. Emang dasarnya gue brengsek.
Udah patahin hati dia, tapi tetep coba
pertahanin dia di dalam hati.
Gue bilang di surat dia gak boleh pertahanin
orang kaya gue, and that’s true.
Tapi sebenernya yang gue rasain, kebalikannya
dari itu.
Setelah dia selesai membaca surat yang gue
tulis untuknya. Dia tersenyum, entah untuk apa. Tapi pandangannya kosong.
Kilatan yang biasa ada di matanya berbeda, sepertinya kali ini air mata yang ia
tahan.
Sedangkan gue, gak bisa tahan lagi-lagi buat
mengontrol diri gue.
Air mata gue turun tanpa bisa gue cegah. Gue
ngerasa sangat bersalah. Gue sadar betapa hal yang gue lakuin sangatlah bodoh.
Dia duduk kaku di kursinya, masih tersenyum.
Pandangannya menatap langit-langit kafe. Mulutnya terbuka, seperti hendak
mengucapkan sesuatu. Tapi dia telan kembali.
Jujur, saat itu pun gak sanggup denger apapun
dari bibir dia.
Gue hanya sanggup berulang kali mengucapkan
kata maaf.
Itupun sangat pelan. Entahlah dia
mendengarkan gue atau tidak.
Yang jelas, gue sadar pasti. Gue sangat
menyakitinya.
Dan sakit rasanya, menyadari bahwa sejak itu
semuanya tak lagi sama.
Dia gak berusaha untuk menghentikan tangisan
gue. Dia gak berusaha menghibur gue.
Gak ada lagi jokes garing yang keluar dari
mulutnya, gak ada lagi sapuan air mata dari jemarinya, gak ada lagi pelukan
hangat darinya.
Gak ada.
Dan lebih sakit lagi, menyadari bahwa gue gak
bisa berbuat apa-apa setelah apa yang gue lakuin ke dia.
Gue mau meluk dia. Tapi seakan gue duduk
melekat di kursi gue.
Di lain sisi, gue takut sentuhan gue semakin
menyakitinya.
Hingga akhirnya, ia bangkit di kursinya.
Menghela nafas pelan.
Memeluk gue untuk waktu yang sangat sebentar.
Seakan dia ingin segera melepaskannya. Ingin segera melepas gue.
Membisikkan kalimat itu. Kalau seharusnya dia
bisa menyayangi dirinya sebagaimana dia sudah memberikan rasa sayangnya kepada
gue.
Dan gue hanya bisa memegang tangannya, untuk
waktu yang tidak lama. Menatap matanya yang kini tidak lagi sama kilatannya,
menatap senyumnya yang berbeda. Dengan butiran air mata yang gak bisa gue
hentikan, gue mengucapkan kalimat perpisahan.
“i wish you well.”
...
Irony.
POV : Him
“I wish you well.”
She
said.
Gue meringis mengingat ucapannya. Ah, the irony.
You wish me well?
I wish you hell.
...
Are you happy, my dear?
POV : Her
Hari ini kami gak sengaja bertemu. Seminggu
setelah kejadian itu.
Dia terlihat baik-baik saja, setidaknya di
luarnya.
Gue cukup lega melihatnya. Tapi tetap saja
terasa ada yang kurang.
Can’t nobody do it like you say every little thing you
do.
Ngeliat dia main basket bareng temen-temennya
tadi, ketawa-ketawa kaya biasa.
Gue diam-diam berharap, setelahnya dia akan
kembali bercerita bagaimana ia lalui harinya.
Gue pengen denger keluhan dia tentang
teriknya matahari hari ini. Gue pengen denger ledekan dia tentang gue yang gak
bisa olahraga.
Gue pengen denger apapun dari bibir dia.
Bahkan, kalau cacian buat gue yang dia ucapkan.
Ya, gue pantas kok mendapatkannya.
Tapi boro-boro cacian.
Bahkan pandangan mata pun dia lemparkan
ketika pandangan kami gak sengaja bertemu.
Ya.. Meski menyakitkan. But i know that i deserve this.... shit.
...
Do you remember the song that was playing the
night we meet?
POV : Him
Thanks
to her.
Setidaknya, rasa sakit gue bisa jadi karya.
Gue berhasil bikin beberapa lagu dari kejadian itu.
Waktu vokalis band gue baca liriknya. Dia
langsung meluk gue.
Tentu saja gue ngelak, gila sesakit apapun
hati gue... gue masih demen cewek sih.
“Gila. You deserve better man.”
Ternyata dia meluk karena simpati.
Gue ketawain aja. Abis gue gak tau mau respon
apa lagi. Gue benci dikasihanin.
Dan sialnya. Tiba-tiba sepotong lirik lagu
mengalir dari mulutnya.
“They say love is blind. Oh baby you so blind.”
“Sialan lo.”
“Lah napa. Gua cuma
nyanyi lagu GD.”
“Manggil-manggil gue baby segala.”
Dia nyengir, memamerkan gigi berpagarnya.
“Tapi serius deh gue
mau nanya ama lu..”
“Apaan lagi sik.”
Dia membaca sekali lagi lirik lagu yang gue
tulis. Menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lo tuh, masa sih?
Dari dulu gak sadar?”
Gue cuma membalas pertanyaannya dengan
tersenyum. Meski gue gak tau senyum untuk apa.
Meski dalem hati, gue udah misuh-misuh.
Ya gue gak sebuta itu kali.
Gue sadar kok. Gimana dia sama gue.
Iya gue buta. Masih coba pertahanin hubungan
itu, meski akhirnya orang yang gue pertahanin gak ngebolehin gue pertahanin dia
sih.
Tapi, gue juga sadar. Dia sudah mencoba untuk
membalasnya selama hubungan kami yang cukup lama.
Gue juga sadar, bukan hanya gue yang sakit.
Dia juga.
Harus boong sama perasaannya sendiri, selama
ini.
Haha.
Apa kabar ya dia?
She's
a silver lining, lone ranger riding
Through an open space
In my mind when she's not right there beside me
Through an open space
In my mind when she's not right there beside me
I
go crazy 'cause here isn't where I want to be
And satisfaction feels like a distant memory
And I can't help myself
All I want to hear her say is
"Are you mine?"
And satisfaction feels like a distant memory
And I can't help myself
All I want to hear her say is
"Are you mine?"
...
We were wrong to stay this long.
POV : Her
Gue membuka pintu kamar gue. Melihat kasur di
ujung ruangan, membuat gue merasa sangat lega.
HHHH gila gak tau berapa kali hari ini gue
misuh-misuh dalam hati.
Capek banget, ngadepin pengunjung di Kafe tadi. Emang cuma 1, tapi cukup untuk
ngebunuh mood gue seharian.
Gue gak yakin apakah semua orang ngerti apa
yang gue rasain.
Awalnya gue biasa aja, gue emang menyadari
kehadirannya setiap hari. Duduk di bangku yang sama. Selalu memesan menu yang
sama. Memberikan tip dengan jumlah yang sama. Dan pandangan tajam yang sama, ke
arah gue.
Lalu semakin lama dia semakin berani. Atau
yang gue sebut kurang ajar.
Menunggu shift kerja gue selesai, membuntuti
gue pulang ke rumah.
Memberikan tip lebih ke pelayan untuk
memberikan nomor telepon gue.
Dan tadi. Apaan coba maksudnya pake acara
nyatain perasaannya ke gue?? Diliput kamera segala??
Dari awal gue gak pernah ngerespon. Gak ada
lampu merah untuk dia stop, lampu kuning untuk hati-hati, apalagi lampu hijau
untuk terus jalan. Dari awal, gue udah ngasih tembok.
Tapi, untungnya emang ekspresi gue selalu
datar.jpeg, jadi orang gak bisa baca emosi gue. Atau justru malah keliatan
banget ya?
Gue gak memberi respon apa-apa selama
kejadian itu. Tetap meracik kopi, menghidangkannya di cangkir. Seakan tuli dan
buta akan kejadian sekitar. Gue hanya gak peduli.
Begitu orang-orang selesai tepuk tangan dan
riuh rendah suasana kafe menjadi hening karena gue gak ngerespon sama sekali.
Gue mengahampiri Bos gue, meminta izin
pulang. Dan melengos keluar begitu saja.
Gue tidak memberi respon sebagai respon gue.
RRRR.
Ponsel gue bergetar di saku celana. Dengan
malas gue mengangkat telepon, dari Bos gue. Gila gak abis-abis ya urusan
kerjaan?
“Halo?”
“Ya.”
“Udah nyampe lo?”
“Yaaa.”
Ada suara tawa di seberang telepon
“Masih emosi
gara-gara tadi?”
Gue mengangkat bahu, lalu sadar bahwa dia gak
bisa liat gue saat ini.
“Hmm. Ya gitu deh.”
“Sorry ya gue gak
nyegah kejadian tadi.”
“It’s okay.”
“I know you're not.”
“...”
Dari mana dia tau. Atau mungkin dia hanya sok
tau.
“Sorry gue gak
nganterin lo pulang. Malah ngebiarin lo pergi gitu aja.”
“It’s okaaay.”
“Sorry yaaaaa.”
“Ngomong sorry sekali
lagi gue matiin ya teleponnya.”
“....”
“Makasih tadi udah
ngebiarin gue pulang duluan sebelum shift gue selesai.”
“Ya kayanya cuma itu
yang bisa gue lakuin buat lo tadi?”
Gue tertawa mengiyakan. Berterima kasih lagi
di dalam hati.
Gue menaruh ponsel di samping bantal gue,
menyetel mode speaker.
“Eh, gue mau minta
tolong deh?”
“Apa?”
“Besok bawa CD
Adhitia Sofyan ya, keknya asik buat disetel di Kafe.”
“Ya okedeh.”
“Cek dulu ada gak
CDnya.”
“Ya nanti ya.”
“Sekarang. Atau gaji
kamu saya potong.”
Gue cukup kaget mendengar ucapannya. Tumben
si Bos berlagak kayak Bos beneran.
Mana ancemannya gitu lagi.
“HAHAHAHAHAHHAHA.
BERCANDA.”
Gak lucu. Kenapa juga
ketawanya sepanjang gitu? Gue heran banget sama orang ini.
Gue bangkit dari
ranjang gue, berjalan dengan langkah lunglai ke meja belajar. Ke tempat rak CD
berada.
“HOOOY MARAH YA?”
Gue membalas
teriakannya di telepon dengan teriakan juga.
“Saya lagi nyari
CDnya BOS!”
Lalu, terdengar suara
tawa berderai di telepon. Dia mengucapkan suatu kalimat, tapi gue abaikan.
Gue fokus dengan rak
CD gue yang acak-acakan, gak berurutan isinya. Sejak 3 tahun lalu, gue
membiarkannya begini.
Dulu sangat lain
keadaannya, tiap bulan gue mengaturnya sesuai urutan. Kadang sesuai nama,
kadang sesuai genre.
Tapi entahlah,
rasanya sejak 3 tahun lalu gue jadi terbiasa untuk asal mengambil CD dan
mengshuffle lagunya. Gue gak pengen tau lagu apa yang gue dengerin, gue ingin
kejutan darinya.
Selalu ada satu
kenangan di setiap lagu. Menantang rasanya, teringat suatu kejadian tertentu
secara acak.
Ah.
Lagi-lagi, gue
dikejutkan oleh kenangan.
Yang kali ini gue
temukan di selipan rak CD.
Sial.
Udah berapa lama, gue
gak muter CD ini. Bahkan hampir lupa keberadaannya.
Gimana bisa gue tetep
inget urutan lagunya, tetep inget siapa aja penyanyinya. Tetep inget siapa yang
memberikan CD tersebut dan apa tujuannya.
Dan, justru sedih
yang gue rasakan ketika melihatnnya.
Apa gue harus
memainkan CD itu lagi?
“OOOY OOOY UDAH
KETEMU BELOM CDNYA?”
Teriakan dari si Bos
di telepon menyadarkan gue.
“Ketemu. Tapi ada
yang ilang nih rasanya bos.”
...
Forever? It just over.
POV : Him
26 October 2014
I guess what I'm trying to say is
I need the deep end,
I keep imagining meeting
Wished away entire lifetimes
Unfair we're not somewhere
misbehaving for days
Great escape
Lost track of time and space
She's a silver lining
climbing on my desire
I need the deep end,
I keep imagining meeting
Wished away entire lifetimes
Unfair we're not somewhere
misbehaving for days
Great escape
Lost track of time and space
She's a silver lining
climbing on my desire
Lo tau perasaan
ketika lo harus meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari hidup lo?
Buat gue itu berat. Seakan kaki gue sudah
mengakar di bawah tanah kota ini.
Akar-akar di bawah kaki gue itu sudah gue pangkas
habis tiga tahun lalu. Pertama kali, gue berangkat ke Vienna, dengan modal
tabungan gue selama ini dan modal nekat juga sih. Tapi rasanya worth it, karena ini sudah lama menjadi
bagian dalam bucket list gue. Dan dia.
Semenjak itu gue jadi terbiasa pergi
sendirian. Kadang, gue “pulang” ke kota ini untuk beberapa lama. Mengunjungi
keluarga dan beberapa orang teman. Tapi gue gak pernah ketemu dia, dan emang itu yang gue mau.
Lama kelamaan. Kata “pulang” berganti,
menjadi “mampir”. Kaki gue udah gak gak berakar, dan kini bebas untuk
menancapkannya di mana-mana. Langkah gue jadi ringan rasanya.
...
Gue mampir lagi di kota ini. Sepertinya,
dalam waktu yang cukup lama. Ada acara keluarga, dan gue gak mungkin
menolaknya.
Gue ketemu banyak temen lama. Wajah-wajah
lama yang memiliki kenangan yang berbeda.
Hari ini, mantan vokalis band gue dulu. Yang
selalu nemenin gue di masa-masa gue patah hati sebelum gue berangkat ke Vienna,
minta ditemenin ngopi.
Sederhana sih permintaannya. Tapi entah
kenapa, ada perasaan bahwa hari ini bakal ada sesuatu yang istimewa.
“Jadi minggu depan,
Yo?”
“Yoi. Lo harus
dateng.”
“Kenapa harus?”
Gue memasang wajah serius, menggodanya dalam
hati. Dia menggelengkan kepalanya, mematikan rokok di tangannya, membuangnya ke
asbak.
“Gue telepon juga ye
nyokap lo biar baju-baju sama paspor lu dibuang.”
Gue tertawa mendengar responnya.
“Ya gapapa tanpa baju
gue juga bisa pergi. Kan tinggal bawa diri sendiri.”
“Tanpa paspor?”
“Paspor gue selalu
gue bawa ke manapun kali Yo.”
Dia mencondongkan tubuhnya ke arah gue,
tiba-tiba dengan cepat mengambil tas gue.
“Weh bro udah gak
ketemu berapa taun kita, lu jadi maling gini?”
“Maling waktu temen
gue bentar.”
“Gak perlu maling,
pasti gue kasih kok buat lo mah.”
Dia memberikan cengirannya. Menepuk pundak
gue beberapa kali.
“Gue mau dateng
dengan syarat lo ceritain kenapa lo bisa yakin untuk ngadain pernikahan ini.
Dengan perempuan ini.”
Gue memberikan syaratnya secara tiba-tiba.
Dia mengiyakannya begitu saja.
Keluarlah dari mulutnya dan hatinya, cerita
mulai dari pertemuannya pertama kali dengan kekasihnya dan hingga hari di mana
cincin itu dia kenakan di jari manis kekasihnya.
“Lo masih belum
menjawab pertanyaan gue.”
“Lo gak ngedengerin
gue ya daritadi?”
“Dengerin. Gue hanya
ingin tau, kenapa lo yakin kalo dia orangnya? Kalo lo bisa tahan sama orang ini
setiap hari. Sampai selamanya.”
“Selamanya? Hahahaha
kita masih terlalu muda buat kenal kata selamanya.”
“Terus kenapa?”
“Gue juga gatau
kenapa. Dalam hal-hal menyangkut perasaan, lo gak bisa cuma dengerin teorinya.
Lo harus terjun langsung ngerasain.”
“... good luck deh.”
“Lo juga good luck lah.”
Kami pun tertawa entah untuk apa. Gue meneguk
pelan kopi hitam dari meja, sedangkan Dyo mulai menyalakan rokok baru lagi.
Ada perasaan pahit yang tertinggal dari
percakapan kami barusan. Lebih pahit dari kopi yang gue minum, lebih
menyesakkan dari asap rokok yang Dyo hembuskan.
...
The bitter the better.
POV : Her
26 October 2014
Gue membuka pintu kafe. Aroma kopi langsung
menyambut indra penciuman gue.
Tap tap tap.
Gue melangkah dengan mantap. Beberapa teman
sesama pegawai menatap gue dan memberikan cengirannya, pasti soal kejadian
kemarin.
“Kemaren kenapa
pulang duluan?”
Temen gue, yang bertugas menjaga kasir
menyambut kedatangan gue dengan pertanyaan menyebalkan.
Gue hanya mengangkat bahu. Karena gue yakin
orang ini sebenarnya tahu hanya pura-pura tidak tahu.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundak gue.
“Yas? Tolong anterin
ini ke meja di ujung sana dong? Gue mau ngangkat telepon bentar.”
“Oh okay.”
...
Black coffee. And a
cheesecake.
Persis seperti menu favorit seseorang.
Gue berjalan menuju pengunjung kafe yang
duduk di ujung ruangan, dekat dengan jendela. Dari jauh, terlihat jelas 2 orang
laki-laki paruh baya. Yang satu mengisap rokok di bibirnya, yang satu
mengaduk-ngaduk cangkir di meja.
Gue menyapa pelanggan dengan tagline kafe
kami. Menaruh pesanan di meja. Setengah membungkuk mengucapkan terima kasih dan
selamat menikmati.
Begitu gue berdiri tegak kembali, gue tidak
sengaja bertatapan dengan mata pelanggan.
Tidak sengaja.
Pelanggan itu memberikan senyumannya yang
manis, lalu mengambil secangkir kopi hitam yang tadi gue bawakan.
Ia membuang pandangannya ke jendela, dan
mengobrol kembali dengan temannya seperti sebelum gue datang ke meja ini
mengantarkan pesanannya. Seakan tidak ada apa-apa.
Ah. Ya.
Itu tidak apa-apa.
Gue melangkah menjauh dari meja itu. Memeluk
baki di dada.
Ada suara gemuruh di sana. Ada gerimis yang
siap tumpah dari mata.
Setelah menyaksikan senyumannya yang cerah,
persis seperti ramalan cuaca hari ini.
Ah. I’m
glad that he’s happy.
...
If you like your
coffee hot
Let me be your coffee pot
You call the shots babe
I just wanna be yours
Let me be your coffee pot
You call the shots babe
I just wanna be yours
(Kisah lanjutan dari kisah sebelumnya
: “Is This Love?”)
Tyas Hanina
0 komentar:
Posting Komentar