Pages

Jumat, 03 Januari 2014

Panggung Sandiwara


Hari ketiga #WritingChallenge

Tema :  Tirai


Panggung Sandiwara


Dunia ini panggung sandiwara
Cerita yang mudah berubah
Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar ada peran berpura pura

Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara

Peran yang kocak bikin kita terbahak bahak
Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan

Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara

Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan

Mengapa kita bersandiwara


(Achmad Albar - Panggung Sandiwara)


...

“Naskahmu sudah kau hafal, keh?”
“Sudah, pak.”

Pria di depanku ini mengangguk-nganggukkan kepalanya, sambil memilin-milin jenggotnya.

“Fokuslah, keh. Sejak minggu kemarin kamu kaku sekali.”

Aku hanya membalas ucapannya dengan selengkung senyuman. Kugigiti kembali permen karet di gigiku. Waktu tampil semakin dekat.

Pria itu menepuk bahuku pelan. Dia langkahkan kakinya menuju pemain lain.

...

Sejujurnya masalahku bukanlah menghafal naskah. Sungguh, bagiku itu bukanlah hal yang susah. Aku bisa menghafal sesuatu dengan mudah.

Hanya saja,
Semenjak minggu kemarin, lawan mainku diganti. Menjadi perempuan itu.
Aku seperti hilang kendali, atas diriku sendiri.

Sejak pertama kali aku latihan drama dengannya. Aku bagaikan robot di atas panggung.
Melafalkan naskah yang sudah kuafal di luar kepala.. Tanpa ekspresi dan akting yang mendukung.

Perempuan itu,
Sepertinya memakluminya. Dia memang lebih dulu terjun ke bidang teater ini.
Namun, dia anak baru di sini.
Dan semenjak kepindahannya, dia dipasangkan denganku. Dipasangkan menjadi pasanganku, pula!

...

 “ Rama!”

Tanpa sadar Shinta langsung melangkahkan kakinya mendekati Rama dengan tangannya yang merentang ingin memeluk Rama, Namun…

“ Tidak Shinta sebaiknya kau jangan mendekat sebelum memastikan bahwa kau masih suci! “ Rama mengelak dari pelukan Shinta dan mengucapkannya dengan nada Ketus.

Mendengar kata-kata Rama, Shinta pun menangis. Hingga terduduk di tanah, di hadapan kaki Rama yang tegap berdiri.
Namun, Rama tidak memandang ke arahnya. Meskipun matanya pun kini berkaca-kaca oleh bening air mata.

 “ Sungguh tak kusangka kau tega berkata seperti itu kepada ku”

Disela-sela tangisannya, tiba-tiba Shinta berlari menuju Api dan membakar dirinya.
Rama berteriak tak kuasa menyaksikan hal itu terjadi di depannya. Dia berlari mengejar Shinta, sebelum ia sampai ke kobaran api itu..
Dewa Angin meniupkan angin untuk memadamkannya. Atas bantuan Dewa Angin Shinta pun selamat dan tidak mengalami luka sedikit pun.

 “ Api pun tak kan mau menyentuhnya, Rama. Karena Shinta masih dalam keadaan suci.”

Lalu angin pun bergelung pergi meninggalkan mereka berdua.
Rama melangkahkan kakinya dengan cepat. Ia pun akhirnya percaya bahwa Shinta masih dalam keadaan suci. Lalu Rama menghampiri Shinta.

 “ Maafkan aku Shinta karena aku telah berburuk sangka kepada mu “

“ Tidak apa-apa Rama…. Aku senang karena kau telah mempercayai kesucianku.

...

Drama itu selesai dimainkan.
Rama berhasil memerankan perannya dengan baik, jauh lebih baik dari yang dia lakukan saat latihan.

Bunyi musik instumental Jawa dimainkan.
Tirai panggung mulai ditutup perlahan, ketika keduanya tengah merentangkan pelukan.
Dua tetes air mata jatuh di pipi Shinta, Rama membisikkan sesuatu di telinganya perlahan.

Penonton menyeka air mata di wajah, merasa ikut merasakan kesedihan.
Beberapa di antaranya mulai berdiri dari kursinya.
Tepukan tangan pun membahana.
Tirai akhirnya menutup sempurna.

...

“Kau tau. Kalau saja aku mampu, dan kau mau.. Aku tak akan melepaskan pelukan ini.”

“Sehingga kau tidak pergi tanpa penjelasan lagi.”

Shinta, nama perempuan itu yang sebenarnya. Terisak setelah mendengar ucapan Rama.

“Sungguh. Aku tak peduli kegadisanmu. Bukan hal itu yang membuatmu suci, Ta.”

“Tapi, hatimu.”

Tirai panggung semakin erat menutup. Terasa lambat sekali bagi Rama, seperti berjalannya waktu saat ini

“Seandainya, saat itu kau katakan bahwa kau akan pergi ke pelaminan. Bersama seseorang- yang bukan aku.”

“Seandainya, Ta. Kau tidak pergi tanpa penjelasan.”

Panggung tertutup sempurna.
Tepuk tangan terdengar digaungkan di kursi penonton
Mereka tidak mendengar apapun dari mulut mereka berdua semenjak Tirainya menutup perlahan, microphone sudah dimatikan.

“Aku mau Rama. Aku tak kan pergi, aku akan beri kau penjelasan. Tolong jangan lepaskan pelukannya..”

Shinta berkata dengan suara parau, punggung Rama basah oleh air matanya.

“Tapi, kau bukan lagi Shintaku, Ta. Aku bukan lagi Ramamu. Kau sudah diculik oleh Rahwana- untuk selamanya.”

“Maaf Shinta.”

Rama mengeratkan pelukannya untuk beberapa saat.. Dan perlahan-lahan pelukannya mengendur.
Dia memegang bahu Shinta dengan kedua tangannya, tidak peduli banyak sorot mata diemparkan pemain drama lainnya kepada mereka berdua.

“Aku menyayangimu Ta, sangat. Kau tau, itu akan tetap menyakitkan meskipun kau memberi penjelasan sebelum kepergianmu. Aku sudah memikirkannya dari dulu.”

“Hanya saja, sebelum tirai itu tertutup tadi. Denganmu di pelukanku, aku kembali memikirkannya. Bagaimana jika, setidaknya kau memberi tanda sebelum kepergianmu. Sehingga aku bisa menyadari kehilangan- sebelum dia menampakkan wajahnya di depanku.”

“Maaf aku sudah lancang, kepadamu. Kini kau adalah perempuan orang lain.”

“Meskipun pernikahanmu terjadi karena hilangnya kegadisanmu olehnya.” Rama membisikkan kalimat itu dengan sangat pelan, tapi Shinta merasa seperti hal itu diteriakkan di depan telinganya.

Rama memberi tepukan pelan di bahu Shinta, mengangkat dagunya pelan, menghapus air mata yang seakan tak bisa berhenti mengalirkan air mata walaupun dia sudah tidak meneruskan kalimatnya.

Tiba-tiba tepuk tangan terdengar lagi, kini di atas panggung yang tirainya sudah tertutup sempurna.
Lelaki tua berjenggot tebal mendatangi mereka berdua, menepuk pundak mereka bersamaan.

“Luar biasa. Emosi yang kalian sampaikan begitu nyata. Hey Shinta, kau benar-benar menangis karena dialog Kekeh?”

“Kekeh?”

“Ya. Panggilan bujang lapuk ini dariku, habis dia selalu terkekeh ketika selesai mengucapkan dialog percintaan.”

Rama tersenyum mendengarnya, memang benar adanya. Dia melirik ke arah Shinta dari sudut matanya- perempuan itu terpaku.

“Bagus sekali yang barusan kalian mainkan.”

“Itu bukan......”

“Yang barusan itu pasti dialog ciptaan si Rama. Dia memang sering seperti itu, merencanakan lanjutan dramanya diam-diam dengan lawan mainnya.
Yak semuanya, waktunya Istirahat.”

Lelaki itu memotong ucapan klarifikasi Shinta.
Baik Rama maupun lelaki itu sama-sama memilih untuk tidak mendengarkan penjelasannya.

...

Shinta memandangiku, setelah yang lainnya pergi dari situ meninggalkan kami berdua di panggung dengan Tirai yang Tertutup ini.
Lelaki tua itu masih berdiri di ujung panggung, mengawasi kami.

“Rama aku bisa jelasin tentang pernikahan itu.”

“Ya. Kau bisa, jika aku mau dan mampu mendengarkannya. Tapi aku tidak.”

Dengan langkah cepat aku menjauh darinya. Tidak mampu lagi berdekatan dengannya- ia menggoyahkan hatiku setiap kali menyaksikan tangisannya.
Ayahku benar, perempuan memang seperti itu. Senjata tangisannya, begitu hebat- sehingga membuatku merasa takut.
Aku mendekatkan langkahku ke arah Pak Tua, dia tersenyum memandangiku sembari memilin jenggotnya.
Dia, ayahku.

“Jangan bawa-bawa urusan pribadi di panggung, Keh.”

Aku terkekeh keras.
Berusaha sekeras hati, menahan tangis yang sedari tadi kutahan.

...

(sumber gambar : http://sayaeganingrum.wordpress.com/tag/rama-shinta/)

...

(Sumber dialog drama Rama dan Shinta, diambil dari link ini : http://rizal-nurmansyah.blogspot.com/2013/01/naskah-drama-untuk-acara-perpisahan.html). Dengan perubahan yang seperlunya.)

...


Tyas Hanina


0 komentar:

Posting Komentar