Pages

Selasa, 15 Mei 2018

Punggung Ayam

Pada suatu cerita patah hati yang biasa-biasa saja, hiduplah seorang gadis. Keluarganya tidak bergelimang harta, satu-satunya kemewahan yang ia cicipi adalah sepotong daging ayam yang dihidangkan tiap kali ada perayaan.


“Nak, ini punggung ayam untukmu.”

Pemberian itu selalu ia terima dengan senyum lebar di wajahnya. Hidup tidak lagi masygul.
Sang gadis pun beranjak dewasa, waktu memaksanya mencari peruntungan ke ibukota. Aku mau mencari punggung ayam terenak di sini.

-

Suatu malam yang tidak istimewa, sang gadis makan malam dengan koleganya.

“Santaplah, hidangan spesial di restoran ini.”

Ayam panggang utuh tersedia di meja. Sang gadis mengacungkan jari memberanikan diri, meminta apa yang ia cari.

“Boleh aku minta bagian punggung?”

Para koleganya tertawa.

“Ada bagian dada, paha juga sayap? Kamu malah minta bagian punggung?”

Sang gadis ikut tertawa, lebih renyah dari kulit ayam panggangnya. Ia baru tau malam itu, ada bagian lain selain punggung yang bisa dinikmati.

Entah kenapa, ia merasa kurang bahagia.

-

Sepotong kisah yang kutulis di atas pernah diceritakan oleh Dee Lestari dalam bukunya Rectoverso. Judulnya “Hanya Isyarat”. Aku ingat, kali pertama aku membaca kisah itu, aku masih kelas 2 SMP. Problematika hidup yang kualami mungkin hanya perihal memandang punggung orang yang kukagumi.

Tanpa bermaksud meremehkan kesulitan hidup yang dialami Tyas 7 tahun lalu. Aku kemudian menemukan sudut pandang yang berbeda ketika membaca ulang cerita itu.

Seperti yang Dee katakan, mungkin sang gadis masih lebih berbahagia nasibnya karena tau apa yang bisa ia miliki secara pasti. Kemasygulan hidupku mungkin tidak seberapa, hanya remah roti. Tapi, sialan, memandangi punggung orang selama 5 tahun sangat menyebalkan. Aku tidak pernah tau batasan yang pasti, apa yang bisa dan mustahil aku miliki.

Menjadi tua, (dan mungkin dewasa), aku jadi rutin menafsirkan ulang cerita.

Dulu aku berharap setengah mati, agar si pemilik punggung menengok sekali-kali.
Kini, aku bersyukur sepenuh hati. Tidak ada perayaan yang lebih dari ini.

0 komentar:

Posting Komentar