Pages

Jumat, 25 November 2016

"Nanti kalo gue punya anak.."



“Nanti kalo gue punya anak.. kalo cowok mau gue suruh les masak. Kalo cewek gue suruh les drum.”
“Keren tuh pasti.”




Itulah sepenggal kalimat dari salah satu teman kampusku saat kami sedang break kelas. Keadaannya berbeda jika dibandingkan dengan masa sekolah dulu, kelas kosong atau pun jeda kelas merupakan angin segar bagi para siswa. Kini, kelas kosong atau jeda antar kelas yang terlalu lama saat kuliah kadang malah terasa menjengkelkan. Setidaknya, buatku.
Alasannya.. Ya. Karena seringkali gak tau mau ke mana dan harus ngapain selama waktu kosong itu.
Tapi, memang dasar pemalas.  Aku (dan teman-temanku yg juga pemalas) memilih untuk menghabiskan waktu dengan “Tok-Tok Wow” ke kosan temen. Sekedar membicarakan hal-hal yang tidak terlalu penting seperti alasan kenapa Raisa putus sama Keenan atau seperti siang itu ketika kami membicarakan perihal masa depan, “calon anak” kami.

Namanya, Dira. Sesekali jarinya masih bergerak mencari lagu yang dia inginkan. Kosan yang kami jadikan tempat gegoleran ini sudah disulap menjadi tempat karaoke! PC dengan dua layar dan keyboard on screen, serta extension musicmatch dari google chrome juga turut membantu menghidupkan suasana. Belum lagi, jiwa-jiwa biduan yang sudah melekat betul dalam diri kami.
Mulai dari Baby-nya Justin Bieber hingga Seperti Yang Kau Minta-nya Chrisye. Dari band anyar yang bakal manggung di Singapore yaitu Coldplay hingga lagu baru lelaki yang merupakan figur patah-hati-terbaikku, Gaga Muhammad. Semuanya kami senandungkan.

Ah, back to the main topic.
Mari kita telusuri lebih lanjut ucapan Dira tadi.

*

Sepintas, memang keren ya kedengarannya. Mungkin, kelak anaknya akan terkenal seperti Chef tampan Arnold dan Juna yang sama-sama menjuri di ajang masak bergengsi di salah satu stasiun televisi.
Putrinya, wah tidak kalah keren pastinya! Pasti bakalan beken seperti artis (yang kini tidak lagi cilik) JP Melanix yang merupakan kontestan salah satu ajang pencarian bakat.

Dan, ya. Pernyataan dira sebagai calon orang tua ini juga keren! Karena seakan Dira mau mematahkan persepsi kalau masak itu tugasnya cewek. Dan anak band itu mayoritas cowok.
Ya, okelah, Dir.

Namun, sayangnya aku berbeda pandangan dengan gadis yang ulang tahunnya beda seminggu denganku ini.

*

Kalo aku..
Kalo nanti aku punya anak. Aku mau membimbing dia agar dia tahu sesungguhnya apa yang dia mau.
Aku mau dukung apapun yang dia ingin pelajari. Satu-satunya yang ingin kutekankan hanyalah rasa ingin belajarnya itu. Perihal dia akan mempelajari apa, aku dukung saja.
Mungkin, kelak dia ingin jadi ikan paus.
Atau mungkin ingin jadi pelukis langit.
Apa saja, aku sebagai ibunya, mendukung.

Aku ingin saat dia merasa sendirian, dan seluruh partikel dunia seakan meragukannya.
Akan selalu ada aku, menemaninya dan mempercayainya.
Sebab, kata orang.
Doa ibu adalah restu semesta.

Entahlah, aku sebenarnya tidak benar-benar tahu akan jadi orang tua yang seperti apa aku nanti.
Bagaimana kalau cita-cita anakku ternyata sangat berbeda dari pada yang lainnya? Bagaimana kalau ternyata aku justru yang tidak siap menerimanya?
Ha.. Entahlah. Semoga saja, aku benar-benar menjadi orang tua yang baik kelak.

Namun, sebelum itu. Sebelum kita membicarakan bagaimana kita harus bersikap ketika menjadi orang tua. Atau sebelum kita sibuk mengangankan anak kita inginnya seperti apa.
Ada pertanyaan penting yang mungkin belum bisa kita jawab sampai saat ini.
Apakah kita sudah menjadi anak yang baik bagi orang tua kita?

*

Melihat dari field of experience & frame of reference-ku (halah sok english, sok anak komunikasi aku ini).
Melihat dari apa yang hatiku rasakan dan pikiranku renungkan.
Ayah dan ibuku adalah penyokong terbaikku. Barangkali merekalah definisi rumah yang kemarin ku tanyakan di tulisanku sebelumnya.

Aku tidak pernah disuruh belajar dari kecil. Percaya tidak akan fakta ini?
Kakak perempuanku malahan sangat ingin disuruh, sampai suatu hari menjelang ujian nasional SMA-nya (saat itu aku masih SD) dia bilang begini, “Kenapa sih bapak-ibu gak pernah nyuruh belajar? Gue pengen deh disuruh kaya anak yang lain”.
Berbeda dengannya, aku malah senang keadaannya seperti itu.

Kebebasan yang mereka berikan. Bukanlah suatu tawaran yang tanpa batasan dan tanpa harapan. Menurutku.
Aku memang tidak suka disuruh-suruh, terlebih perihal kegiatan yang menurutku adalah urusanku sendiri. Dan tidak melibatkan tanggung jawabku kepada orang lain.

Sebenarnya, saat aku memasuki usia ini, yang katanya sudah dewasa.
Aku bersyukur sekaligus bingung dengan kebebasan yang kudapat ini.
Aku bingung saat aku ingin mengeluhkan sesuatu. Sekaligus bersyukur karena ada sesuatu yang kukeluhkan.

Ngomong-ngomong, pernah mikir gak sih? Makin kita dewasa, makin susah ketemu tempat buat curhat?

Ya, aku bingung karena apapun yang terjadi saat ini. Mayoritasnya karena pilihanku sendiri.
Tapi, ya, aku juga bersyukur saat semuanya terasa berat dan hanya keluhan yang dapat kuucapkan. Selalu ada Bapak yang menyediakan telinga, pundak, dan pikirannya untukku.

*

Akhir-akhir ini, aku lagi sibuk sama beberapa kegiatan.
Ah, kalau boleh nyinyir sama diri sendiri.
Sepertinya, kesibukan itu hanya kubuat-buat.

Toh, pilihanku kan mau ikut kegiatan atau tidak?

Tapi, aku tidak bisa diam terus. Aku tidak ingin semestaku hanya seputar kampus dan kos saja.
Banyak orang yang memiliki kegiatan yang lebih menyita waktu dariku. Dan malahan kulihat mereka jarang mengeluhkan itu. Kadang, aku malu.
Dengan kegiatanku yang sebenarnya hanya itu-itu saja, aku seperti tidak pernah maksimal mengerjakan sesuatu.

Terus terang, bom waktu-ku meledak hari ini.
Aku merasa capek harus bertoleransi dengan kesalahan-kesalahan yang aku rasa sengaja orang lain buat. Aku sedang tidak ingin berkompromi.
Dan, rasanya ingin angkat kaki dari tanggung jawab ini.

Saat-saat seperti ini selalu aku ceritakan ke Bapak.
What should I do?,” adalah bunyi pesan terakhir yang kukirimkan padanya.

Hubunganku dan Bapak bukanlah hubungan orang tua yang intens chat setiap hari.
Isi percakapan kami bukan pertanyaan 5W+1H seperti saat aku harus menulis sebuah lead berita.
Ada di mana aku, sedang berbuat apa, bersama siapa, dan sebagainya. Kurasa dia tidak perlu tahu, dan kurasa dia pun tidak mau tahu.
Lebih dari itu, isi percakapanku dengannya selalu menyita perhatianku. Aku tidak pernah menulis sejujur dan setulus dibandingkan ketika aku mengirim pesan kepadanya.
Contohnya, saat aku ulang tahun, beberapa waktu lalu. Wah, rasanya itu bukan percakapan yang bisa sembarangan ku buka dengan orang lain.

Bapak tidak pernah bertanya aku sedang apa setiap hari.
Bapak selalu menyapa dengan pertanyaan, “How’s life?”
“Bagaimana semestamu?”
Yang lucunya, sapaan itu selalu datang di saat aku membutuhkan telinga yang benar-benar bisa mendengarkanku.

Seakan intuisinya berbicara, kalau aku membutuhkannya.

Aku sungguh merasa beruntung.

*


“Nanti, kalo aku punya anak, Dir.
Aku mau ceritain kisah superhero yang menurutku paling keren! Gak punya senjata mumpuni, musuh buat dilawan aja gak punya.
Badannya juga gak kuat-kuat banget, boro-boro otot kawat tulang besi. Kadang, masih suka dikerok kalo sakit!
Superhero-nya, Ayahku. Kakek dari anakku.”



Tyas Hanina

Jatinangor

0 komentar:

Posting Komentar