Pages

Senin, 22 Juni 2015

yellow

Imagine this.

Terbangun dari tidurmu, dan hal yang pertama kali kamu lihat adalah, Langit malam.
Dan, hal yang kau jadikan sandaran untuk tidur bukanlah tempat tidur di kamarmu. Tapi sekumpulan bantal dan selimut tebal.
Kamu terjaga dari mimpi indahmu. Namun kamu tidak menyesalinya.
Karena pemandangan yang kamu lihat di sekelilingmu terasa jauh lebih indah untuk sebuah realita.
Bukan tembok kamarmu yang kau lihat. Tapi, suatu padang rumput yang membentang luas seakan tanpa batas, disertai pohon-pohon yang kokoh.
Dan ketika kau mendongakkan kepalamu ke atas. Yang terlihat adalah sekumpulan rasi bintang.
Dan meskipun kamu tidak tau apa-apa tentangnya, kau dapat merasakan keindahannya.
Ya, memang terkadang keindahan ada bukan untuk dimengerti. Tapi dirasakan.




Kamu merasakan bahwa dia sangatlah indah, meskipun kamu tidak benar-benar mengerti di mana keindahannya.
Bukan, bintang yang ku maksud.
Tetapi seseorang yang tengah berbaring melamun di sebelahmu. Matanya yang hitam gelap, kini bersinar oleh cahaya bintang.
Dan mata itu menatapmu. Sembari melengkungkan senyumnya.
Dan lalu kau bingung.
Mana yang lebih indah...
Kedip bintang di langit, atau kerjap bola mata hitamnya.
Mana yang lebih indah...
Lengkungan bulan sabit di atas, atau selengkung senyum di bibirnya.

Lalu kau memilih untuk tidak memperdulikan pertanyaan yang kau lempar pada dirimu sendiri.
Dan memilih untuk menggenggam tangannya erat.
Atau justru memeluknya.

Karena kini, telah kau sadari.
Bintang memang indah, namun ia jauh. Dan meskipun ia terlihat kecil dari bumi, sesungguhnya ilusi mata yang membuatnya terlihat begitu. Dia hanya jauh. Namun sebesar apa ia, kamu tidak tau,.
Sedangkan, orang di sebelahmu itu..
Dia dekat denganmu, bahkan bahunya kini bersentuhan dengan bahumu. Jarinya kini bertaut dengan jarimu. Dan matanya meskipun begitu dalam, telah menarik jiwamu semakin dekat dengannya.
Dan, kamu berharap. Bahwa semua yang kau rasakan tentangnya bukanlah ilusi. Bukanlah suatu permainan belaka, yang kelak menyebabkan kamu harus berpisah dan akhirnya jauh dengannya.
Yang menyebabkan sosoknya yang besar bagimu, kini terlihat kecil karena hubungan kalian yang semakin jauh.

...
POV : HIM

“jam berapa ya kira-kira sekarang?”

Monolog dalam pikiran gue langsung terhenti. Mungkin udah ada beberapa paragraf yang dapat gue tulis berdasarkan isi monolog gue tadi.
Perempuan di sebelah gue sepertinya tidak tau hal itu.
Tapi, ah sudahlah. Dialog bersamanya harus gue utamakan dibanding monolog kepada diri gue sendiri.

“apa kamu benar-benar butuh untuk tau petunjuk waktu?”
“gak juga sih.”
“terus?”
“ya... Cuma mikir kira-kira jam berapa ya sekarang, bintang-bintangnya masih terang begini.”
“sekarang udah lewat tengah malam.”
“hah? Serius? Kayanya setiap kali aku gak tidur dan liat jendela apartemen lewat tengah malam gitu, nyalanya gak seterang ini.”
“karena polusi cahaya..”
“ya ya ya aku tau.”

Lagi-lagi, pertanyaan retoris. Dia lumayan sering nanya hal yang dia sendiri udah tau jawabannya. Gue juga gak ngerti kenapa, tapi gue menikmatinya.

                “lewat tengah malamnya jam berapa sih?”

Gue menghembuskan nafas pelan, dan menatap dia yang tengah menatap langit yang sedang menatap kami berdua.

“Aku juga gatau tuh.”
“Ih tadi kamu bilang jam segitu.”
“haha aku juga cuma ngira-ngira.”

Dia ngeliat gue sekilas, dan memperlihatkan senyum mengejeknya.

“tadi waktu kita nyampe sini, aku sempet liat hape. Itu kira-kira pukul 11.”

Gue pun menjelaskan padanya, bahwa omongan gue tadi gak sepenuhnya ngasal.
Setelah perjalanan yang memakan waktu berjam-jam. Parkir mobil di padang rumput ini.  Pasang bantal dan selimut di bak pick up. Kami sempet ketiduran, yang gue gak tau berapa lama.

                “lho, kamu nyalain hape?”

Aduh ini dia nih. Kadang dia suka salah fokus sama apa yang gue omongin. Kalo ada hal yang dia gak suka aja pasti dia langsung bahas.

                “udah aku matiin kok..”

Ya... kami berdua emang buat kesepakatan buat gak ngaktifin ponsel masing-masing. Sehingga kami benar-benar menghabiskan waktu berdua, dengan stargazing dan ngobrol. Atau tiduran tanpa ngelakuin hal yang “macem-macem” kaya tadi.
Kami gak pengen, waktu yang kami habiskan berdua tersita oleh layar handphone. Chatting sama orang lain, main game, update social media, dan lain-lain.

                “tau gak?”

Gue gak menjawab pertanyaan lewat lisan. Gue melepas genggaman tangan gue dari dia, dan memilih merangkul bahunya.

                “beberapa bucket list aku tercapai.”
                “pergi ke entah berantah. Yang sumpah sekarang aku tuh bener-bener gatau kita lagi di mana, satu-satunya petunjuk tempat ini adalah dekat sama rumah saudara kamu.”
                “pergi ke entah berantah. Dan sama sekali gak khawatir akan apapun.”
                “stargazing. Aku lihat langit malam, dengan tumpahan bintang di sana.”
                “and the last but not least. Dan ini yang bener-bener best from the best kayanya hahaha.”

Dia tiba-tiba tertawa, dan walaupun gelap gue dapat melihat lesung pipinya dan kilatan di matanya. Ada jeda beberapa detik sebelum dia melanjutkan ucapannya.

                “ini bakal kedengeran cheesy banget. Tapi.. akhirnya aku nemuin seseorang yang bersedia wujudin bucket list aku. Seseorang yang buat aku siap untuk wujudin bucket list dia. Seseorang yang bikin aku diem-diem bikin bucket list tentang kami berdua.”
                “dan itu kamu.”

...

POV : HER

Dia tertidur beberapa saat setelah kami selesai menata bantal dan selimut tebal di bak mobil pick upnya.
Perkiraanku, dia kelelahan. Karena mengendarai mobil dalam jarak yang lumayan jauh, yah meskipun aku pun tidak tau di mana tepatnya kami berada saat ini.
Sebelum tidur, ia memandangiku tepat di bola mata. Lalu memandang langit berbintang.
Lalu ia tersenyum, dan memejamkan mata.
Entah apa yang ia pikirkan. Yang pasti, isi pikirannya selalu menarik untuk ku ketahui.
Meskipun, lebih sering aku memilih untuk diam dan tak bertanya apa yang ia pikirkan.

Aku tidak tau seberapa lama ia jatuh ke dalam mimpinya. Namun, di realita.
Aku sangat menikmati, berada di sisinya seperti sekarang ini.
Memandangi wajah tidurnya yang begitu damai. Bahu kami yang bersentuhan. Dan langit malam bertabur bintang lah yang menyaksikan kami berdua.
Aku mencoba tidur, tapi aku tak bisa. Aku merasa terlalu bahagia.
Pergi ke entah berantah.... memandangi langit berbintang. Merupakan salah dua dari beberapa keinginanku.
Dengan seseorang, yang tanpanya mungkin aku tidak dapat mewujudkan dua keinginan tersebut.
Dengan seseorang, yang bersamanya aku bersedia untuk mewujudkan keinginannya dan keinginan kami berdua.
Dengan dia. Lelaki yang kini tengah tertidur di sampingku.
Yang walaupun ia tengah tertidur, aku tetap merasa dia menjagaku. Aku merasa sangat aman dan nyaman dengannya.

Aku memainkan rambut keritingnya dengan ujung jariku. Memandangi wajahnya.. alis matanya yang tebal, bulu bulu halus di dagunya, hidungnya yang kecil namun mancung, rahangnya yang tegas, bibirnya yang merah dengan sudutnya yang naik ke atas- menandakan bahwa ia murah senyum.
Kemudian, aku merasakan bahwa dia akan segera terjaga dari tidurnya. Jadi kembali kulemparkan pandanganku ke langit malam, merasa malu karena sudah memandanginya wajahnya begitu dekat secara diam-diam.
Kulirik ia dari sudut mataku, kini bola mata cokelatnya berkilat oleh terang cahaya bintang. Walaupun gelap, dapat kulihat ia tersenyum. Alis tebalnya bertaut.
Aku tau ia sedang memikirkan sesuatu. Dan sedang bermonolog dengan dirinya.
Yang meskipun aku tidak tau apa itu, aku membiarkannya berbicara dengan dirinya sendiri di dalam pikirannya.
Tiba-tiba jemarinya meraih jemari tanganku.
Dia bergumam pelan.
Dan aku menerka, bahwa ia sudah menyelesaikan monolog itu.
Lalu aku mencoba untuk membuat dialog dengannya.

“jam berapa ya kira-kira sekarang?”

...




Look at the stars.
Look how they shine for you.
And everything that you do.
Yeah, they were all yellow.




Tyas Hanina

0 komentar:

Posting Komentar