Pages

Sabtu, 18 November 2017

tentang lima tangkai mawar biru tak bertuan

Sudah layu.
Sedikit kecewa meski tahu benar usianya tidak akan panjang.
Padahal dia datang bersama selipan doa untuk usiaku yang sudah satu dasawarsa.

...

Aku heran sekali waktu ada yang datang, mengetuk pintu lewat sebaris obrolan singkat di LINE, tau-tau membawa kabar bahwa ada yang memberiku bunga.

Kok bisa-bisanya ada yang iseng mengirimiku bunga? Sebagai hadiah ulang tahun pula?
Begitu sampai kamar, aku langsung meletakannya di atas meja dekat jendela yang hampir tidak pernah kubuka. Secarik kertas berisi 3 potong kalimat pendek aku ambil dari dalam plastiknya, aku letakkan di kotak surat sebagai pengingat.

Lucu, ternyata ada orang yang mengingatku waktu lihat mawar biru.

...

"Kalo ampe ada yang ngasih lu bunga, gue ketawa banget sih yas."
"Gue aja gak suka bunga."
"Iya, makanya! Kasihan yang ngasih."
Percakapan singkat itu masih terekam di ingatanku, kala itu aku masih pake rok abu-abu.

Aku selalu merasa orang-orang terlalu meromantisasi bunga. Apalagi mawar.
Kalau-kalau aku punya kuasa untuk memilih hadiahku sendiri. Aku akan memboikot bunga mawar dari daftar pilihannya.

Aku sampai sekarang masih gak tahu bunganya harus ku apakan. Disimpan terus sampai kelopaknya gugur satu-satu kah? Diawetkan pakai formalin kah? Dilaminating tiap kelopaknya kah? Atau dengan penuh kesia-siaan dan harapan dia akan tumbuh lagi, aku kasih minum air dingin setiap hari kah?

Tapi, dia toh udah mati kan, kala pertama orang ini memutuskan bahwa mawar ini menjadi hadiah ulang tahunku. Sudah mati, diwarnai pula mayatnya, aduh! Aku merasa bersalah.
Karena itu, aku ingin mengabadikannya lewat tulisan.

...

Dasar, gak tahu terimakasih!

Tunggu dulu, jangan ajak aku berdebat. Logikaku sedang kepayahan untuk mengeluarkan argumen dengan runut. Aku lagi-lagi hanya bisa memborbadir kamu (yang mungkin pengirim iseng ini) dengan perasaanku yang coba kususun rapi lewat paragraf.
Sulit menulis sesuatu ketika senang. Karena itu, aku tidak menuliskan surat balasan ini pada hari itu.
Teman-temanku sibuk membuat kuis tebakan siapa pengirimnya. Mungkin si anu Yas yang suka dengerin siaran radiomu, mungkin si ono Yas yang bikin kamu kehujanan di hari ulang tahunmu.

Huh, sok tahu! Aku saja gak mau cari tahu.
Orang dia udah susah-susah kok menyembunyikan identitasnya makanya gak nyantumin nama, mbok ya, usahlah diikut campuri rahasianya ini.
 ...

Suratmu masih suka kubaca berkali-kali.
Hangat sekali ucapan selamat ulang tahun yang terkesan terburu-buru dan dibubuhi tanda seru itu.
Aku masih kesulitan untuk merawat bungamu yang kian layu, maafkan aku.

Guru IPAku waktu SD pasti kecewa melihatku yang tak mampu menjaga kelestarian lingkungan.
Habis ini, aku pasti dikasih pekerjaan rumah, disuruh nanem tauge di dalam kapas.
Sedikit lega, karena aku sudah jadi anak kuliahan.

Maaf ya, aku suka ngobrol ngalor ngidul lewat tulisan. Aku tadinya hanya ingin mengucapkan sepaket terima kasih agar pemberianmu bisa abadi.

Ngomong-ngomong, aku ingin titip pesan.
Lain kali, jangan kasih aku bunga mawar, aku sebenarnya lebih suka bunga matahari. Dulu biru memang warna favoritku, tapi kini aku lebih sayang warna kuning.

Haha. Ngelunjak ya. Makin nyesel gak udah buang-buang uang jajanmu demi aku dan bukannya buat beli siomay?





Tyas Hanina

0 komentar:

Posting Komentar