Pages

Minggu, 19 November 2017

Resensi Buku "Pagi yang Miring Ke Kanan"



Antalogi Cerpen Tentang Kebebasan

Sumber gambar: bukalapak

Judul: Pagi yang Miring Ke Kanan
Penulis: Afrizal Malna
Cetakan: Cetakan Pertama, Mei 2017
Penerbit: NYALA
Halaman: 267 halaman
Harga: 75.000







“Aku sedang mencari nama untuk tiga orang tokoh dalam cerpen ini. Apakah nama Jawa, Cina, Arab, Barat atau nama India?”
Pertanyaan yang Afrizal berikan pada cerita pendek (cerpen) pertama yang berjudul “Renovasi dalam Cerpen” ini menyapa pembaca. Belum apa-apa, Afrizal sudah memberikan ruang interaksi juga diskusi secara tertutup kepada pembaca. Hal ini menjadi ciri khas dari tulisan Afrizal, dia berani untuk bertegur sapa bahkan bertanya pendapat orang-orang yang membaca bukunya.
Dalam cerpen di urutan pertama ini, Afrizal akhirnya menentukan sendiri nama ketiga tokoh tersebut walau hanya inisialnya saja. Ketiga tokoh itu adalah S, D, dan A yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Ah, ralat, tokoh-tokoh ini langsung menentukan nama mereka sendiri dalam halaman pertama cerpen. Seakan memberikan isyarat yang mengancam kepada Afrizal bahwa akan sangat sulit untuk mengatur tokoh yang ia tulis sendiri.
Afrizal menuturkan kecemasannya tentang tulisannya sendiri. Katanya, ia tidak yakin dan mencurigai bahwa ketiga tokoh ini bukanlah materi untuk kalimat-kalimatnya. Singkat cerita, ia dan ketiga tokoh tersebut akhirnya pergi bersama-sama ke suatu museum di Berlin. Setelah merasa lelah akan ketidakmampuannya untuk mengatur jalan cerita, Afrizal (di dalam cerpen) duduk di halte menunggu ketiga tokoh yang ditulisnya. Penutupnya, mereka berempat pergi naik bis. “Aku baru menyadari, bis itu berjalan tanpa supir. Dan terus berjalan, hingga kini”.
Narasi yang ada dalam penutup cerpen pertama “Renovasi dalam Cerpen” ini berperan penting untuk menentukan arah ke mana buku ini akan sampai. Kebebasan adalah hal yang ditawarkan Afrizal kepada pembaca untuk menafsirkan cerita-ceritanya sendiri. Dia menganalogikan dengan bus tanpa supir, bahwa dia sebagai orang yang menulis ceritanya sendiri pun tak mampu untuk membawa makna dalam ceritanya. Namun, walau begitu ceritanya akan terus berjalan dan kata-kata akan menemukan maknanya sendiri. The Death of Author, mungkin adalah istilah yang tepat untuk menggambarkannya. Seorang penulis akan “mati” usai ia mempublikasikan tulisannnya, tugasnya untuk menyampaikan cerita telah selesai dan selanjutnya menjadi hak pembaca untuk bebas untuk memaknai tulisannya.
Kebiasaan Afrizal untuk berinteraksi baik dengan pembaca atau pun tokoh yang ia tulis dalam cerita juga terlihat dalam bukunya yang lain. Contohnya, dalam buku Lubang Dari Separuh Langit. Di buku tersebut, bahkan Afrizal nekat untuk bertukar posisi dengan tokoh yang ia tulis sendiri, seorang jurnalis yang tinggal di pemukiman kumuh. Seakan Afrizal dihukum karena sudah berani menulis berbagai tragedi dan kemalangan yang menimpa si tokoh, dan terpaksa harus merasakannya sendiri.
Unik dan nyentrik. Begitulah kesan yang saya tangkap dari tulisan-tulisannya Afrizal. Dari 23 cerpen di buku ini, ada beberapa yang masih sulit saya pahami maksudnya. Menurut saya, buku ini terbagi menjadi dua. Di awal buku, cerita yang dia sajikan cukup ringan dan sarat makna, seperti cerpen “Pengakuan Teater Palsu”, “Terhempasnya Huruf “f””, dan “Incogni-type lalu Tas Kosong”.
Mulai dari cerpen “Pagi yang Miring Ke Kanan”, Afrizal mengeluarkan cerita yang cukup njelimet alias membingungkan. Beberapa cerpen yang cukup aneh tersebut adalah “Pagi yang Miring Ke Kanan”, “Arsip Aku di Kedalaman Krisis”, “Seseorang yang Lahir dari Hujan”, “Bintang-Bintang Membuat Kerang di Punggungku”, dan “Hantu Berkepala Botol”.
“Pagi yang Miring ke Kanan” adalah cerpen yang penting dan juga menjadi judul dari buku antalogi cerpen ini. Bercerita tentang suatu pagi yang biasa-biasa saja, seorang tokoh yang bernama Naryo berangkat ke suatu Sekolah Dasar (SD) yang sedang membuka bazar untuk apresiasi seni. Naryo menggelar lembaran-lembaran kanvas kosong ukuran sekitar 40 x 40 CM bersama dengan kertas-kertas gambar dan peralatan gambar lainnya seperti spidol, kuas lukis, dan botol-botol cat air. Beberapa anak SD yang bersekolah di sana mulai masuk dan melukis di lembaran-lembaran gambar tersebut. Tika, teman Naryo yang ikut membantu, menginstruksikan kepada anak-anak itu untuk melukis apa saja tanpa perlu dipikirkan.
Kegiatan corat-coret itu penting bagi Naryo karena bisa menghadirkan kebebasan. Bagaimana mereka bisa merasakan bidang kosong mulai diisi dengan aneka warga, garis, juga sapuan. Komposisi lukisan menjadi tidak penting lagi. “Kamu tahu, maksudku, kebebasan adalah jalan terbuka untuk mereka memilih,” ucapan Naryo itu kemudian menutup cerita.
Dalam cerpen itu tidak ada sama sekali topik yang menyinggung tentang sesuatu yang miring ke kanan. Saya sampai sekarang masih agak bingung dengan pemaknaannya, walau cukup terhibur dengan alur ceritanya. Afrizal dengan lincah mendeskripsikan pagi itu. Bagaimana keriuhan jalanan dirasakan oleh kelima indera di tubuhnya. Ini juga menjadi ciri khas dari tulisan Afrizal, ia menulis dengan sangat deskriptif bagaimana suasana latar belakang ceritanya. Biasanya akan lebih abstrak lagi di puisinya, seperti pada puisi “Konser Api Rangitunoa Black” di buku kumpulan puisi Kalung dari Teman. Dalam cerpen, Afrizal lebih jelas memberikan deskripsinya mungkin karena ditambah narasi sehingga pemahaman pembaca pun dipermudah. Dia bisa melihat hal-hal yang luput dari perhatian orang lain ketika mengamati sesuatu. Seperti bagaimana sebuah lembu yang nyasar ke kota, noda hitam di nota, dan sebagainya.
Cerpen paling berkesan sekaligus aneh yang saya baca di buku ini adalah “Kota Tanpa Toak”. Terus terang, saya tidak paham tulisan ini, bahkan membacanya saja tidak bisa. Sebanyak 20 halaman, cerpen ini hanya berisi tulisan yang terkesan ngasal, entah apa itu, apakah sandi pemrograman komputer atau puisi yang tidak mampu saya baca. Isinya hanya kumpulan huruf dan angka juga tanda baca yang diketik secara tidak beraturan. Afrizal menutup tulisan “aneh” ini dengan tiga kata. “Viral, Viral, Get Out”.
Cerpen lainnya yang perlu mendapat apresiasi adalah “Terhempasnya Huruf “f””.Sarat akan sejarah dan sentilan kehidupan. Latar belakangnya di Lampung. Epilognya epic! Sang tokoh utama meminta untuk dihapus dari cerita. Sempat bingung karena tiadanya distingsi antara cerita satu dengan cerita lainnya atau sudut pandang tokoh anu dengan sudut pandang tokoh ono, tapi ternyata tidak hanya di cerpen ini saja Afrizal melakukan atraksi semacam ini. Dalam beberapa cerpen lainnya di buku ini juga sama.
Saya suka cara Afrizal mengapresiasi karya penulis atau penyair lainnya. Biasanya, ia menjadikan kawan sejawatnya itu sebagai tokoh dalam ceritanya. Mereka akan bertemu lalu bercakap-cakap. Lalu, hidup yang tadinya biasa-biasa saja jadi luar biasa anehnya. Afrizal juga selalu mencantumkan inspirasi tulisannya yang berasal dari penulis lainnya itu di bagian akhir tulisannya. Jadi sekiranya pembaca tertarik dengan tokoh tersebut, bisa mencari tahu lebih lanjut tentang mereka juga tulisan-tulisannya.
Sampul buku kumpulan cerpen ini cukup menarik mata. Gambar piring dengan urutan huruf dan angka di sekitarnya terasa unik, juga halaman pertama dan terakhir buku yang hanya berisi selembar kertas polos berwarna kuning. Secara keseluruhan, buku antalogi cerpen karya Afrizal Malna ini sangat menarik untuk dibaca. Pembaca akan masuk ke dalam dunia yang biasa-biasa saja, sekaligus masuk ke pikiran penulisnya yang ada-ada saja. Afrizal mendapatkan apreasiasi dari buku ini sebagai 10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa ke-17 di kategori Fiksi. Well done!

0 komentar:

Posting Komentar