Pages

Minggu, 19 Februari 2017

Chapter Two



Kepalaku tak lagi jadi taman bermain yang asik,
Akhir-akhir ini jadi terlalu berisik.

Wahana-wahananya bikin mual,
Berputar-putar hingga kepalaku rasanya ingin kupenggal.



Aku ingat pernah menulis begini,
Bahwa tulisan adalah mesin waktu yang kita ciptakan sendiri.

Sayangnya, kini aku harus melawan kata-kataku itu.
Aku tidak lagi merasa begitu.

Menengok tulisan-tulisan lamaku seakan membaca kisah orang baru.
Siapa itu?
Aku kenal betul segala latar yang dipakai, serta hafal benar segala dialog.
Namun, sialan. Aku sadar, tidak dapat lagi hidup di sana.

Aku benci mengakui, bahwa aku takut akan perubahan.

Menjadi dewasa tak ayalnya menjadi seorang bunglon.
Kamu harus selalu siap mengubah warna tubuhmu di segala situasi.

Terlebih, kenyataan bahwa ekosistem terkadang begitu kejam.
Tak peduli kamu lelah berganti-ganti warna, tak peduli kamu benci warna biru, tak peduli kamu sayang warna kuning.


“…Dewasa tidak datang pada batasan umur tertentu.”
-Tyas Hanina, saat masih lugu-

Ada beberapa pertanda seseorang menjadi dewasa menurut beberapa bacaanku yang tidak seberapa.

Salah satunya yang paling kuingat adalah keberanian untuk membeli pakaian dalam sendiri. Kelihatannya sederhana dan konyol sekali, ya?
Namun, kenyataannya hal ini bukan perkara mudah untuk semua orang. Masih ada teman-temanku yang merasa malu dan tidak tahu harus bagaimana saat membeli pakaian dalam.
Aku sudah membeli pakaian dalamku sendiri sejak SMA. #WOWFakta
Bukan suatu hal yang membanggakan.
Hanya saja, menurutku.. Pakaian dalam adalah kebutuhan primer setiap orang dan tidak perlu merasa malu untuk membeli itu. Kalo gak tahu ukuran yang pas atau bahan yang enak, ya nanya. Itulah fungsi pegawai pakaian dalam.

Ngomong-ngomong,

Waktu SMP, seorang teman dekatku pernah menganalogikanku dengan pakaian dalam.
Katanya karena sikapku yang hangat pada semua orang, dibutuhkan setiap orang, dan unik.
(Aku sempat senang karena pujiannya lalu ingat bahwa pakaian dalam itu dipakai di selangkangan. Semoga aku tidak bau.)

Jika tumbuh menjadi dewasa dianalogikan dengan pakaian dalam.

Mungkin, maksudnya begini :
Kita semua dikenalkan dan akrab dengan pakaian dalam sejak kecil. Hingga akhirnya, pakaian dalam tumbuh mengakar di dalam diri kita.
Tanpa kita sadari, kita tumbuh bersamanya. Ukurannya berkembang. Selera kita pun menjadi bercabang.
Menjadi remaja, aku tidak lagi suka yang berenda. Pilihan warna pun menjadi hal yang penting adanya.
Aku tidak peduli orang lain memiliki selera yang berbeda denganku, aku tidak suka dipaksa untuk menyukai pakaian dalam yang berbahan beludru.
Orang-orang bilang pakaian dalam wanita itu wajarnya warna merah jambu. Dan pria itu warna biru. Tapi, aku tidak mau tahu. Bagiku, pakaian dalamku ya pakaian dalamku. Urus saja pakaian dalammu.

Pakaian dalam adalah pikiran kita.
Sejak kecil pikiran kita dikenalkan dengan berbagai macam pemikiran. Semakin banyak orang yang kita temui, semakin banyak pikiran yang kita selami. Semakin berkembang ukuran “pakaian dalam” kita, makin bercabang pula lah ia!
Waktu remaja, aku pernah patah hati karena katanya oh katanya pikiranku sulit dimengerti. Cih!
(Aku tidak akan mengubah diriku dan menyederhanakan pikiranku hanya karena kamu tidak bisa memahamiku, mz.)
Sama seperti pakaian dalam, aku tidak nyaman kalau punyaku dilihat orang sembarangan. Aku yang cengengesan dan suka lelucon-lelucon rendahan ini sebenarnya sangat serius ketika memikirkan sesuatu.
Pikiranku adalah labirin yang akan membuatmu tersesat, aku saja tidak mampu membuat petanya.
Karena kerumitanku itu aku ingin sederhana saja memandang “pakaian dalam” orang lain. Aku menghargai apa-apa yang dikenakan oleh mereka. Aku benci motif renda, kamu suka? Oh, tak apa.
Kita semua memiliki selera dan kenyamanan yang berbeda tentang “pakaian dalam” yang kita kenakan setiap hari.
Aku dan kamu, tidak perlu menjadi seorang bajingan yang memaksa orang lain untuk menyukai “pakaian dalam” dengan motif yang sama.

Bagiku, inilah salah satu pertanda dewasa.


Begitulah cocoklogiku tentang dewasa dan pakaian dalam.
Urusanmu, mau kamu maknai seperti apa. Bukan urusanku.

Urusanku sudah terlalu banyak.
Tugas yang merengek minta dikerjakan, dan (lagi-lagi) kesibukan yang ku buat-buat.

Gapapa, deh.

Ada yang bilang di paruh kedua hidupmu, alia usia dua puluh.
Kita harus perbanyak kegiatan yang memperkaya diri sendiri.
Entah akan jadi seperti apa, tapi aku sedang berusaha.

Banyak sih, orang seusiaku yang udah jadi konglomerat. Punya kesempatan ke luar negeri, ikut lomba debat sana-sini. Mereka hebat. Sukses berat.

Sedangkan aku yang katanya suka menulis ini tak satupun tulisannya berhasil masuk media cetak.
Ya iyalah gak pernah ngirim.
He.

((Yaelah, ngomongin berita naik cetak, kerjain aja dulu apre abang!))




Jatinangor,
Tyas Hanina




P.S
Aku tahu, tulisan tentang pakaian dalam ini membuatmu mual. Nikmati saja ya wahana di dalam pikiranku ini?

0 komentar:

Posting Komentar