Pages

Senin, 27 Juni 2016

Harumnya Nostalgia dan Perbedaan



Malamku tersusun oleh seracik percakapan dengan bumbu-bumbu kerinduan dengan beberapa orang teman di masa sekolahku yang kutinggalkan dua tahun silam.
Tidak banyak yang berubah dari mereka. Bahkan rasanya sama saja. Jika kita membicarakan perihal fisikal.
Namun, aku yakin. Benturan-benturan yang terjadi di hidup mereka (sepengetahuan atau tanpa sepengetahuanku) membentuk mereka. Menjadi sesuatu yang berbeda.
Mungkin, aku juga seperti itu.

Beberapa dari mereka masih ku curi dengar perihal semestanya, lewat percakapan-percakapan di aplikasi chat. Beberapa hanya ku cari tahu dari hal-hal yang mereka bagikan di media sosialnya. Beberapa menghilang begitu saja, menguap bersama kesibukan di semestanya (dan muncul kembali malam ini!).




...

Salah satunya, ada yang baru saja menyelesaikan pendidikan kepolisian tujuh bulan silam. Ia adalah satu-satunya orang di ruangan ini yang kulihat perubahan fisiknya. Dulu dia berisi, jika tidak ingin kusebut gemuk. Kini, otot lengannya begitu kekar seperti iklan susu pria dewasa. Lucu melihatnya mengenakan kaus berwarna merah muda yang ketat. Lalu, kuingat perjuangannya menjaga pola makan dan olahraga rutin ketika SMA dahulu. Ia jadi makin terlihat lucu.
Kami sempat bercakap-cakap seputar profesinya yang baru, pak pol. Ah, sebaiknya tak usah kusebut di mana tempat ia biasa bertugas. Namun, dari bibirnya mengalun kisah yang baru ku ketahui malam ini saja.
Satu hal yang buatku menyerngitkan dahiku adalah komentarnya tentang pendidikan yang ku jalani saat ini, sebagai seorang jurnalis.
Ah, kerjanya cuma nanya-nanya doang”.
Aku hanya tertawa perlahan.

...

Salah seorang teman memecah percakapan dengan keluhannya. Ada telepon masuk dari orang tidak dikenal. Berulang-ulang. Cukup mengganggu memang.
Mencoba membantu sebisa yang ku mampu. Kuangkat teleponnya karena sepertinya kewarasannya hilang oleh rasa panik yang terlalu.
Ternyata, hanya suara dari operator. Entah bagaimana. Memberitahukan sederet angka verifikasi untuk alamat surelnya. Kucatat nomornya, dan dugaanku akunnya sedang dicoba untuk dibobol oleh entah siapapun itu.
Kusarankan padanya untuk mengganti seluruh kata sandi media sosialnya (yang tidak terlalu banyak jumlahnya). Saat dia sedang berusaha mengingat kata sandi akun twitternya, seorang temanku berkata,
“Lah lu masih main twitter?”
Lalu, aku teringat sesuatu.  Beberapa waktu yang lalu, ada yang bertanya dengan nada yang bagiku meremehkan.
“Zaman sekarang masih ada emang yang main twitter?”
Aku hanya tersenyum simpul sebagai responku.

...

Temanku yang lain, tahu benar bagaimana membuatku terhanyut dalam percakapan.
Ia membahas film.

Ku ceritakan padanya salah satu film buatan lokal yang ku rasa bagus. Namun, tidak untuk teman menontonku saat itu.
Kami menontonnya sekitar bulan Februari lalu. Aku sempat menulis ulasan film itu, tapi rasa malas membuatku urung untuk melanjutkannya.
Bioskopnya tidak terlalu ramai, kalau tidak ingin kusebut sepi sekali.
Terus terang, aku sangat menunggu film ini sebelumnya. Dan, aku tidak terlalu kecewa dibuatnya.
Awalnya kukira ia akan menyukainya, ternyata aku keliru. Namun, aku tidak kecewa karena ketidaksukaannya itu.
Ia berkata dengan nada yang bagiku meledek,
‘”Oh, jadi gitu ya selera film lu.”
Namun, lagi-lagi. Aku hanya merespon dengan diamku.

Temanku yang mendengar cerita ini menjadi gusar lalu mengucapkan kalimat yang berdengung di kepalaku hari itu.
“Emang ada yang salah ya sama selera yang beda?”

...

Sebenarnya, ada banyak kutipan percakapan kami malam ini, yang ingin kutuliskan di sini.
Namun, aku rasa cukup sampai di sini saja.
Ada beberapa yang terlupa, ada beberapa yang baiknya disimpan di kepala.

Bagiku, bertemu dan bercakap-cakap dengan teman lama selalu menyenangkan.
Aku suka harum nostalgia yang memenuhi ruangan.
Aku suka berbagi tawa tanpa jeda.
Aku suka bagaimana pun bentuk pernyataan dan pertanyaan yang keluar dari lidah mereka.

Bagiku, seorang teman bukanlah seseorang yang harus sama di segala sisinya denganku.
Aku suka bagaimana pikiran-pikiran kami berbentur dalam percakapan.
Aku suka menyadari bahwa begitu banyak perbedaan.
Aku suka bagaimana kami tidak mempersalahkan itu semua.

Biarlah, tak apa.
Mereka tidak mengetahui bagaimana semestaku secara lebih luasnya. Tidak paham betul bagaimana aku mencintai pendidikan dan profesiku kelak.
Tak apa, mungkin aku juga begitu. Acapkali menilai sesuatu sebelum aku benar-benar mengenalnya.

Bukan masalah.
Apabila bagi mereka sesuatu itu sudah ketinggalan zaman.
Namun, bagiku justru tak lekang oleh zaman.
Kumpulan kicauan itu bagi mereka basi. Padahal kalau mereka menyadari..
Segala informasi tercepat, segala jokes terhebat. Yang mereka lihat di media sosial lain. Itu berawal dari sana.
Tak apa, mungkin mereka sudah merasa tidak nyaman. Atau justru aku yang terlalu terjebak oleh zona nyaman.

Perihal selera.
Biarlah tak usah diperdebatkan.
Masih banyak hal penting yang bisa kita bawa di meja debat atau orasikan.
Bukan perihal film mana yang paling apik atau band mana yang paling keren.
Itu, pemerintah yang katanya gak becus.
(Kalau kata salah seorang teman yang gak hadir malam ini sih, mending didemo sekalian.)
Lagi-lagi, tak apa. Mungkin mereka terlalu cinta dengan apapun itu selera mereka. Ya, aku juga cinta pada apapun yang menjadi seleraku. Namun, mungkin hanya cara kami mencinta yang berbeda.
Bagiku seleraku, bagimu seleramu.

...


Ah, aku menyadari satu hal.
Cara pikirku makin rumit saja.
Ngobrol ngalor-ngidul aja kok sampe ditulis di blog.
Ribet.


Tyas Hanina

0 komentar:

Posting Komentar