Pages

Selasa, 24 Desember 2013

Yang sudah pulang.


Well, gue lagi kangen banget sama mamah.

Shubuh tadi gue terbangun, dengan dada berdebar kencang. Dan keringat dingin di dahi dan sekujur tubuh.
Gue memang sedang terkena demam sejak kemarin malam- selepas pulang main dengan teman.
Sebenarnya sejak pagi gue sudah merasakan gejala-gejala akan sakit, nafas yang panas, kepala yang berat, dan lidah terasa agak pahit. Tapi, janji adalah janji kawan. Lagipula gue pengen main.

Iya. Lagi-lagi gue sakit pas liburan.

Mungkin kalau mamah belum pulang, beliau akan menyadarinya hanya dengan melihat air muka gue. Dan beliau akan mencegah gue untuk pergi, menyuruh gue untuk diam di rumah- meskipun dia tau benar bahwa cucu bungsunya ini sangat keras kepala dan akan tetap pergi.
Dan  malamnya, beliau akan menyediakan sisi kosong di tempat tidurnya. Membiarkan gue berbaring disana, dengan segelas teh manis hangat untuk gue nikmati. Dan saat gue tertidur, beliau akan memijiti tubuh gue dan menaruh kompres air dingin di dahi gue.
Kemarin malam, gue sangat merindukan hal itu. Dan rindu itu terasa sakit, mengingat gue tidak akan dapat merasakannya lagi- dengan sentuhan yang sama.

Shubuh tadi, gue terbangun dari mimpi yang menampilkan dia sebagai salah seorang “bintang tamunya”.
Mimpi itu terasa nyata, tapi gue tau itu mimpi. Pernah gak ngerasain mimpi yang seperti  itu? Rasanya membingungkan.
Di mimpi, gue sedang tidur di kamar Ibu. Dan ada suara ketukan pintu, saat gue membukanya. Ada Mamah di sana, dengan setelan kebayanya. Dia menyapa gue, gue merapal doa.
Tapi dia tidak pergi, seperti (yang gue baca) bahwa makhluk halus akan pergi setelah dibacakan doa seperti itu.
Dia tetap di sana. Berkumpul dengan anggota keluarga seperti biasa. Duduk di sofa ruang TV bersama Ibu, Bapak, dan Kakak-kakak gue. Mereka semua tau bahwa saat itu dia sudah pulang, namun mereka mengobrol seolah tak terjadi apa-apa.
Bukan hanya membingungkan, lagi-lagi itu terasa menyakitkan.

Begitu terbangun. Gue memegang dahi dan leher gue yang masih terasa hangat.
Tidak gue temukan jejak kompres dengan air dingin di sana.
Gue memeluk diri gue sendiri di pinggir tempat tidur, menangis selama kurang lebih 2 jam.
Lalu bangun dan menonton Televisi pagi yang masih penuh kartun. Mencoba melupakan mimpi barusan, dan perasaan rindu yang ditinggalkan.

...

Saat hari kepulangannya, pada waktu shubuh.
Gue menangis bersama abang gue di kamarnya. Memandang tubuhnya yang sangat kurus, terbujur kaku- dan dingin.
Berdua kami menangis, sesekali abang gue menyebut namanya dengan suara yang parau.
Dan gue hanya bisa duduk di sisi tempat tidurnya, memeluk lutut dan menangis- berusaha agar tangisan itu tidak mengeras.

Saat pemakamannya, selepas dzuhur.
Gue berdiri di depan liang lahatnya, memegang sekeranjang bunga untuk ditaburi di atas makamnya.
Memandangi tubuhnya yang kini dibungkus kain putih.
Gue tidak menangis.

Saat sampai di rumah.
Sehari setelahnya.
Seminggu sesudahnya.
Sebelum mimpi itu hadir.
Gue tidak pernah lagi menangis untuknya.
Bukan karena gue tidak merasa sedih, atau kehilangan.
Tanpa pernah gue katakan pada siapapun, bahwa gue merasa sangat kehilangan.

...

Setelah kepulangannya, Ibu adalah orang yang paling merasakan kehilangan.
Dia tidak bisa ditinggal di rumah sendirian.
Dia merasa ketakutan. Entahlah, gue tidak tau benar apa yang dia takuti.
Tapi, dia sempet bilang ke gue. Dia terlalu merasa kehilangan- karena hingga terakhir kali nafas terakhir mamah dihembuskan dia adalah orang yang merawatnya.
Dia tidak mau pergi ke kamar mamah, begitupun gue.

Haha. Mungkin iya, gue takut. Sama dengan yang Ibu rasakan.
Takut terlalu jauh untuk mengenangnya.

...

Setiap kali, gue sakit.
Merasa takut.
Pikiran gue kalut.
Atau, ingin dipijit.

Gue akan datang ke kamarnya, berbaring di sebelahnya. Memegang tangan atau ujung kain kebayanya, sebelum perlahan-lahan gue jatuh tertidur.

Dengan begitu gue merasa nyaman. Dan aman.

Dimana lagi, ada kenyamanan seperti itu yang orang lain bisa tawarkan?

 ...

Ah. Selamat hari Ibu, Ibu dari Ibuku.


Tyas Hanina

0 komentar:

Posting Komentar