Pages

Kamis, 15 Maret 2018

Melihat yang Tak Terlihat Mata (Review “Sekala Niskala”)

Sekala Niskala (The Seen and Unseen) | 2017 | Durasi: 86 menit | Sutradara: Kamila Andini | Penulis: Kamila Andini | Produksi: Treewater Productions, fourcolours films | Negara: Indonesia | Pemeran: Thaly Titi Kasih, Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena, Ayu Laksmi, I Ketut Rina, Happy Salma, Gusti Ayu Raka

-



Saya selalu merasa bahwa anak kembar memiliki kisah yang menarik. Bagaimana rasanya hidup berpisah raga dengan teman mengobrol sejak dalam kandungan?

Seperti analogi telur yang digunakan oleh Kamila Andini dalam film ini. Anak kembar digambarkan hidup dengan berdampingan satu sama lain. Seperti siang dan malam, warna putih dan warna hitam, atau putih telur dan kuning telur.

Pada scene pembuka film, kembar buncing yang menjadi tokoh sentral dalam film ini (Tantri dan Tantra) makan bersama di depan dapur rumahnya. Alih-alih membagi rata telur ceplok buatannya, Tantri memisahkan dua bagian telur. Putih untuknya, dan kuning diletakkan di piring Tantra.
Saat Tantra dikabarkan sakit, Tantri kehilangan seseorang untuk berbagi putih telurnya. Sedangkan, penyebab sakitnya Tantra menjadi pertanyaan sendiri? Apakah Tantra sakit karena mencuri telur dari piring sesajen? Atau benarkan Kembar Buncing memang membawa petaka seperti mitos di Bali?
Dari sinilah, Sekala dan Niskala mulai buram batasannya.

Pada penayangan film di Jatinangor Town Square, senin lalu, Mbak Kamila bilang memang sudah jadi kebiasaan orang kita untuk menghubung-hubungkan suatu kejadian nyata dengan yang tidak terlihat mata. Omongan yang dimulai dengan “konon katanya” seakan-akan menghantui. Tapi, dalam film ini, Tantri memberitahu kita bahwa Sekala tidak melulu cerah dan Niskala itu indah. Atau sebenarnya, sama saja gelap maupun terangnya.

Petaka kehilangan dan kesedihan Tantri memang tidak banyak disampaikan lewat verbal. Namun, tidak dapat disangkal bahwa anak-anak juga merasakan itu. Hal-hal yang tabu bagi anak-anak seperti kehidupan malam dan kematian dikisahkan dalam film ini.


-

Tantri memilih untuk tidak mengisahkan kesedihannya lewat air mata. Ia masih menghabiskan waktu dengan Tantra. Menonton Tantra bermain wayang-wayangan, menanam padi di halaman rumah sakit, hingga sekadar memerhatikan bulan yang kian hari kian redup. Tantri juga menari, menari sampai hampir pagi. Kadang dengan Tantra, kadang hanya Tantri.

Film ini minim dialog, dan sepertinya memang fokus dalam aspek gerakan dan suara. Beberapa tarian diadopsi dari gerakan binatang-binatang yang muncul dalam film, yaitu: Ayam (digambarkan dengan tarian lompat-lompatan di kasur rumah sakit), kepompong (gerakan guling-gulingan di rumah sakit dan sawah), kupu-kupu (gerakan tangan Tantri saat menari tarian khas bali (maaf gatau namanya:’<), ulat (gerakan memanjat pohon dengan postur tubuh terbalik), capung (lirikan mata Tantri saat menari tarian khas bali), dan monyet (tarian paling emosional dari Tantri, campuran amarah dan penerimaan).



Ada satu hal menarik yang sepertinya luput dari perhatian penulis-penulis resensi film ini (sejauh yang saya baca), yaitu bagaimana tokoh-tokoh figuran yang ikut menari bersama Tantri dan Tantra digambarkan sebagai kembar buncing juga. Penampilan mereka hanya bisa disaksikan saat malam hari, atau dalam kata lain saat film mengambil sudut pandang imajinasi Tantri. Terdapat satu scene film ketika mereka berjalan beriringan dengan pasangannya, dan Tantra, satu-satunya yang memakai kostum ayam di barisan itu berjalan sendirian. Lalu, menengok ke arah belakang, seolah mengisyaratkan sesuatu pada Tantri, entah itu ajakan untuk bergabung dalam barisan atau menyuruh Tantri pulang dari imajinasinya. Secara personal, adegan teatrikal kembang buncing ini begitu magis buat saya. Walau, beberapa penonton justru ngeri melihat anak-anak guling-gulingan di sawah pada malam hari. Tapi, justru itu yang jadi poin bahasan, bagaimana anak-anak dan malam hari bukanlah sesuatu yang wajar disandingkan.

Karena jarangnya dialog yang ditemukan dalam film ini, begitu kata-kata itu dimunculkan, rasanya dada saya ikut nyut-nyutan. Contohnya, adalah dialog antara Tantri dan Ibu di sungai dekat rumahnya. Sembari menggosok cat warna warni pada tubuh Tantri, Ibu bilang,
“Ibu tau kamu kangen sama Tantra. Ibu dan Bapak juga. Makanya, biarin ya Tantranya istirahat biar cepet sembuh..”

Seperti yang Mbak Kamila katakan, ketika dirinya menjadi seorang Ibu, dia mulai memikirkan kembali bagaimana pengaruh sosok ibu bagi anak-anak. Baik dalam film, ataupun kehidupan nyata, sulit memisahkan pengaruh seorang ibu ketika membicarakan anak-anak. Sosok Ibu yang diperankan oleh Ayu Laksmi dalam film ini begitu lapang dada. Dia berkali-kali membiarkan Tantri menghidupi imajinasinya, dan tidak memaksa Tantri masuk ke kamar Tantra ketika pagi.

Dialog lain yang berkesan di benak saya adalah omongan Tantri yang terkapar dalam tarian burungnya bersama Tantra, bahwa dia rela bertukar peran-menjadi pihak yang mati rasa.

-

Film lokal yang mengambil latar tempat di luar pulau jawa biasanya bertanggung jawab secara tidak langsung untuk mendokumentasikan budaya dan keindahan alam di sana. Seperti dalam film “Marlina: Si Pembunuh Dalam Empat Babak”, yang banyak mengambil shoot bukit-bukit di Sumba. Atau film “Laskar Pelangi” yang punya objek wisata tersendiri di Belitung. Ada juga, “Ada Apa Dengan Cinta 2” yang membuat gereja ayam yang muncul dalam salah satu scene film jadi ramai dikunjungi wisatawan. Namun, kadang-kadang tanggung jawab ini menjadi beban, entah karena gak nyambung sama jalan ceritanya dan dipaksakan masuk ke dalam cerita, atau ada poin-poin yang sebenarnya gak berelasi dengan budaya asli di sana dan jadi perdebatan sendiri.

Keindahan alam dan kekayaan budaya Indonesia menurut saya bukan mitos belaka yang dipublikasi oleh film-film lokal. Namun, saya harus angkat jempol untuk film ini karena caranya mengisahkan Bali begitu sederhana, tapi nyata.

Bali memang bukan daerah di Indonesia yang perlu dikenalkan secara perdana lewat film. Bahkan, konon katanya, Bali lebih terkenal dibanding negaranya sendiri di luar sana. Tidak perlu ada pemandangan Pantai Kuta, lorong-lorong rumah sakit kelas dua hingga pematang sawah saja sudah cukup kental nuansa lembut dan nyeni, yang menurut saya sangat Bali.

“Ini pasti orang asli Bali semua yang jadi pemerannya,” kata salah seorang teman nonton saya usai penayangan film.

-

Setelah menonton film ini saya gak lantas terburu-buru pengen ke Bali, saya cuma pengen ketemu Mbak Kamila Andini. Karena film yang hampir 90 menit ini bikin saya mati rasa- leher saya gak kerasa pegelnya walau duduk di bangku L.

Ah, ada satu catatan yang saya rasa penting sekali!
XXI NGAPA BOCOR-BOCOR GITU DAH SUARA MUSIK DI RUANGAN SEBELAHNYA?!





Jatinangor,


Tyas Hanina

0 komentar:

Posting Komentar