April had been the tough month for me.
I don’t know exactly how many times that i cried to sleep last month.
Here comes the fear.
Here goes the hope.
Sebenernya, gak ada satu hal yang
signifikan banget terjadi.
Gak ada orang terdekat gue yang ‘pergi’.
Bumi sejauh yang gue pijaki masih baik-baik saja.
Langit juga masih suka memolek
dirinya setiap sore. Dan gue masih suka menengok ke langit setiap kali gue
harus merasa bahwa gue pun baik-baik saja.
Tapi, entah kenapa gue terus
merasa cemas.
Seseorang yang berharga bagi seseorang yang berharga buat gue,
memutuskan untuk pergi dari semesta ini. Saat itu, gue merasa bahwa bumi jadi
gak sepenuhnya baik-baik saja.
Seseorang memutuskan untuk
datang. Lalu, tiba-tiba mengatakan bahwa gue cantik, gak kalah sama langit.
Tapi, bukannya keinginan untuk terus memolek diri yang muncul. Gue justru jatuh
dalam konklusi yang gak enak tentang itu.
Seseorang yang lain, dengan
kerasnya menampar gue dengan kalimatnya. Bahwa, mungkin hidup gue gak berarti
apa-apa, gak punya makna khusus. Selama yang gue lakuin cuma haredolin.
-
Pada saat-saat seperti ini.
Gue merasa gak bisa nulis yang
muluk-muluk. Dan takut untuk meminta sebuah peluk.
Gue jadi sering banget buka media
sosial. Mencari-cari kabar entah dari siapa.
Gue juga jadi cukup sering mengunggah sesuatu di media sosial. Mengharapkan sesuatu
yang entah apa.
Karena seringnya gue gak tau mau
nulis apa dan ngomong sama siapa tentang ini.
Gue putuskan untuk lari dengan
cara membaca.
Buku-buku yang secara acak gue
temukan di salah satu ruang baca di Jatinangor. Artikel-artikel yang tiba-tiba
muncul di linimasa.
Apa saja.
I crave words.
Kemudian, gue gak sengaja berkenalan
dengan salah satu tulisan yang intinya bercerita bagaimana media sosial itu
sebenarnya racun. Toxic.
Ini bukan tulisan basi tentang
bagaimana medsos menjauhkan kita dari yang dekat dan mendekatkan kita dari yang
jauh.
Tapi, dijelaskan dengan cara yang
sangat logis. Bagaimana terlalu banyak informasi dapat membuat kita limbung.
Dan justru bikin kita gak mampu berdiri dengan seimbang karena menanggung beban
banyak dari informasi-informasi yang kita dapat.
(Ngomong-ngomong, gue mau minta
maaf. Baru sadar kalau gue sering sekali memenggal kalimat di tengah-tengah
frasa yang belum selesai. So sorry.)
Bangun tidur, langsung buka hape.
Cek linimasa. Cari-cari berita.
Sebenernya, menurut gue itu bukan
sesuatu yang sepenuhnya buruk.
Dengan tau, kita bisa jadi lebih
peduli.
Dan karena saat ini gue sedang
menempuh studi di bidang Jurnalistik, which isssss kerjaannya juga nulis
berita.
Gue sadar betul, penting buat
masyarakat untuk melek berita. Peka
dan sadar sama keadaan sosial sekitarnya.
Media sosial juga gak sepenuhnya
jelek kok. Ada manfaatnya juga.
Kadang-kadang, kita terlalu males
buat ngontak seseorang untuk mengetahui kabarnya kan? Itulah fungsi dari media
sosial.
Mengetahui sesuatu yang ingin
kita ketahui tanpa perlu bersusah payah untuk itu.
Yah, walaupun sekaligus juga
mengetahui hal-hal yang gak perlu kita ketahui sih.
Hehe...
-
It’s 1:30 PM. Do you know what your best friend ate for lunch?
It’s 6 AM. Do you know what the president tweeted last night?
It’s 8 AM. Do you know what your toothpaste preference says about your
love life?
Pertanyaan beserta jawabannya
itulah yang akan ditawarkan oleh media sosial setiap hari.
Masih banyak lagi jumlahnya dan kegilaannya.
Kita dipaksa untuk mencari tau,
untuk tau. Untuk kemudian merasa perlu untuk terus tau.
Kita punya data. Banyak sekali
tersedia.
“The implied promise, or one of them, is that data gives us peace of
mind. We sacrifice our privacy for it, even pay for it. We told that the more
we know, the better of we wil be.”
Namun, sayangnya
informasi-informasi tersebut justru dapat berbalik menyerang kita. Karena rasa
cemas dan gelisah yang datang bersamanya.
“Truthfully, we can’t keep up with everything, with every news
happening every time around the world.”
Misal. Kita tau pacar kita di
rumah. Tapi, gak pernah tau apa yang sebenarnya dia lakuin di sana.
Kita dapet informasi dari
mulutnya, kalau dia mencintai kita. Tapi, gak pernah tau apa sesungguhnya makna
dari cintanya itu.
Is it love or is it lust?
(Maaf ya aku merasa lama-lama
tulisanku ini kok jadi bergerak ke arah yang terlalu serius, makanya ku kasih
contoh yang ringan saja.)
Ya gitu dah kira-kira.
-
Sebenernya yang pengen gue bahas
dan kritisi adalah penggunaan media sosial yang berlebihan aja sih.
Kaya kenapa gitu kita merelakan
waktu tidur kita untuk mencari tau kabar orang lain yang sebenernya gak penting-penting banget?
Kenapa harus susah payah
membagikan momen menarik di hidup kita ke orang lain yang sebenernya gak perlu-perlu banget tau tentang itu?
There will be no time to reflect. To sleep. To actually create
something.
Dan sungguh, gak ada satu atau
banyak pihak yang gue singgung dalam tulisan ini.
Gue cuma pengen nyentil diri gue
sendiri aja sih.
Kadang, gue ngerasa jarang banget
ngasih kabar ke orang rumah. But at the
same time, i shared anything on my timeline. Padahal nyokap mungkin jauh
lebih butuh tau keadaan di semesta gue kaya gimana daripada teman-teman gue di
media sosial.
Karena itulah.
Beberapa hari ini gue menarik
diri dari media sosial. Gue hapus beberapa aplikasinya di telpon genggam.
And surprisinglyyyyyy.
It helps me a lot.
Gue ngerasa lebih hidup. Masih
sih megang hape, buat sekedar main game
atau bales chat.
Tapi, gue lega mengetahui bahwa gue
baik-baik saja ketika gue tidak mengetahui temen gue jam 2 pagi lagi galauin
apa di instastory, temen gue makan-makan cantik di mana jam 3 sore lewat path (ew, i actually never using path), atau
temen gue lagi gelisahin apa di twitter jam 11 malem.
Kayanya kesannya apatis banget
sih. Cuma, gue ngerasa pengen ngebangun hubungan yang sehat aja sama diri
sendiri. Dan orang-orang terdekat gue tentunya.
Gue pengen tau kabar mereka yang
sebenarnya. Seperti apa yang mereka rasakan ketika tim bola kesayangannya kalah
di turnamen yang lalu. Apa yang mereka gelisahkan ketika idolanya kena dating scandal.
Gue pengen bener-bener ngobrol.
Tatap muka, liat mata.
Gue pengen jadi Tyas yang lebih
peduli. Tyas yang bisa jadi pendengar yang baik.
Yang gak dengerin orang curhat tapi
jarinya masih scroll-scroll telpon genggam.
Dan sebaliknya.
Gue pengen orang kenal gue secara
langsung.
Cari tau. Ajak ngobrol.
Gak cuma nilai gue dari apa yang
gue bagi di media sosial. Bukan dari foto yang gue unggah, bukan dari bacotan
gue di twitter, bahkan bukan dari
tulisan gue di blog ini.
Memang, apa yang di kepala
seseorang bukanlah urusan gue.
Orang lagi-lagi, bebas mau
memaknai gue seperti apa.
Dengan begitu, gue juga merasa
bahwa gue punya ruang untuk membiarkan orang mau memaknai gue dengan cara
seperti apa. Hehe.
-
Akhir kata,
Terimakasih sudah membaca. Terimakasih sudah memberiku makna.
Jatinangor,
Tyas Hanina
P.S
10:36 AM. Do you know what i ate for breakfast? None.
Laper.