Antalogi Cerpen Tentang Kebebasan
Sumber gambar: bukalapak
Judul: Pagi yang Miring
Ke Kanan
Penulis: Afrizal Malna
Cetakan: Cetakan Pertama, Mei 2017
Penerbit: NYALA
Halaman: 267 halaman
Harga: 75.000
“Aku sedang mencari nama untuk tiga
orang tokoh dalam cerpen ini. Apakah nama Jawa, Cina, Arab, Barat atau nama
India?”
Pertanyaan
yang Afrizal berikan pada cerita pendek (cerpen) pertama yang berjudul “Renovasi dalam Cerpen” ini menyapa
pembaca. Belum apa-apa, Afrizal sudah memberikan ruang interaksi juga diskusi
secara tertutup kepada pembaca. Hal ini menjadi ciri khas dari tulisan Afrizal,
dia berani untuk bertegur sapa bahkan bertanya pendapat orang-orang yang
membaca bukunya.
Dalam
cerpen di urutan pertama ini, Afrizal akhirnya menentukan sendiri nama ketiga
tokoh tersebut walau hanya inisialnya saja. Ketiga tokoh itu adalah S, D, dan A
yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Ah, ralat, tokoh-tokoh ini langsung menentukan nama mereka sendiri
dalam halaman pertama cerpen. Seakan memberikan isyarat yang mengancam kepada
Afrizal bahwa akan sangat sulit untuk mengatur tokoh yang ia tulis sendiri.
Afrizal
menuturkan kecemasannya tentang tulisannya sendiri. Katanya, ia tidak yakin dan
mencurigai bahwa ketiga tokoh ini bukanlah materi untuk kalimat-kalimatnya.
Singkat cerita, ia dan ketiga tokoh tersebut akhirnya pergi bersama-sama ke
suatu museum di Berlin. Setelah merasa lelah akan ketidakmampuannya untuk
mengatur jalan cerita, Afrizal (di dalam cerpen) duduk di halte menunggu ketiga
tokoh yang ditulisnya. Penutupnya, mereka berempat pergi naik bis. “Aku baru menyadari, bis itu berjalan tanpa
supir. Dan terus berjalan, hingga kini”.
Narasi
yang ada dalam penutup cerpen pertama “Renovasi
dalam Cerpen” ini berperan penting untuk menentukan arah ke mana buku ini
akan sampai. Kebebasan adalah hal yang ditawarkan Afrizal kepada pembaca untuk
menafsirkan cerita-ceritanya sendiri. Dia menganalogikan dengan bus tanpa
supir, bahwa dia sebagai orang yang menulis ceritanya sendiri pun tak mampu
untuk membawa makna dalam ceritanya. Namun, walau begitu ceritanya akan terus
berjalan dan kata-kata akan menemukan maknanya sendiri. The Death of Author, mungkin adalah istilah yang tepat untuk
menggambarkannya. Seorang penulis akan “mati” usai ia mempublikasikan tulisannnya,
tugasnya untuk menyampaikan cerita telah selesai dan selanjutnya menjadi hak
pembaca untuk bebas untuk memaknai tulisannya.
Kebiasaan
Afrizal untuk berinteraksi baik dengan pembaca atau pun tokoh yang ia tulis
dalam cerita juga terlihat dalam bukunya yang lain. Contohnya, dalam buku Lubang Dari Separuh Langit. Di buku
tersebut, bahkan Afrizal nekat untuk bertukar posisi dengan tokoh yang ia tulis
sendiri, seorang jurnalis yang tinggal di pemukiman kumuh. Seakan Afrizal
dihukum karena sudah berani menulis berbagai tragedi dan kemalangan yang
menimpa si tokoh, dan terpaksa harus merasakannya sendiri.
Unik
dan nyentrik. Begitulah kesan yang saya tangkap dari tulisan-tulisannya
Afrizal. Dari 23 cerpen di buku ini, ada beberapa yang masih sulit saya pahami
maksudnya. Menurut saya, buku ini terbagi menjadi dua. Di awal buku, cerita
yang dia sajikan cukup ringan dan sarat makna, seperti cerpen “Pengakuan Teater Palsu”, “Terhempasnya Huruf “f””, dan “Incogni-type lalu Tas Kosong”.
Mulai
dari cerpen “Pagi yang Miring Ke Kanan”,
Afrizal mengeluarkan cerita yang cukup njelimet
alias membingungkan. Beberapa cerpen yang cukup aneh tersebut adalah “Pagi yang Miring Ke Kanan”, “Arsip Aku di Kedalaman Krisis”, “Seseorang
yang Lahir dari Hujan”, “Bintang-Bintang Membuat Kerang di Punggungku”, dan
“Hantu Berkepala Botol”.
“Pagi yang Miring ke Kanan”
adalah cerpen yang penting dan juga menjadi judul dari buku antalogi cerpen
ini. Bercerita tentang suatu pagi yang biasa-biasa saja, seorang tokoh yang
bernama Naryo berangkat ke suatu Sekolah Dasar (SD) yang sedang membuka bazar
untuk apresiasi seni. Naryo menggelar lembaran-lembaran kanvas kosong ukuran
sekitar 40 x 40 CM bersama dengan kertas-kertas gambar dan peralatan gambar
lainnya seperti spidol, kuas lukis, dan botol-botol cat air. Beberapa anak SD
yang bersekolah di sana mulai masuk dan melukis di lembaran-lembaran gambar
tersebut. Tika, teman Naryo yang ikut membantu, menginstruksikan kepada
anak-anak itu untuk melukis apa saja tanpa perlu dipikirkan.
Kegiatan
corat-coret itu penting bagi Naryo karena bisa menghadirkan kebebasan.
Bagaimana mereka bisa merasakan bidang kosong mulai diisi dengan aneka warga,
garis, juga sapuan. Komposisi lukisan menjadi tidak penting lagi. “Kamu tahu, maksudku, kebebasan adalah jalan
terbuka untuk mereka memilih,” ucapan Naryo itu kemudian menutup cerita.
Dalam
cerpen itu tidak ada sama sekali topik yang menyinggung tentang sesuatu yang
miring ke kanan. Saya sampai sekarang masih agak bingung dengan pemaknaannya,
walau cukup terhibur dengan alur ceritanya. Afrizal dengan lincah
mendeskripsikan pagi itu. Bagaimana keriuhan jalanan dirasakan oleh kelima
indera di tubuhnya. Ini juga menjadi ciri khas dari tulisan Afrizal, ia menulis
dengan sangat deskriptif bagaimana suasana latar belakang ceritanya. Biasanya akan
lebih abstrak lagi di puisinya, seperti pada puisi “Konser Api Rangitunoa Black” di buku kumpulan puisi Kalung dari Teman. Dalam cerpen, Afrizal
lebih jelas memberikan deskripsinya mungkin karena ditambah narasi sehingga pemahaman
pembaca pun dipermudah. Dia bisa melihat hal-hal yang luput dari perhatian
orang lain ketika mengamati sesuatu. Seperti bagaimana sebuah lembu yang nyasar
ke kota, noda hitam di nota, dan sebagainya.
Cerpen
paling berkesan sekaligus aneh yang saya baca di buku ini adalah “Kota Tanpa Toak”. Terus terang, saya
tidak paham tulisan ini, bahkan membacanya saja tidak bisa. Sebanyak 20 halaman,
cerpen ini hanya berisi tulisan yang terkesan ngasal, entah apa itu, apakah
sandi pemrograman komputer atau puisi yang tidak mampu saya baca. Isinya hanya
kumpulan huruf dan angka juga tanda baca yang diketik secara tidak beraturan.
Afrizal menutup tulisan “aneh” ini dengan tiga kata. “Viral, Viral, Get Out”.
Cerpen
lainnya yang perlu mendapat apresiasi adalah “Terhempasnya Huruf “f””.Sarat akan sejarah dan sentilan kehidupan.
Latar belakangnya di Lampung. Epilognya epic!
Sang tokoh utama meminta untuk dihapus dari cerita. Sempat bingung karena tiadanya
distingsi antara cerita satu dengan cerita lainnya atau sudut pandang tokoh anu dengan sudut pandang tokoh ono, tapi ternyata tidak hanya di cerpen
ini saja Afrizal melakukan atraksi semacam ini. Dalam beberapa cerpen lainnya
di buku ini juga sama.
Saya
suka cara Afrizal mengapresiasi karya penulis atau penyair lainnya. Biasanya,
ia menjadikan kawan sejawatnya itu sebagai tokoh dalam ceritanya. Mereka akan
bertemu lalu bercakap-cakap. Lalu, hidup yang tadinya biasa-biasa saja jadi
luar biasa anehnya. Afrizal juga selalu mencantumkan inspirasi tulisannya yang
berasal dari penulis lainnya itu di bagian akhir tulisannya. Jadi sekiranya
pembaca tertarik dengan tokoh tersebut, bisa mencari tahu lebih lanjut tentang
mereka juga tulisan-tulisannya.
Sampul
buku kumpulan cerpen ini cukup menarik mata. Gambar piring dengan urutan huruf
dan angka di sekitarnya terasa unik, juga halaman pertama dan terakhir buku
yang hanya berisi selembar kertas polos berwarna kuning. Secara keseluruhan,
buku antalogi cerpen karya Afrizal Malna ini sangat menarik untuk dibaca.
Pembaca akan masuk ke dalam dunia yang biasa-biasa saja, sekaligus masuk ke
pikiran penulisnya yang ada-ada saja. Afrizal mendapatkan apreasiasi dari buku
ini sebagai 10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa ke-17 di kategori Fiksi. Well done!
0 komentar:
Posting Komentar