Dear,
Aku
menulis surat ini sembari memelukmu erat.
Memang hal
itu membuatku sulit untuk menuliskannya, tapi itu tidak sesulit saat dirimu
jauh dariku.
Tidak,
aku tidak sedang merayumu. Sungguh.
Merindukanmu,
Terasa
bagai dininabobokan oleh angin laut.
Didekap
erat oleh pasir pantai.
Diombang-ombing
oleh ombak lelautan.
Dilelapkan
ke dasar laut terdalam.
Indah,
namun menyesakkan.
Meskipun,
aku tidak begitu mengerti letak keindahannya.
Tapi, keindahan
tidak harus selalu dimengerti kan? Dia ada untuk dirasakan.
Sama
seperti dirimu, perempuanku.
Aku dapat
menulis banyak sajak untukmu saat itu.
Lalu
kupasung di dalam botol kaca.
Kulepaskan
ia di lautan. Membiarkannya menari bersama ombak.
Biar,
laut yang membacanya.
Tidak
perlu kamu- orang yang selalu kurindu, untuk tau akan hal itu.
(Tapi,
aku memberitahukanmu juga pada surat ini.)
...
Perempuanku,
Masih terasa
hangat di dalam ingatanku, bagaimana kita digigilkan hujan hari itu.
Tidak
ada payung yang melindungi kita dari hujan. Tidak ada jas hujan yang melindungi
tubuh kita.
Kita
terjebak dalam hujan, dan menemukan kenyamanan di dalamnya.
Kamu
merapatkan tubuhmu padaku, memegang ujung rokmu yang basah.
Tidak
ada jaket yang bisa kupasangkan di tubuhmu, tidak ada selain lenganku yang
merangkul bahumu.
Kulihat
kamu mengulum senyum, bergumam entah untuk kudengar atau hanya untuk dirimu
sendiri.
“Rainy rainy day.”
Ingin
kucubit pipimu yang merah bersemu. Namun, aku hanya berkata.
“I like the way you smile when it’s rainy.”
Teduh matamu memandangku. Seakan mengucapkan
terima kasih.
“Ke laut yuk.”
Tiba-tiba
saja kalimat ajakan itu keluar dari mulutmu. Aku tidak mengerti, dan hanya
dapat memberimu pandangan bingung.
“Aku mau liat hujan di lautan.”
“Pertemuan antara hujan dan
lautan. Awan hujan yang berasal dari laut, kembali padanya dengan cara menjatuhkan
dirinya secara perlahan.”
“Dan, hujan akan menyambutnya.
Dengan ombak yang mencoba memeluk rintik hujan.”
“Aku ingin menyaksikan pertemuan
mereka, dengan kekasihku.”
How I love your sweet mind.
Lalu kau
berhenti menarik ujung rokmu, dan berganti menarik tanganku.
Ke dalam
rintik hujan.
“Meskipun hujan itu membawa nyaman.
Namun, kita bisa dijebakkan
olehnya. Kita harus membebaskan diri.”
Lalu
kamu mengajakku berlari, tapi aku menolaknya.
Dan kamu
menawarkanku menari, tapi aku tidak bisa menyanggupinya.
Lalu,
kamu tertawa. Seakan hujan membisikkanmu sebuah lelucon.
Lalu aku
tidak bisa menahannya, selain membiarkan diriku terjebak oleh seorang dirimu,
dirimu seorang- dan kenyamanan yang senantiasa membuatku utuh.
Sejak
itu,
Aku tidak
ingin, membebaskan diri dari jebakan indah ini.
...
Namun
ada kalanya.
Dua
kutub di dalam masing-masing diri kita menjadi sama.
Dan
membuat jarak dan waktu seakan menolak pertemuan kita.
Seperti
saat itu.
Saat
pekerjaanku mengharuskanku untuk jauh darimu. Jauh dari ragamu.
Meskipun
saat itu kamu mendukungku, tapi tetap saja rasanya beda dengan kamu yang di
sisiku.
Pembicaraan
kita lewat perantara telepon. Sinyal yang terkadang begitu buruk, sehingga sering
kali aku hanya bisa mendengar gemerisik tawamu atau kata-katamu yang patah.
Diskusi
kita lewat chat messenger. WiFi yang tiba-tiba tidak bersahabat, membuat
percakapan kita terhambat.
Surat
beserta paket buku yang kukirimkan padamu. Dan surat beserta CD musik favoritku
yang dikirimkan olehmu untukku. Membutuhkan waktu berhari-hari untuk sampai.
Komunikasi
itu tetap terjaga, tapi rasanya berbeda.
Tidak
bisa kudengar tarikan nafasmu, tidak bisa kuhirup harum tubuhmu yang masih
menempel pada jaketku, tidak bisa kurekam gelak tawamu.
Tidak
bisa kupeluk ragamu.
...
Hampir
setengah tahun kita menjalani hari-hari kita seperti itu.
Hingga
akhirnya, sifat nekatmu itu membuatmu berani memutuskan untuk datang ke tempatku.
Selama 1
minggu. Yang cukup untuk membayar rinduku selama kita jauh.
Kau
menolak untuk kubayari tiket pesawat terbang, karena alasan kau benci
ketinggian.
Kau pun
mengelak saat kutawari tiket kereta api, padahal pemandangan ketika
perjalanannya begitu indah.
Kau
menolak telak saat aku ingin menjemputmu dari sana.
Dan, kau
memilih untuk naik Kapal Laut.
Dengan
alasan, kau tidak harus membayangkan dirimu jatuh dari awan. Dan kau akan
sangat dekat dengan lautan.
Pemandangannya
pun tak akan kalah dari yang akan kau liat jika kau berangkat naik kereta api.
Meski
hanya biru laut, dan biru langit yang tercampur dengan batasnya yang akan hadir
di depan matamu.
Tapi,
kau menginginkannya.
Aku
masih ingat sekali, chat terakhir kita hari itu- sebelum perjalananmu naik
Kapal Laut ke tempatku.
“Semoga nanti hujan.”
“Kenapa? bukankah lebih baik
perjalanannya cerah.”
“Aku ingin melihat hujan di
lautan.”
“Tapi, kau kan sedang tidak
bersama kekasihmu.”
“Tapi, aku kan akan menemui
kekasihku.”
Dan
perjalanan itu pun Tuhan kabulkan.
...
Hujan,
tidak menjatuhkan dirinya dengan perlahan hari itu. Di hari perjalananmu.
Hujan
yang membuat orang-orang bertahan di ruangan, memilih untuk menghangatkan
dirinya. Hujan yang sangat deras.
Lebih
deras dari hujan hari itu.
Namun,
saat itu kau tidak dalam ruangan. Yang aman dari terpaan hujan.
Kau juga
tidak sedang bersamaku, sehingga aku tidak bisa mencegah perjalananmu.
Kapal
Laut. Dengan terpaan hujan lebat.
Aku rasa
itu bukan ide yang hebat.
Air laut
akan berubah dari tenang menjadi galak. Ombaknya akan tinggi dan bergejolak.
Dan aku
khawatir, akan terjadi badai.
Tak henti-hentinya
aku memandangi jendela kantorku. Menatap tetesan hujan yang menempel di
kacanya. Melirik jam dinding, memencet-mencet ponselku.
Tak ada
kabar darimu.
Aku tidak
ingat, pernah lebih gelisah dari hari itu.
Dan
gelisahku itu membawaku pada kabar selanjutnya.
...
Malam
hari.
Aku yang
masih menunggu kedatanganmu. Duduk diam di sofaku, tidak bisa dan tidak ingin
mencoba untuk pergi tidur.
Aku
menyalakan Televisi, hanya agar suara bisingnya memenuhi ruanganku.
Namamu
beserta kabarmu, tidak kunjung muncul di ponselku.
Namun,
justru di Televisiku. Di sebuah acara berita.
Berita
tentang Kapalmu, Kapal yang mengangkutmu. Kapal yang membawa separuh jiwaku.
Tenggelam.
Terbawa arus ombak yang semakin liar menari, ketika hujan datang beserta badai.
Apa ada
hal yang lebih menyakitkan dari kabar itu?
Ya.
Kabarnya,
kapal itu tenggelam ke laut dalam.
Beserta
para raga yang diangkutnya.
Karam.
...
Untuk Perempuan yang Sedang di Pelukan.
Selepas kabar itu.
Ragaku terus menerus mencarimu.
Meski berita Televisi mengabarkan
begitu.
Tapi, ragamu tidak kunjung
ditemukan.
Menyatu bersama lautan.
Dan air hujan hari itu.
Dan aku hanya bisa memberimu
pelukan.
Mendoakan jiwamu yang ada dalam
diriku.
Memelukmu erat di dalam
pikiranku.
Tanpa ragamu yang utuh.
Utuh?
Kata apa itu.
Tak lagi utuh aku tanpamu.
Tanpamu, perempuanku.
Surat yang kutulis dengan pena
biru ini.
Akan kupasung dalam botol kaca.
Dan akan kubiarkan dia menyatu
dengan biru air laut.
Biarkan kata-katanya menguap
membentuk awan hujan.
Dan, semoga bisa sampai ke
tempatmu di khayangan.
Dan, kelak.
Hujan yang akan turun dari awan
itu.
Kuanggap sebagai pertanda-
balasan suratmu.
Meski hujan.
Tidak kunjung hadir.
Semenjak kamu berhenti hadir di
hidupku.
(Hi perempuanku yang sedang bertugas
menjadi bidadari surga.
Permintaanmu sudah
dikabulkanTuhan. Kau kini tidak lagi takut ketinggian, bukan?)
Tyas Hanina
(8 Januari 2014)
...
(Judul postingan ini sama dengan
salah satu judul lagu Payung Teduh.)