Imagine this.
Terbangun
dari tidurmu, dan hal yang pertama kali kamu lihat adalah, Langit malam.
Dan, hal yang
kau jadikan sandaran untuk tidur bukanlah tempat tidur di kamarmu. Tapi
sekumpulan bantal dan selimut tebal.
Kamu terjaga
dari mimpi indahmu. Namun kamu tidak menyesalinya.
Karena
pemandangan yang kamu lihat di sekelilingmu terasa jauh lebih indah untuk sebuah
realita.
Bukan tembok
kamarmu yang kau lihat. Tapi, suatu padang rumput yang membentang luas seakan
tanpa batas, disertai pohon-pohon yang kokoh.
Dan ketika
kau mendongakkan kepalamu ke atas. Yang terlihat adalah sekumpulan rasi
bintang.
Dan meskipun
kamu tidak tau apa-apa tentangnya, kau dapat merasakan keindahannya.
Kamu
merasakan bahwa dia sangatlah indah, meskipun kamu tidak benar-benar mengerti
di mana keindahannya.
Bukan,
bintang yang ku maksud.
Tetapi
seseorang yang tengah berbaring melamun di sebelahmu. Matanya yang hitam gelap,
kini bersinar oleh cahaya bintang.
Dan mata itu
menatapmu. Sembari melengkungkan senyumnya.
Dan lalu kau
bingung.
Mana yang
lebih indah...
Kedip bintang
di langit, atau kerjap bola mata hitamnya.
Mana yang
lebih indah...
Lengkungan
bulan sabit di atas, atau selengkung senyum di bibirnya.
Lalu kau
memilih untuk tidak memperdulikan pertanyaan yang kau lempar pada dirimu
sendiri.
Dan memilih
untuk menggenggam tangannya erat.
Atau justru
memeluknya.
Karena kini,
telah kau sadari.
Bintang
memang indah, namun ia jauh. Dan meskipun ia terlihat kecil dari bumi,
sesungguhnya ilusi mata yang membuatnya terlihat begitu. Dia hanya jauh. Namun
sebesar apa ia, kamu tidak tau,.
Sedangkan,
orang di sebelahmu itu..
Dia dekat
denganmu, bahkan bahunya kini bersentuhan dengan bahumu. Jarinya kini bertaut dengan
jarimu. Dan matanya meskipun begitu dalam, telah menarik jiwamu semakin dekat
dengannya.
Dan, kamu
berharap. Bahwa semua yang kau rasakan tentangnya bukanlah ilusi. Bukanlah
suatu permainan belaka, yang kelak menyebabkan kamu harus berpisah dan akhirnya
jauh dengannya.
Yang
menyebabkan sosoknya yang besar bagimu, kini terlihat kecil karena hubungan
kalian yang semakin jauh.
...
POV : HIM
“jam berapa ya kira-kira
sekarang?”
Monolog dalam pikiran gue langsung terhenti. Mungkin udah ada
beberapa paragraf yang dapat gue tulis berdasarkan isi monolog gue tadi.
Perempuan di sebelah gue sepertinya tidak tau hal itu.
Tapi, ah sudahlah. Dialog bersamanya harus gue utamakan dibanding monolog kepada diri
gue sendiri.
“apa kamu benar-benar butuh untuk
tau petunjuk waktu?”
“gak juga sih.”
“terus?”
“ya... Cuma mikir kira-kira jam
berapa ya sekarang, bintang-bintangnya masih terang begini.”
“sekarang udah lewat tengah
malam.”
“hah? Serius? Kayanya setiap kali
aku gak tidur dan liat jendela apartemen lewat tengah malam gitu, nyalanya gak
seterang ini.”
“karena polusi cahaya..”
“ya ya ya aku tau.”
Lagi-lagi, pertanyaan retoris. Dia lumayan sering nanya hal
yang dia sendiri udah tau jawabannya. Gue juga gak ngerti kenapa, tapi gue
menikmatinya.
“lewat
tengah malamnya jam berapa sih?”
Gue menghembuskan nafas pelan, dan menatap dia yang tengah
menatap langit yang sedang menatap kami berdua.
“Aku juga gatau tuh.”
“Ih tadi kamu bilang jam segitu.”
“haha aku juga cuma ngira-ngira.”
Dia ngeliat gue sekilas, dan memperlihatkan senyum mengejeknya.
“tadi waktu kita nyampe sini, aku
sempet liat hape. Itu kira-kira pukul 11.”
Gue pun menjelaskan padanya, bahwa omongan gue tadi gak
sepenuhnya ngasal.
Setelah perjalanan yang memakan waktu berjam-jam. Parkir
mobil di padang rumput ini. Pasang
bantal dan selimut di bak pick up. Kami sempet ketiduran, yang gue gak tau
berapa lama.
“lho,
kamu nyalain hape?”
Aduh ini dia nih. Kadang dia suka salah fokus sama apa yang
gue omongin. Kalo ada hal yang dia gak suka aja pasti dia langsung bahas.
“udah
aku matiin kok..”
Ya... kami berdua emang buat kesepakatan buat gak ngaktifin
ponsel masing-masing. Sehingga kami benar-benar menghabiskan waktu berdua,
dengan stargazing dan ngobrol. Atau tiduran tanpa ngelakuin hal yang
“macem-macem” kaya tadi.
Kami gak pengen, waktu yang kami habiskan berdua tersita
oleh layar handphone. Chatting sama orang lain, main game, update social media,
dan lain-lain.
“tau
gak?”
Gue gak menjawab pertanyaan lewat lisan. Gue melepas
genggaman tangan gue dari dia, dan memilih merangkul bahunya.
“beberapa
bucket list aku tercapai.”
“pergi
ke entah berantah. Yang sumpah sekarang aku tuh bener-bener gatau kita lagi di
mana, satu-satunya petunjuk tempat ini adalah dekat sama rumah saudara kamu.”
“pergi
ke entah berantah. Dan sama sekali gak khawatir akan apapun.”
“stargazing.
Aku lihat langit malam, dengan tumpahan bintang di sana.”
“and
the last but not least. Dan ini yang bener-bener best from the best kayanya
hahaha.”
Dia tiba-tiba tertawa, dan walaupun gelap gue dapat melihat
lesung pipinya dan kilatan di matanya. Ada jeda beberapa detik sebelum dia
melanjutkan ucapannya.
“ini
bakal kedengeran cheesy banget. Tapi.. akhirnya aku nemuin seseorang yang
bersedia wujudin bucket list aku. Seseorang yang buat aku siap untuk wujudin bucket
list dia. Seseorang yang bikin aku diem-diem bikin bucket list tentang kami
berdua.”
“dan
itu kamu.”
...
POV : HER
Dia tertidur beberapa saat setelah kami selesai menata
bantal dan selimut tebal di bak mobil pick upnya.
Perkiraanku, dia kelelahan. Karena mengendarai mobil dalam
jarak yang lumayan jauh, yah meskipun aku pun tidak tau di mana tepatnya kami
berada saat ini.
Sebelum tidur, ia memandangiku tepat di bola mata. Lalu
memandang langit berbintang.
Lalu ia tersenyum, dan memejamkan mata.
Entah apa yang ia pikirkan. Yang pasti, isi pikirannya
selalu menarik untuk ku ketahui.
Meskipun, lebih sering aku memilih untuk diam dan tak
bertanya apa yang ia pikirkan.
Aku tidak tau seberapa lama ia jatuh ke dalam mimpinya.
Namun, di realita.
Aku sangat menikmati, berada di sisinya seperti sekarang
ini.
Memandangi wajah tidurnya yang begitu damai. Bahu kami yang
bersentuhan. Dan langit malam bertabur bintang lah yang menyaksikan kami
berdua.
Aku mencoba tidur, tapi aku tak bisa. Aku merasa terlalu
bahagia.
Pergi ke entah berantah.... memandangi langit berbintang.
Merupakan salah dua dari beberapa keinginanku.
Dengan seseorang, yang tanpanya mungkin aku tidak dapat
mewujudkan dua keinginan tersebut.
Dengan seseorang, yang bersamanya aku bersedia untuk
mewujudkan keinginannya dan keinginan kami berdua.
Dengan dia. Lelaki yang kini tengah tertidur di sampingku.
Yang walaupun ia tengah tertidur, aku tetap merasa dia
menjagaku. Aku merasa sangat aman dan nyaman dengannya.
Aku memainkan rambut keritingnya dengan ujung jariku.
Memandangi wajahnya.. alis matanya yang tebal, bulu bulu halus di dagunya,
hidungnya yang kecil namun mancung, rahangnya yang tegas, bibirnya yang merah
dengan sudutnya yang naik ke atas- menandakan bahwa ia murah senyum.
Kemudian, aku merasakan bahwa dia akan segera terjaga dari
tidurnya. Jadi kembali kulemparkan pandanganku ke langit malam, merasa malu
karena sudah memandanginya wajahnya begitu dekat secara diam-diam.
Kulirik ia dari sudut mataku, kini bola mata cokelatnya
berkilat oleh terang cahaya bintang. Walaupun gelap, dapat kulihat ia
tersenyum. Alis tebalnya bertaut.
Aku tau ia sedang memikirkan sesuatu. Dan sedang bermonolog
dengan dirinya.
Yang meskipun aku tidak tau apa itu, aku membiarkannya
berbicara dengan dirinya sendiri di dalam pikirannya.
Tiba-tiba jemarinya meraih jemari tanganku.
Dia bergumam pelan.
Dan aku menerka, bahwa ia sudah menyelesaikan monolog itu.
Lalu aku mencoba untuk membuat dialog dengannya.
“jam berapa ya kira-kira
sekarang?”
...
Look at the stars.
Look how they shine for you.
And everything that you do.
Yeah, they were all yellow.
Tyas Hanina
0 komentar:
Posting Komentar