Pukul 1 siang, adalah waktu istirahatku.
Selepas menunaikan ibadah shalat dzuhur, dan berdoa meminta
kesehatan dan keberkahan untuk aku dan keluargaku. Saat dimana aku berbaring di tempat tidurku,
memejamkan mata, dan menonton tayangan ulang masa mudaku- yang bagaikan
gulungan kaset film lama yang kutonton berulang-ulang.
“Kakak, mau foto pake
toganya dong.”
Suara cempreng Cucu Bungsuku, menarikku kembali ke dunia
nyata.
Aku pun duduk di tempat tidurku- mengambil kacamataku,
menyingkirkan beberapa uban yang menempel di bantal. Lalu memperhatikan
cucu-cucuku yang sibuk dengan ponselnya masing-masing.
Si Bungsu, sibuk mengambil potret wajahnya sendiri
mengenakan toga milik kakaknya- yang besok akan dikenakan untuk wisuda.
Si Sulung pun tak kalah sibuknya, jarinya dengan cepat
memencet-mencet ponselnya- sesekali dia mengambil jeda sebentar, setelah ada
bunyi di ponselnya dia melanjutkan kegiatan itu kembali.
Hal yang tidak aku mengerti dari mereka yang usianya masih
terbilang belia. Aku sering sekali memperhatikan mereka ketika sibuk dengan
sesuatu di ponselnya, terkadang mereka tertawa sendiri atau berkomentar tentang
hal yang tidak aku mengerti.
Ah, sewaktu aku remaja dahulu- aku sibuk bermain dengan
teman-temanku- juga sibuk menghindari
para lelaki yang sering menggodaiku di mana pun.
Sekali waktu, saat aku
menemani Ibuku berbelanja di Pasar- aku diperebutkan oleh tukang daging dan
tukang kelapa. Mengerikan sekali membayangkannya kembali, mereka
gontok-gontokkan sembari memamerkan Pisau besar milik mereka yang sering
diasah.
Dan sekarang, kecantikanku pun turun ke anak perempuanku satu-satunya-
Ibu mereka berdua. Cucuku, Si Sulung dan Si Bungsu pun juga begitu, meskipun
keduanya tidak memiliki hidung semancung aku, dan kulit selicin kulitku.
Namun, keduanya memiliki kecantikan yang alami, tidak perlu
susuk ataupun operasi. Si Sulung dengan senyum mautnya, dan Si Bungsu dengan tawa
pemikatnya.
Aku yakin, pasti banyak lelaki yang mengejar perhatian
mereka berdua. Meskipun, si Sulung sering gonta-ganti pasangan (yang selalu
dikenalkan kepadaku- psst aku suka dengan pacar pertamanya!). Dan si Bungsu
yang seringkali terlihat tidak acuh ( dia belum pernah membawa lelaki untuk
dikenalkan kepadaku.)
...
Aku mulai jemu, memperhatikan mereka berdua yang
perhatiannya penuh ke ponselnya masing-masing. Aku berjalan ke arah jendela besar di kamar, menyibak gorden
abu-abunya.
Kulihat di luar sana banyak orang asing berlalu lalang, aku
sudah bertemu banyak orang asing di hidupku. Dan jarang sekali dari mereka ada
yang benar-benar kuperhatikan.
Lewat kacamataku, aku memperhatikan mereka satu persatu
meski tidak secara detail.
Ada Penjual Balon yang sedang melepaskan salah satu balonnya
yang berwarna biru kepada seorang anak kecil.
Rombongan pelajar SMA, dengan rok pendek abu-abu dan seragam
ketat menempel di badan. (Untungnya, cucu-cucuku tidak berpakaian seperti itu).
Gerobak Es Krim, Vermak Levis, Gerobak Bakso, Gerobak
Sampah, dan lain-lain.
Jalanan begitu ramai siang ini, lalu hujan turun deras dan
membubarkan mereka semua.
Genangan air kecokelatan mulai muncul di jalanan. (Hal yang
sering membuat si Sulung memasang raut wajah kusut karena sepatu sekolahnya
basah dan kotor).
Rombongan anak kecil yang berlarian- mandi hujan. Melompati
genangan air dan meninggalkan noda di baju dan celana mereka. (Ah, kegiatan
favorit si Bungsu sewaktu kecil. Dan malam harinya dia akan tidur di kamarku
dengan kompres di keningnya).
Petir menggelenggar, dan kilatnya menyambar.
Aku refleks mundur ke belakang, memegang dadaku yang kini
berdentum tak karuan.
...
Cucu Bungsuku lantas memopohku ke tempat tidurku. Sementara
si Sulung, menutup jendela dan pergi ke dapur.
“Mamah, ngapain dari
tadi bengong ngeliatin jendela?”
Ya, cucu-cucuku memanggilku dengan sebutan Mamah. Bukan
Nenek, bukan Oma, bukan Nini, bukan Granny.Mamah. Karena Ibu mereka, membiasakan mereka untuk memanggilku dengan sebutan itu sejak mereka masih kecil. Ah, aku tak keberatan dipanggil begitu.
Si Sulung datang, membawakan segelas teh manis hangat di
nampan dan lengkungan senyum yang tak kalah manis di wajahnya.
“Tadi sih gak kamu
ajak ngobrol dek.”
Si Bungsu memajukan bibirnya, seperti kebiasannya ketika ngambul. Dan aku tau, sedetik lagi dia
akan..
“Kakak juga! Bukan
aku doang!”
…. Protes.
Ya, dia memiliki watak paling keras kepala dibandingkan
cucuku yang lainnya.
Si Sulung hanya mengulum senyum, dan membahas topik lainnya
untuk mengembalikan mood adiknya.
“Gimana, blog kamu?”
Si Bungsu diam ditanya tiba-tiba begitu, dia mengumpulkan
& menyusun kata untuk diceritakan. Aku pun ikut diam dan memperhatikan
binar matanya yang kini lebih bersinar.
Aku tidak tau apa itu Blog sebelumnya, mereka yang
menjelaskannya kepadaku. Sampai sekarang sebenarnya aku tidak terlalu mengerti,
apa itu Blog- apa itu Internet. Kenapa Cucu Bungsuku menulis dan membagikannya
di Blognya. Bahkan aku sebenarnya tidak tau, kenapa si Bungsu suka sekali
menulis.
Meski yang kulihat dia bukan mencoret-coret buku tetapi
memencet tombol-tombol di laptopnya.
“Ah. Itu….”
Ceritanya pun mengalir, lancar sekali tanpa hambatan yang
berarti. Sesekali dia mengambil jeda, dan membelalakan matanya yang sipit
ketika Kakaknya akan memotong ceritanya.
“Diem dulu.”
Kakaknya pun patuh kepadanya. Kadang aku fikir, Si Bungsu
lebih tegas dan bisa mengatur suasana dibanding Kakak-Kakaknya.
Setelah selesai bercerita, si Sulung pun akhirnya bertanya.
“Kamu.. Kenapa sih
pengen jadi penulis dek?”
Si Bungsu pun memasang cengiran khasnya, memamerkan dua gigi
kelincinya. Dan, menjawab pertanyaan Kakaknya dengan satu tarikan nafas.
“Aku pernah tulis
tentang itu di Blogku, kamu baca aja sendiri dan simpulkan.”
“Kamu, mau modus buat
naikin traffic blog ya.”
Keduanya tertawa. Meski aku tidak mengerti sepenuhnya, aku
ikut tertawa memamerkan barisan gigi palsuku.
...
“Mamah, dulu waktu
muda mau jadi apa?”
Tiba-tiba si Bungsu melemparkan pertanyaan itu. Keduanya
kini, memperhatikanku.
Aku agak gelagapan menjawabnya. Aku mengingat-ngingat
pekerjaan apa yang kuinginkan, apa tujuan yang dulu ingin aku capai.Lalu, aku sadar.
Aku sudah lama melupakan pertanyaan itu.
Aku sudah lama, bahkan mungkin tidak tau jawabannya-
sebenarnya aku ingin jadi apa.
Saat belia dulu, hingga sekarang memiliki cucu.
...
Beberapa menit berlalu, mereka masih menunggu.
Si Bungsu menatap lekat kedua bola mataku, kebiasaannya
ketika mendengarkan cerita siapapun.
Si Sulung mengulum senyum sembari memperhatikan sekeliling ruangan.
Aku, ikut-ikutan melirik ke pojok ruangan. Berharap ada jawabannya di sana.
“Jadi..”
Meski tidak benar-benar tertuliskan di pojok ruangan-
mulutku tiba-tiba mengeluarkan jawaban yang entah aku dapat dari mana.
“Ibu Rumah Tangga.”
Keduanya terdiam seperti memikirkan ucapanku, jawabanku akan
cita-citaku. Aku ikut terdiam, dan memasang selengkung senyum.
“Kenapa?”
Lagi, Si Bungsu bertanya.
Kali ini, aku tidak melirik pojok ruangan untuk mencari
jawaban.
Aku memperhatikan wajah mereka bergantian. Mengingat ketika
usiaku sama dengan mereka.
Aku menikah di usia
muda. Dengan seorang laki-laki yang berhasil merebut perhatianku- dan orang
tuaku.
Dia tidak menggodaiku
seperti laki-laki lainnya, dia mendekatiku dengan caranya. Begitu pelan namun
mengesankan, membuatku tiba-tiba sudah jatuh- kepadanya.
Tibalah hari di mana,
dia melamarku. Orang tuanya datang ke
rumah, membawakan roti buaya, lempar-lemparan pantun, petasan yang dibunyikan
meriah di depan rumah.
Janji suci pernikahan,
mentandatangani surat nikah dan jadilah kami Halal untuk satu sama lain.
Hari di mana aku
merasa sebagai perempuan paling beruntung di dunia.
Setelah itu, aku memiliki keinginan seperti layaknya wanita
pada umumnya. Berumah tangga dan berkeluarga dengan bahagia dengannya, menjadi
seorang Istri dan seorang Ibu yang terbaik untuk mereka.
Itulah, mungkin cita-citaku. Cita-cita yang kuminta dan
kuamini setiap harinya.
“Menjadi seorang Ibu
Rumah Tangga, mengurus suami dan anak-anak. Menghabiskan jatah usia hidup
berbahagia dengan mereka. Memasak setiap hari untuk mereka, membereskan rumah
yang ditempati mereka, beribadah dan berdoa bersama. Memperhatikan
perubahan-perubahan yang terjadi di diri mereka setiap harinya. Menyadari bahwa
anak-anak bertambah dewasa, dan berdua bersama Ayah hidup bersama hingga renta-
meskipun kini kami berbeda dunia….”
Aku mengambil nafas, tidak menyangka akan mengeluarkan
sebanyak itu rentetan kata.
“Mamah tetap cinta
Ayah. Itulah cita-cita Mamah.”
Keduanya diam dan tersenyum, si Sulung menghapus air di
sudut matanya- bibirnya bergetar.
Sedangkan si Bungsu tersenyum lebar, dan berkata..
“Aku juga ingin jadi
seperti Mamah.”
Aku mengusap pelan rambut si Bungsu. Tidak, dia tidak boleh
sepertiku. Aku malu, mereka memiliki cita-cita yang jelas meski usianya masih
terbilang muda, sedangkan aku di usia mereka- harus mengikuti kemauan orang tua
untuk menikah dan setelah itu menjadi Ibu Rumah Tangga.
Aku bahkan, tidak pernah duduk di bangku sekolah- seperti mereka.
“Kalian.. Sekolah
yang bener. Adek jangan lupa bagi waktu antara belajar sama main laptop, Kakak
juga setelah wisuda besok harus tetep belajar…”
“Kalian bagus punya
cita-cita, tapi jangan lupa do’anya dibarengin sama langkah. Yakin kalian
bisa.. Kalau udah sukses, udah jadi orang gede nanti. Jangan pernah lupa sama
orangtua, jangan lupa kodrat kalian sebagai wanita… Punya tanggung jawab sebagai
Istri, sebagai seorang Ibu.
Pekerjaan paling
mulia di dunia.”
Tubuhku pun lalu dipeluk mereka berdua, cucu-cucuku
tercinta.
Air mataku pun jatuh layaknya hujan di luar jendela.
Tyas Hanina
1 komentar:
Very creative dek! Congratz! Lo berhasil menulis tulisan fiksi yg bahkan gue sendiri ga pernah terpikir untuk membuat tulisan model begini. Bercerita dengan modal sebuah foto! Dari sudut pandang org ke3 lg.Dan sempurna bgt sm nilai moral yg terkandung didalamnya. Meski gue gasuka jg sm kesan klo gue nya jd patuh sm lo?Huh!(Kafani cantik)
Ka fani cantik-
Posting Komentar