Dear.
Ini bukanlah kali
pertama kita bepergian bersama. Bukan kali pertama aku mengajakmu kencan.
Namun, rasa
canggung tetaplah datang- aku tidak kuasa mengusirnya.
Aku bingung
memilih baju apa yang harus kukenakan, aku tidak ingin terlihat tidak pantas bersanding denganmu.
Akhirnya, aku
memilih setelan kemeja putih dengan celana pendek kotak-kotak, beserta sepatu
putih kesayanganku dengan kaus kaki hitam yang biasa membungkus kakiku.
Matahari yang terik, membuatku mengambil topi fedora putih yang kau pilih di
pasar malam waktu itu.
“Aku belum pernah melihatmu mengenakan
topi.”
Sebelum aku sempat
membuka mulut untuk bertanya, kau dengan cepat menjawab.
“Tidak. Kau tidak akan terlihat aneh
mengenakan itu.”
Ah, aku tidak
pernah bisa menolakmu. Jadi, dengan harapan
kamu akan lebih menyukaiku- akupun membeli topi itu.
Tadi pagi, saat
kamu membuka pintu depan rumahmu untuk menyambutku. Lengkungan senyum yang
selalu kau lukiskan di wajahmu, kini bertambah lebar ketika kau melihat aku
mengenakan topi itu.
Tanpa mengatakan
apa-apa, akhirnya kau pun menggandeng tanganku untuk pergi dari situ.
…
Honey.
Ini kesembilan kalinya
kita bepergian bersama. Kelima kalinya kamu mengajakku kencan.
Dan, banyak hal
yang tidak berubah darimu. Dari kebiasaan-kebiasaan kencan bersamamu.
Kamu, bukanlah
lelaki pertama yang mengajakku kencan.
Sedangkan, aku
tau sekali bahwa aku adalah perempuan pertama yang berkencan denganmu.
Sebagai
perempuanmu, aku bangga akan hal itu. Aku merasa sebagai pengecualian, sebagai
perempuan yang akhirnya membuatmu memberanikan diri untuk kau ajak kencan.
Meskipun rasa
canggung seringkali kuhirup bersama udara ketika ku berada di sekelilingmu.
Meski seringkali ku lihat tanganmu bergetar, ketika telapak tangan kita
berdekatan. Meski terlihat sekali, kamu sengaja berdandan lebih rapi ketika
berkencan denganku.
Kamu, tidak
pernah membuatku merasa bosan.
Meskipun di
kencan-kencanku sebelumnya bersama laki-laki lain tidak pernah sedikitpun
tercium aroma canggung. Meskipun mereka menyentuh kulitku, menggenggam tanganku
tanpa rasa ragu. Meskipun, mereka selalu memuji dandananku kencanku yang rapi-
tidak seperti kamu yang hanya tersenyum malu-malu sembari menatap aku.
Ah, kamu punya
hal yang tidak mereka punya.
Kencan-kencan
seharian denganmu selalu terasa mengesankan- lebih dari menyenangkan.
Seperti kencan
hari ini, kita berjalan ringan di taman.
Sesekali ku
lihat kamu memicingkan mata, karena matahari yang cukup terik. Untungnya, kamu
mengenakan topi itu.
Aku suka sekali
melihatmu mengenakan topi fedora itu, meskipun dengan begitu aku tidak bisa
menyentuh jambulmu yang tersembul.
Namun, ada yang
selalu aku pertanyakan. Mengapa kamu
tidak pernah menggenggam tanganku?
…
Dear.
Kamu, menciptakan banyak getaran di tubuhku. Di hatiku.
Setiap kali aku melihat penampilanmu, yang selalu bertambah
cantik setiap harinya.
Lidahku selalu bergetar, ingin memuji penampilanmu. Namun,
aku memilih untuk melengkungkan senyum sembari terus memperhatikanmu.
Setiap kali kulit kita bersentuhan, rasanya seakan disetrum.
Penuh kejutan, dan mengesankan- lebih dari sekedar menenangkan.
Setiap kali kamu menyenderkan kepalamu di bahuku, meski tanganku
bergetar akhirnya di kencan ketiga kita aku berani membelai halus rambut
sebahumu.
Dan, aku suka setiap kali kamu menggandeng tanganku secara
tiba-tiba dan memamerkan deretan gigi tanpa pagarmu itu.Namun, aku tak pernah cukup berani menggenggam tanganmu duluan.
Aku takut, kamu akan menolaknya. Dan, aku akan menelan rasa maluku sendiri.
Dan, aku takut kamu akan melepaskannya.
Untungnya, isi kepalaku sepertinya seringkali terbaca
olehmu.
Kamu menggenggam tanganku terlebih dulu, juga meminta izin ketika
akan melepasnya
Ya, aku memang bukan lelaki yang pemberani.
Namun, kamu adalah perempuanku- yang membuatku merasa
menjadi laki-laki paling berani di dunia.
Meskipun tidak terlibat duel dengan lelaki bertubuh kekar,
dengan otot-otot yang besar.
Meskipun tidak terlibat adegan penuh pertumpahan darah
dengan preman kelas dunia.
Meskipun tidak sedang menyelamatkan nyawa seseorang.
Kamu, adalah perempuanku- perempuan pertama yang kunyatakan
cinta. Perempuan pertama yang kukenalkan ke Ibu. Perempuan pertama yang
memaklumi sifat pemaluku. Peremuan pertama yang kuajak kencan.
Siang tadi, aku ingin menantang kembali nyaliku.
Aku ingin menggenggam tanganmu, meeratkan pelukan di antara
jemari kita.
Saat aku mendekatkan tanganku ke arah tanganmu.
Tiba-tiba suara kamera terdengar di belakang. Saat aku menoleh ke belakang, ada seorang remaja putri
sedang mengambil potret kita berdua. Pandangan kami sempat bertemu, dan dia hanya diam.
Dari pandangannya, dia menungguku menggenggam erat tanganmu.
Aku reflek membatalkan niatan tersebut, dan bergeser sedikit
darimu.
…
Atmosfir
yang tercipta di antara mereka begitu manis dan nyaman.
Obrolan
ringan dan lirikan-lirikan yang saling dilemparkan.
Berjalan
beriringan tanpa saling berpegang tangan.
Tebakku,
mereka adalah pasangan baru. Yang mungkin, belum genap 10 kali berkencan.
Lelaki
ini begitu payah, sesekali tangannya bergetar bergerak mendekati tangan
perempuan itu.
Aku terus berjalan di belakang mereka, sambil memegangi kamera yang terkalung di leherku.
Hingga
akhirnya jari mereka pun hampir berdekatan- aku pun mengambil foto untuk
mengabadikan momen (yang mungkin langka) itu.
Ternyata,
suara kameraku menghentikan gerakan lelaki itu.
Dia
memandangiku sekali. Setelah itu, membatalkan misinya dan bergeser sedikit dari
perempuan itu.
Uh. Dasar
payah.
Tyas Hanina
0 komentar:
Posting Komentar