Memasuki semester tua, semakin sedikit jam kuliah di dalam kelas. Waktu perkuliahan akan habis di lapangan, untuk latihan atau berpura-pura jadi jurnalis dalam kurun waktu beberapa bulan kedepan.
(Ngomong-ngomong, aku kangen nulis di blog ini dengan format diary anak SD. Hehe.)
Dear diary, hari ini aku ada kelas Kapita Selekta Jurnalistik. Aku gak paham apa makna di tiap patah kata mata kuliah ini sebenarnya. Apa itu kapita, maksudnya selekta bagaimana, dan, bahkan pengertian Jurnalistik yang udah jadi makanan sehari-hariku selama hampir 3 tahun ini.
Aku lupa ngerjain pekerjaan rumah, dan males juga buat ngerjain di dalem kelas. Aku malah asik main ular tangga yang jumlah kotaknya ada 104 dan garisnya mengsong-mengsong bareng Dedot. Permainan ular tangga kami berhenti di menit yang entah berapa, tanpa menemukan pemenangnya.
Dosenku (yang namanya tidak bisa kusebutkan di sini agar tulisanku terkesan misterius) akhirnya mengecek pekerjaan rumah satu persatu. Tiba giliran Dedot, yang hanya menjawab dengan cengiran khasnya, tapi setelah Dosenku berpaling darinya.. Dedot sibuk scroll linimasa instagram, melihat-lihat profil jurnalis foto kesukaannya.
Aku ingat, waktu semester satu, ketika ditanya mau jadi jurnalis macam apa, Dedot bilang dia pengen jadi jurnalis perang. Terdengar naif bahkan sampai sekarang. Tapi siapa yang tau? Lagipula saat itu dan sampai saat ini kita masih pura-pura toh jadi jurnalis? Jadi, ya gak perlu lah membatasi kepura-puraan ini.
Aku kira, nasibku akan sama mujurnya seperti kelas 2 SMA dulu, ketika guru matematikaku selalu menganggapku kasat mata. Mungkin aku dianggapnya tidak tahu apa-apa, atau justru paling tahu apa-apa. Entahlah. Namun, yang jelas hari ini aku tidak semujur itu.
"Saya belum kepikiran apa-apa, Bu."
"Selama seminggu ini gak kepikiran apapun?"
"Belum, masih ngawang."
Teman-temanku tertawa, ya itung-itung meramaikan suasana. Aku gak lantas scroll portal berita atau media sosial. Aku cuma duduk diam sambil mengelap hidung. Otakku bebal tidak bekerja dan memproduksi ide, malah hidungku yang giat memproduksi ingus.
Salah seorang teman mencolek bahuku, dan menyarankan satu dua topik bahasan. Tidak ada yang benar-benar membuatku penasaran.
-
Alih-alih menulis kronologi hariku yang biasa-biasa aja, harusnya aku riset topik penelitian yang katanya bakal lanjut jadi skripsi ini. Atau, daripada membuang-buang energi, pergi tidur saja lah.
Namun, aku tidak mampu. Usahaku untuk terlelap pergi ke jalan buntu.
Aku gak bisa mengatakan aku tergila-gila dengan kegiatan ini. Tapi, sialan, aku tidak bisa berhenti kepikiran.
Kenapa ya dulu aku memutuskan untuk latihan jadi jurnalis?
-
Aku pernah bercerita sekilas di sini. Tentang sahabat pena yang kudapat dari salah satu majalah anak dan kaitannya dengan kelahiran blog ini.
Aku pengen nulis, menyentuh kehidupan seseorang bukan lantas untuk mengubahnya (karena mungkin selamanya aku tidak akan cukup istimewa untuk melakukan itu). Tapi, aku ingin sentuhanku itu buat aku merasakan banyak hal.
Sejak kanak-kanak, aku merasa media massa bisa membuatku jalan-jalan ke mana saja. Tidak secanggih baling-baling bambunya Doraemon sih, tapi aku merasa cukup dengan sulap yang kutemukan di lembar-lembar majalah itu.
Anak-anak, perempuan, petani, laki-laki, tukang kue, guru, atau orang utan sekalipun bisa kurasakan sentuhannya dari media massa. Dan, aku ingin suatu waktu menyentuh mereka atau orang lain yang membacanya.
Mungkin jawabannya sesederhana itu.
Gatau sih.
Hehe.
-
Sepertinya aku harus buru-buru pergi tidur. Bukan karena ngantuk, tapi karena 6 jam dari sekarang aku harus kembali pura-pura jadi jurnalis lagi. Kepura-puraan itu menguras energi.
Tadi, di jalan buntu, waktu kuarahkan senterku. Ada beberapa petunjuk yang tertulis di temboknya. Gak bisa kutuliskan di sini. Karena kalo gitu, aku bukannya nulis catatan harian, tapi buat rancangan penelitian.
Udah ah, aku mau tidur.
Semoga aku mimpi ketemu Bona dan Rong-Rong.
Besok, atau lusa, atau minggu depan, aku akan nulis catatan harian lagi.
Jatinangor,
Tyas Hanina
1 komentar:
Haha haha ucul
Posting Komentar