"Memories Come Tumbling Down"
A twenty-seven-year-old office worker travels to the countryside while reminiscing about her childhood in Tokyo. |
“Pada suatu hari yang biasa-biasa
saja, kamu dan teman-teman masa kecilmu bermain untuk terakhir kalinya. Dan
tiada seorang pun dari kalian yang menyadarinya.”
Begitulah kira-kira bunyi tweet
yang kubaca sore tadi. Perihnya serupa dengan luka goretan cutter yang lahir dari kecerobohanku.
Dua hari lalu, film panjang karya
Studio Ghibli berdurasi kurang lebih dua jam ini kulahap abis. Perasaan nostalgia
mengetuk pintu, kupersilahkan ia masuk walaupun tidak ada hal yang bisa
kusuguhkan untuknya. Namun, bagaimana pun ia tetap tamu, kehadirannya tetap
kuhormati.
Taeko, tokoh utama dalam film ini adalah orang yang biasa-biasa
saja. Saking tidak istimewanya, aku yakin dia bisa dengan mudahnya dilupakan
walau alur film diambil dari sudut pandangnya. Dalam beberapa sisi, Taeko sangat mirip denganku.
Pada paruh pertama usianya, Taeko menghadapi hal-hal yang menjadi “titik
balik” dalam hidupnya. Cinta pertama yang bersembunyi dari perbuatan usil teman
lelakinya, masalah hidup yang dibalut dalam PR matematika, hingga pertengkaran-pertengkaran
sederhana dengan saudara-saudara kandungnya. Berbagai konflik pada masa
kecilnya itu dimunculkan dalam letupan-letupan yang tidak terduga di dalam
film.
Bagaimana nasib Taeko tujuh belas tahun kemudian? Taeko tumbuh menjadi sosok yang senang
bereksplorasi. Ia menolak pinangan seseorang yang entah siapa, dan memutuskan
untuk pergi berlibur ke desa selama 10 hari. Dari pengalaman singgahnya inilah
ia menemukan serangkaian titik balik lainnya.
Adalah Toshio, teman perjalanan Taeko
di desa itu. Dengannya, Taeko
banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol, salah satunya diawali dari sebuah
pertanyaan tentang alam. Apakah alam adalah sesuatu yang terlahir sendiri atau
hasil dari kumpulan usaha dan kenangan manusia?
“..but what you see here is all made by man. Every bit has its history, not just the fields and rice paddies, someone’s Great-Great Grandpa planted it, or cleared it, gathered firewood or picked mushrooms there. Mankind battles nature and receives from it. They evolve together, and create this scenery.”
Ujar Toshio
yang segera ditimpali oleh pertanyaan lanjutan oleh Taeko.
“So, without man, this wouldn’t exist?”
(Pertanyaan yang mungkin tidak
membutuhkan jawaban itu secara tidak langsung memberikan kesan betapa besar
kepala seorang manusia. Mungkin lebih luas dari jagat raya. Haha.)
Beberapa film karya Studio Ghibli
seringkali bercerita tentang pentingnya pelestarian lingkungan. Kadang-kadang
dibalut dengan karakter-karakter yang lucu seperti Rakun atau Dewa Hutan. Atau
manusia biasa-biasa saja seperti Taeko yang
hampir seluruh usianya dihabiskan di kota.
Aku menghargai sudut pandang
Toshio akan penciptaan alam dan campur tangan manusia di dalamnya. Lebih-lebih
dari itu, sepertinya akan bersinggungan dengan agama dan kepercayaan tiap orang
yang berbeda. Namun, diam-diam aku menyukai ide itu. Mungkin itulah kenapa
manusia senang mencampurkan fiksi dan realita.
Poin penting itu secara halus
tersampaikan. Tanpa perlu menjadi petani safflower
seumur hidup, Taeko dan orang-orang
lainnya berkesempatan mengenal alam dan belajar mencintainya.
-
Pada awal tulisan, aku sudah
mengatakan bahwa Taeko mirip
denganku. Dan, mungkin perasaan ini bukanlah sesuatu yang langka, sangat
mungkin penonton lain juga merasakannya. Sosok berusia 10 tahun yang ceroboh,
pundungan, dan merasa tidak bertalenta. Seperti Taeko yang mengorbankan mimpinya untuk menjadi pemain teater karena
larangan ayahnya, sebagian dari kita tumbuh dan berkembang dengan mencabut
sesuatu di dada. Entah itu harapan, entah itu impian. Yang jelas, hal yang
terlepas itu sampai kapan pun akan buat kita blingsatan.
Cerita tentang nostalgia ini
mungkin terdengar membosankan. Taeko bertamu
dengan masa lalu di mana saja, di peron kereta, di halaman belakang rumah
tempat singgahnya di desa, di pinggir bukit bersama Toshio, dan sebagainya.
Dua karakter yang sama tapi
berbeda usia ini beberapa kali muncul dalam satu scene, sekadar memberi isyarat bahwa anak kecil dalam diri Taeko tidak pernah benar-benar tanggal,
ia selalu tinggal di sana, di satu sudut dalam dirinya, menunggu untuk ditengok
dan didengarkan kisahnya.
Namun, Taeko mengambil langkah berani. Pada akhir film, ia memutuskan
untuk menghentikan kunjungannya di desa, juga sosok dirinya yang
berusia 10 tahun, beserta rombongan teman-teman masa kecilnya yang suka
merengek jatah untuk diingat.
-
Dengan alur cerita yang maju mundur, ragam konflik yang meletup perlahan-lahan, dan perkembangan karakter yang menjadikan film ini terasa istimewa. Aku
merekomendasikan film ini untuk kalian yang senang bertamu di
masa lalu, atau ingin menyuguhkan sesuatu untuk masa depan.
Seperti matahari, kenangan senang
timbul-tenggelam. Mumpung kalian punya kesempatan untuk menyaksikannya lebih
lama ketika menonton film ini. Aku ingin menyampaikan pesan dari Toshio, walaupun sebagian dari diri kita ketinggalan entah di mana, dan itu secara tidak langsung membuat diri kita tidak utuh, satu yang patut disyukuri kita tidak pernah kehilangan hati dan ragam perasaan yang pernah ada. Berbahagialah.
“..But we’ll never lose heart, we hate to cry, so let’s laugh instead”. |
Selamat menonton dan bernostalgia!
0 komentar:
Posting Komentar