Sekala Niskala (The Seen and
Unseen) | 2017 | Durasi: 86 menit | Sutradara: Kamila Andini | Penulis: Kamila
Andini | Produksi: Treewater Productions, fourcolours films | Negara: Indonesia
| Pemeran: Thaly Titi Kasih, Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena, Ayu Laksmi, I
Ketut Rina, Happy Salma, Gusti Ayu Raka
-
Saya selalu merasa bahwa anak
kembar memiliki kisah yang menarik. Bagaimana rasanya hidup berpisah raga
dengan teman mengobrol sejak dalam kandungan?
Seperti analogi telur yang
digunakan oleh Kamila Andini dalam film ini. Anak kembar digambarkan hidup
dengan berdampingan satu sama lain. Seperti siang dan malam, warna putih dan
warna hitam, atau putih telur dan kuning telur.
Pada scene pembuka film, kembar buncing yang menjadi tokoh sentral dalam
film ini (Tantri dan Tantra) makan bersama di depan dapur rumahnya. Alih-alih
membagi rata telur ceplok buatannya, Tantri memisahkan dua bagian telur. Putih
untuknya, dan kuning diletakkan di piring Tantra.
Saat Tantra dikabarkan sakit,
Tantri kehilangan seseorang untuk berbagi putih telurnya. Sedangkan, penyebab
sakitnya Tantra menjadi pertanyaan sendiri? Apakah Tantra sakit karena mencuri
telur dari piring sesajen? Atau benarkan Kembar Buncing memang membawa petaka
seperti mitos di Bali?
Dari sinilah, Sekala dan Niskala
mulai buram batasannya.
Pada penayangan film di Jatinangor Town Square, senin lalu, Mbak
Kamila bilang memang sudah jadi kebiasaan orang kita untuk menghubung-hubungkan suatu kejadian nyata dengan yang
tidak terlihat mata. Omongan yang dimulai dengan “konon katanya” seakan-akan
menghantui. Tapi, dalam film ini, Tantri memberitahu kita bahwa Sekala tidak
melulu cerah dan Niskala itu indah. Atau sebenarnya, sama saja gelap maupun
terangnya.
Petaka kehilangan dan kesedihan
Tantri memang tidak banyak disampaikan lewat verbal. Namun, tidak dapat
disangkal bahwa anak-anak juga merasakan itu. Hal-hal yang tabu bagi anak-anak
seperti kehidupan malam dan kematian dikisahkan dalam film ini.
-
Tantri memilih untuk tidak
mengisahkan kesedihannya lewat air mata. Ia masih menghabiskan waktu dengan
Tantra. Menonton Tantra bermain wayang-wayangan, menanam padi di halaman rumah
sakit, hingga sekadar memerhatikan bulan yang kian hari kian redup. Tantri juga
menari, menari sampai hampir pagi. Kadang dengan Tantra, kadang hanya Tantri.
Film ini minim dialog, dan
sepertinya memang fokus dalam aspek gerakan dan suara. Beberapa tarian diadopsi
dari gerakan binatang-binatang yang muncul dalam film, yaitu: Ayam (digambarkan
dengan tarian lompat-lompatan di kasur rumah sakit), kepompong (gerakan
guling-gulingan di rumah sakit dan sawah), kupu-kupu (gerakan tangan Tantri
saat menari tarian khas bali (maaf gatau namanya:’<), ulat (gerakan memanjat
pohon dengan postur tubuh terbalik), capung (lirikan mata Tantri saat menari
tarian khas bali), dan monyet (tarian paling emosional dari Tantri, campuran
amarah dan penerimaan).
Ada satu hal menarik yang
sepertinya luput dari perhatian penulis-penulis resensi film ini (sejauh yang
saya baca), yaitu bagaimana tokoh-tokoh figuran yang ikut menari bersama Tantri
dan Tantra digambarkan sebagai kembar buncing juga. Penampilan mereka hanya
bisa disaksikan saat malam hari, atau dalam kata lain saat film mengambil sudut
pandang imajinasi Tantri. Terdapat satu scene
film ketika mereka berjalan beriringan dengan pasangannya, dan Tantra,
satu-satunya yang memakai kostum ayam di barisan itu berjalan sendirian. Lalu,
menengok ke arah belakang, seolah mengisyaratkan sesuatu pada Tantri, entah itu
ajakan untuk bergabung dalam barisan atau menyuruh Tantri pulang dari
imajinasinya. Secara personal, adegan teatrikal kembang buncing ini begitu
magis buat saya. Walau, beberapa penonton justru ngeri melihat anak-anak
guling-gulingan di sawah pada malam hari. Tapi, justru itu yang jadi poin
bahasan, bagaimana anak-anak dan malam hari bukanlah sesuatu yang wajar
disandingkan.
Karena jarangnya dialog yang
ditemukan dalam film ini, begitu kata-kata itu dimunculkan, rasanya dada saya
ikut nyut-nyutan. Contohnya, adalah
dialog antara Tantri dan Ibu di sungai dekat rumahnya. Sembari menggosok cat
warna warni pada tubuh Tantri, Ibu bilang,
“Ibu tau kamu kangen sama Tantra. Ibu dan Bapak juga. Makanya, biarin ya Tantranya istirahat biar cepet sembuh..”
Seperti yang Mbak Kamila katakan,
ketika dirinya menjadi seorang Ibu, dia mulai memikirkan kembali bagaimana
pengaruh sosok ibu bagi anak-anak. Baik dalam film, ataupun kehidupan nyata, sulit memisahkan pengaruh seorang ibu ketika membicarakan anak-anak. Sosok Ibu
yang diperankan oleh Ayu Laksmi dalam film ini begitu lapang dada. Dia
berkali-kali membiarkan Tantri menghidupi imajinasinya, dan tidak memaksa
Tantri masuk ke kamar Tantra ketika pagi.
Dialog lain yang berkesan di
benak saya adalah omongan Tantri yang terkapar dalam tarian burungnya bersama
Tantra, bahwa dia rela bertukar peran-menjadi pihak yang mati rasa.
-
Film lokal yang mengambil latar
tempat di luar pulau jawa biasanya bertanggung jawab secara tidak langsung
untuk mendokumentasikan budaya dan keindahan alam di sana. Seperti dalam film
“Marlina: Si Pembunuh Dalam Empat Babak”, yang banyak mengambil shoot bukit-bukit di Sumba. Atau film
“Laskar Pelangi” yang punya objek wisata tersendiri di Belitung. Ada juga, “Ada
Apa Dengan Cinta 2” yang membuat gereja ayam yang muncul dalam salah satu scene film jadi ramai dikunjungi
wisatawan. Namun, kadang-kadang tanggung jawab ini menjadi beban, entah karena gak nyambung sama jalan ceritanya dan dipaksakan masuk ke dalam cerita, atau ada poin-poin yang sebenarnya gak berelasi dengan budaya asli di sana dan jadi perdebatan sendiri.
Keindahan alam dan kekayaan
budaya Indonesia menurut saya bukan mitos belaka yang dipublikasi oleh
film-film lokal. Namun, saya harus angkat jempol untuk film ini karena caranya
mengisahkan Bali begitu sederhana, tapi nyata.
Bali memang bukan daerah di
Indonesia yang perlu dikenalkan secara perdana lewat film. Bahkan, konon
katanya, Bali lebih terkenal dibanding negaranya sendiri di luar sana. Tidak
perlu ada pemandangan Pantai Kuta, lorong-lorong rumah sakit kelas dua hingga
pematang sawah saja sudah cukup kental nuansa lembut dan nyeni, yang menurut saya sangat Bali.
“Ini pasti orang asli
Bali semua yang jadi pemerannya,” kata salah seorang teman nonton saya usai
penayangan film.
-
Setelah menonton film ini saya gak lantas terburu-buru
pengen ke Bali, saya cuma pengen ketemu Mbak Kamila Andini. Karena film yang
hampir 90 menit ini bikin saya mati rasa- leher saya gak kerasa pegelnya walau
duduk di bangku L.
Ah, ada satu catatan yang saya rasa penting sekali!
XXI NGAPA BOCOR-BOCOR GITU DAH SUARA MUSIK DI RUANGAN
SEBELAHNYA?!
Jatinangor,
Tyas Hanina
0 komentar:
Posting Komentar