“Apa
sih yas menurut lu yang jadi titik balik dalam hidup lu?”
Pertanyaan yang orang ini lontarkan
cukup menyebalkan. Pertanyaan ini menggantung di langit-langit kala suara sang
pembawa acara memenuhi ruangan.
Kami sedang mengikuti rangkaian acara
Festival Indonesia Menggugat yang diadakan di GIM (Gedung Indonesia Menggugat)
Bandung pada tanggal 21 Mei yang lalu.
Gedung ini punya sejarah yang
menarik, di sini Soekarno diadili. Ada banyak sekali hiasan dalam gedung yang
bercerita tentang kisah hidup Soekarno. Festival Indonesia Menggugat yang
dimulai sejak 19 Mei yang lalu pun menurut saya pribadi sangat menarik dan
penting untuk diikuti.
Awalnya saya ke sini karena ajakan
orang ini. Itung-itung liputan. Yah, sekalian kasih santapan bergizi buat
pikiran.
Sesi diskusi pertama yang kami
ikuti adalah tentang musik sebagai bentuk perlawanan. Setelah itu, diskusi
tentang Soekarno dan Perlawanan Kelas dilakukan, jeda yang tercipta cukup lama
dan membuat kami sempat mengobrol tentang beberapa hal.
Pertanyaan itu adalah salah satu
bagian dari percakapan kami.
Ah, ya. Dan pertanyaan darinya itu
belum terjawab hingga saat ini saya mengetik ini.
Pertanyaan itu membuka
pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Rasanya pertanyaan-pertanyaan
itu saling berbenturan di dalam kepala
saya.
Kenapa dia tiba-tiba bertanya
seperti itu?
Ada apa dengan titik balik?
Memang apa sebenarnya makna titik
balik itu sendiri?
Katanya, titik balik adalah titik
di mana ada suatu peristiwa atau kejadian yang mengubah hidup saya. Or particularly, changing me into who i am
right now.
Dan, duh. Saya gak bisa jawab.
Emang saya yang sekarang ini siapa?
Emang saya yang dulu seperti apa?
Beberapa waktu yang lalu,
Saya pernah menulis di halaman blog
ini. Seperti ini :
“gue ngerasa gue bukan orang yang
sama. tapi, bukan orang yang beda pula.”
Dan ya, saya juga gak mengerti.
Saya gak paham sama diri saya sendiri.
Saya tahu saya orangnya rumit,
sesederhana itu.
Selain kurang konsisten dengan
penggunaan kata ganti orang pertama, saya juga kurang konsisten dalam menulis
di halaman blog ini.
Terus apalagi ya yang berbeda?
Physically.
Mungkin saya agak beda. Menyangkut angka tinggi badan, berat badan, dan
angka-angka lainnya yang mungkin bisa diukur dengan meteran.
Namun, mungkin yang saya temukan
berbeda dari diri saya sendiri adalah.. cara saya berpikir, cara saya mengatur
emosi, cara saya berbicara, cara saya memandang semesta, cara saya mencinta,
cara saya merasa, cara saya hidup di dunia. Ah hanya masalah cara.
Hanya? Rasanya setelah saya
merasa-rasa, ini terasa besar sekali efeknya.
Saya berbeda. Mungkin itu juga yang
akan teman-teman lama saya katakan kala bertemu kembali dengan saya.
Ah, teman lama yang benar-benar
kenal dekat dengan saya tentunya.
Teman yang sering berbagi pandangan
dengan saya. Teman yang sering melewatkan waktu tidur untuk mengobrol dengan
saya.
Setiap kali saya membaca kembali
tulisan-tulisan lama saya.
Saya suka tertawa, diam-diam merasa
malu dalam dada.
Betapa fase remaja itu saya lalui
dengan luar biasa.
Untungnya, saya menulis sehingga
saya tidak lupa.
Bahwa saya pernah seperti itu.
Saya pernah jadi tokoh jahat dalam
kisah hidup seseorang. Saya pernah patah hati dan tanpa sadar mematahkan hati
orang lainnya.
Saya pernah (merasa) jadi orang
paling beruntung sedunia- sesemesta. Saya pernah jadi orang paling norak saat
jatuh cinta.
Dari sekian banyak kejadian buruk
yang terjadi. Yang membawa tangis dan
senyum manis.
Saya lagi-lagi, masih tidak tahu
yang mana jadi titik balik dalam hidup saya.
Hehe.
...
Kurang
lebih ada 500 kata yang saya ketikkan. Belum juga ada jawaban.
Bersabar
sebentar.
Saya
sedang berpikir.
...
Ah, tepat tengah malam saya
mengetik kata ke 563 ini.
Di luar hujan deras sekali.
Sepertinya, sama intensitas
derasnya dengan waktu itu...
Malam yang merubah semuanya.
Tadinya saya adalah orang paling norak se-semesta, orang yang sering
mempublikasikan tulisan-tulisan penuh asmara. Lalu, menjadi orang paling
cengeng se-antariksa, orang yang sering menulis tulisan pahit khas orang patah
hati.
Malam itu, hati saya patah. Sepatah-patahnya.
Since
that night, i became bitter and untouchable.
Bicara soal kehilangan. Kehilangan
nenek saya pun rasanya merupakan salah satu peristiwa paling berpengaruh dalam
semesta saya.
Saya jadi ngerti, saya baru ngerti.
Kehilangan itu selalu ada dan
sangat dekat dengan kita. Seakan dia ada di depan wajah kita ketika kita
menutup mata ketika berkedip. Dan menyembunyikan wajahnya ketika kita membuka
mata kita kembali.
Saya jadi jauh lebih menghargai
siapapun dalam hidup saya. Saya jadi lebih gak malu buat nunjukin rasa peduli
saya. Saya jadi sangat khawatir jika terjadi sesuatu pada orang terdekat saya.
Singkatnya, saya jadi saya yang
lebih peduli. Saya gak se-apatis dulu lagi.
Sepertinya, tahun paling
berpengaruh dalam hidup saya adalah tahun lalu.
2015.
Saya jatuh cinta lagi pada orang
baru setelah sekian lama. Lalu, saya patah hati pada tahun yang sama. Saya
melepaskan dia dan kenangan buruk tentangnya.
Saya melepaskan seragam yang saya
kenakan selama 12 tahun lamanya.
Saya melepaskan akar yang menempel
pada telapak kaki saya di kota saya tercinta, untuk menempuh pendidikan di kota
yang jarak tempuhnya 5 jam lamanya.
Di kota baru ini,
Di kota tempat saya mengetik ini.
Ah,
gak kota sih. Orang kampung. Haha. Gue tau lo mau ngomong gitu nyet.
Saya belajar, banyak hal. Ah gak,
saya gak mau bahas kampus.
Titik titik perjumpaan saya bertemu
orang-orang baru. Mungkin itu bisa jadi titik balik saya juga.
Jauh dari rumah, jauh dari
fasilitas, jauh dari dimanja-manja sama ibu tercinta. Mungkin itu juga titik
balik saya.
Ketemu anda, orang yang mengajukan
pertanyaan menyebalkan ini dan buat saya gak bisa tidur sampe saya berhenti
mengetik ini. Mungkin, mungkin adalah titik balik dalam hidup saya juga.
Titik balik saya sepertinya banyak
sekali. Atau malah gak ada sama sekali ya?
Tulisan saya berantakan
sekali,karena saat saya memutuskan untuk menulis ini semua. Dengan harapan yang
menggebu-gebu untuk menjawab pertanyaan anda.
Ternyata, justru. Saya malah jadi
banyak nanya sama diri saya sendiri. Saya jadi harus membuka-buka laci ingatan
saya, membedah dengan hati-hati tiap bekas luka, dan menutup dan merapikannya
kembali dalam waktu yang tergesa.
Ah, ini sudah lewat tengah malam.
Saya masih terjaga.
Pertanyaannya pun sepertinya belum
lengkap terjawab.
Tulisan tentang titik balik ini
sepertinya tidak akan bertemu dengan titik akhir.
Saya tidak ingin terlalu banyak
memberikan informasi tentang diri saya. Saya tidak mau bercerita terlalu banyak
tentang semesta saya.
Semakin banyak huruf yang saya tuliskan,
rasanya saya jadi semakin transparan.
Jadi, saya sudahi sampai sini
tulisan ini.
Masnya, terima kasih pertanyaannya. |
0 komentar:
Posting Komentar