Malamku tersusun oleh seracik
percakapan dengan bumbu-bumbu kerinduan dengan beberapa orang teman di masa
sekolahku yang kutinggalkan dua tahun silam.
Tidak banyak yang berubah dari
mereka. Bahkan rasanya sama saja. Jika kita membicarakan perihal fisikal.
Namun, aku yakin. Benturan-benturan
yang terjadi di hidup mereka (sepengetahuan atau tanpa sepengetahuanku) membentuk
mereka. Menjadi sesuatu yang berbeda.
Mungkin, aku juga seperti itu.
Beberapa dari mereka masih ku
curi dengar perihal semestanya, lewat percakapan-percakapan di aplikasi chat. Beberapa hanya ku cari tahu dari
hal-hal yang mereka bagikan di media sosialnya. Beberapa menghilang begitu
saja, menguap bersama kesibukan di semestanya (dan muncul kembali malam ini!).
...
Salah satunya, ada yang baru saja
menyelesaikan pendidikan kepolisian tujuh bulan silam. Ia adalah satu-satunya
orang di ruangan ini yang kulihat perubahan fisiknya. Dulu dia berisi, jika
tidak ingin kusebut gemuk. Kini, otot lengannya begitu kekar seperti iklan susu
pria dewasa. Lucu melihatnya mengenakan kaus berwarna merah muda yang ketat.
Lalu, kuingat perjuangannya menjaga pola makan dan olahraga rutin ketika SMA
dahulu. Ia jadi makin terlihat lucu.
Kami sempat bercakap-cakap
seputar profesinya yang baru, pak pol. Ah, sebaiknya tak usah kusebut di mana
tempat ia biasa bertugas. Namun, dari bibirnya mengalun kisah yang baru ku
ketahui malam ini saja.
Satu hal yang buatku
menyerngitkan dahiku adalah komentarnya tentang pendidikan yang ku jalani saat
ini, sebagai seorang jurnalis.
“Ah, kerjanya cuma nanya-nanya doang”.
Aku hanya tertawa perlahan.
...
Salah seorang teman memecah
percakapan dengan keluhannya. Ada telepon masuk dari orang tidak dikenal.
Berulang-ulang. Cukup mengganggu memang.
Mencoba membantu sebisa yang ku
mampu. Kuangkat teleponnya karena sepertinya kewarasannya hilang oleh rasa
panik yang terlalu.
Ternyata, hanya suara dari
operator. Entah bagaimana. Memberitahukan sederet angka verifikasi untuk alamat
surelnya. Kucatat nomornya, dan dugaanku akunnya sedang dicoba untuk dibobol
oleh entah siapapun itu.
Kusarankan padanya untuk
mengganti seluruh kata sandi media sosialnya (yang tidak terlalu banyak
jumlahnya). Saat dia sedang berusaha mengingat kata sandi akun twitternya,
seorang temanku berkata,
“Lah lu masih main twitter?”
Lalu, aku teringat sesuatu. Beberapa waktu yang lalu, ada yang bertanya
dengan nada yang bagiku meremehkan.
“Zaman sekarang masih
ada emang yang main twitter?”
Aku hanya tersenyum simpul
sebagai responku.
...
Temanku yang lain, tahu benar
bagaimana membuatku terhanyut dalam percakapan.
Ia membahas film.
Ku ceritakan padanya salah satu
film buatan lokal yang ku rasa bagus. Namun, tidak untuk teman menontonku saat
itu.
Kami menontonnya sekitar bulan
Februari lalu. Aku sempat menulis ulasan film itu, tapi rasa malas membuatku
urung untuk melanjutkannya.
Bioskopnya tidak terlalu ramai,
kalau tidak ingin kusebut sepi sekali.
Terus terang, aku sangat menunggu
film ini sebelumnya. Dan, aku tidak terlalu kecewa dibuatnya.
Awalnya kukira ia akan
menyukainya, ternyata aku keliru. Namun, aku tidak kecewa karena ketidaksukaannya
itu.
Ia berkata dengan nada yang
bagiku meledek,
‘”Oh, jadi gitu ya
selera film lu.”
Namun, lagi-lagi. Aku hanya
merespon dengan diamku.
Temanku yang mendengar cerita ini
menjadi gusar lalu mengucapkan kalimat yang berdengung di kepalaku hari itu.
“Emang ada yang salah
ya sama selera yang beda?”
...
Sebenarnya, ada banyak kutipan
percakapan kami malam ini, yang ingin kutuliskan di sini.
Namun, aku rasa cukup sampai di
sini saja.
Ada beberapa yang terlupa, ada
beberapa yang baiknya disimpan di kepala.
Bagiku, bertemu dan
bercakap-cakap dengan teman lama selalu menyenangkan.
Aku suka harum nostalgia yang
memenuhi ruangan.
Aku suka berbagi tawa tanpa jeda.
Aku suka bagaimana pun bentuk
pernyataan dan pertanyaan yang keluar dari lidah mereka.
Bagiku, seorang teman bukanlah
seseorang yang harus sama di segala sisinya denganku.
Aku suka bagaimana pikiran-pikiran
kami berbentur dalam percakapan.
Aku suka menyadari bahwa begitu
banyak perbedaan.
Aku suka bagaimana kami tidak
mempersalahkan itu semua.
Biarlah, tak apa.
Mereka tidak mengetahui bagaimana
semestaku secara lebih luasnya. Tidak paham betul bagaimana aku mencintai
pendidikan dan profesiku kelak.
Tak apa, mungkin aku juga begitu.
Acapkali menilai sesuatu sebelum aku benar-benar mengenalnya.
Bukan masalah.
Apabila bagi mereka sesuatu itu
sudah ketinggalan zaman.
Namun, bagiku justru tak lekang
oleh zaman.
Kumpulan kicauan itu bagi mereka
basi. Padahal kalau mereka menyadari..
Segala informasi tercepat, segala
jokes terhebat. Yang mereka lihat di
media sosial lain. Itu berawal dari sana.
Tak apa, mungkin mereka sudah
merasa tidak nyaman. Atau justru aku yang terlalu terjebak oleh zona nyaman.
Perihal selera.
Biarlah tak usah diperdebatkan.
Masih banyak hal penting yang
bisa kita bawa di meja debat atau orasikan.
Bukan perihal film mana yang
paling apik atau band mana yang paling keren.
Itu, pemerintah yang katanya gak becus.
(Kalau kata salah seorang teman
yang gak hadir malam ini sih, mending didemo sekalian.)
Lagi-lagi, tak apa. Mungkin
mereka terlalu cinta dengan apapun itu selera mereka. Ya, aku juga cinta pada
apapun yang menjadi seleraku. Namun, mungkin hanya cara kami mencinta yang
berbeda.
Bagiku seleraku, bagimu seleramu.
...
Ah, aku menyadari satu hal.
Cara pikirku makin rumit saja.
Ngobrol ngalor-ngidul aja kok sampe ditulis di blog.
Ribet.
Tyas Hanina
0 komentar:
Posting Komentar