Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Sekelompok orang pecinta sastra berkumpul. Tirai merah dibuka. Lantunan musik dan musikalisasi puisi memenuhi gendang telinga. Di luar hujan turun dengan derasnya, di luar para polisi yang berjaga berteduh untuk sementara.
Dalam sesi From Poetry To Movie di acara Asean Literary Festival dua minggu
lalu. Saya akhirnya memiliki kesempatan untuk bertemu dengan salah satu penulis
favorit saya, orang ini gemar berkicau di twitter dengan username @hurufkecil.
Ya, Aan Mansyur.
Saya sudah lama membaca buku puisi Aan, yang dulu hanya bisa dipesan melalui e-mail penerbitnya karena masih self publishing. Buku-buku itu tidak bisa ditemukan di toko buku pada saat itu. Kata-kata Aan sederhana, tapi bermakna. Kisah yang seringkali Aan ceritakan dalam bukunya adalah tentang ibu dan ayahnya.
Kini, buku Aan yang berjudul “Tidak Ada New York Hari Ini” sulit ditemukan di toko buku. Namun, kali ini keadaannya berbeda. Buku tersebut hampir selalu habis stoknya di toko buku. Buku yang bercerita tentang bagaimana Rangga dan semestanya di New York. Buku puisi ini juga dilengkapi dengan foto-foto New York oleh M Rizal. Hal yang paling menarik dari buku puisi ini selain puisinya adalah.. bagaimana buku puisi ini terjual sebanyak 19.000 buah dalam kurun waktu seminggu. Wow. Itu angka yang besar.
Saya bukan penggemar angka, saya sukanya kata. Sebagai penggemar kata, sebagai pengagum Aan, dan sebagai orang yang naksir Rangga. Saya merasa takjub dengan angka itu. Aan pun sepertinya begitu, ia mengatakan bahwa ini merupakan fenomena baru di Indonesia bagaimana anak muda Indonesia berbondong-bondong ke toko buku untuk membeli buku puisi. Tak lupa ia selipkan humor dalam keriangannya, “ya, mungkin karena mereka pikir Nicholas Saputra sendiri yang nulis.”
Rangga, adalah sosok yang Aan Mansyur dan Nicholas Saputra perebutkan. Mereka berdua hanya berbeda media saja. Aan lewat barisan hurufnya sedangkan Nicholas Saputra lewat aktingnya. Ah, saya naksir keduanya. Aan dengan imaji dan kelincahan kata-katanya dan Nicholas dengan paras tampan dan karismatiknya.
Aan mengaku bahwa ia merasakan ada ikatan batin antara ia dan Rangga. Keduanya sama-sama terpisah dari orang tuanya. Rangga dengan Ibunya, Aan dengan Ayahnya. Seperti yang saya singgung dalam paragraf di awal. Aan seringkali membahas tentang Ayahnya yang menghilang dalam puisi-puisinya. Begitu pula, “Rangga”.
Ketika kita membicarakan puisi Aan, kita tidak bisa terlepas dari sosok Ibunya. Ibu Aan adalah pembaca pertama puisi-puisinya. Aan tidak tinggal bersama ibunya, tapi yang unik dari hubungan ibu dan anak ini adalah mereka berkomunikasi lewat puisi. Jika, Aan mulai ditelan oleh kesibukan dan tidak lagi menyempatkan diri untuk menulis dan mengirimkan puisi kepada ibunya. Ibunya akan menelponnya. Bukan kalimat pertanyaan mengenai kabar Aan yang keluar dari mulut ibunya, tapi sebuah pertanyaan sederhana. “Kamu sudah berhenti menulis puisi?”. Kalimat sederhana itu diartikan Aan sebagai kalimat, “Saya kangen” dari Ibunya.
Selain sebagai media untuk berkomunikasi dengan sang Ibu. Aan mengatakan bahwa puisi adalah medianya untuk bertanya dan menemukan jawaban itu sendiri. Bahkan, seringkali puisinya hanya berisi pertanyaan. Aan menulis puisi untuk tahu apa yang harus dia tanyakan. Bagi saya, ini juga merupakan caranya berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Sama seperti Aan, saya pun gemar menulis puisi. Membentuk barisan huruf menjadi kata. Kata menjadi frasa. Frasa menjadi klausa. Klausa menjadi kalimat. Kalimat itu kemudian saya lumat dalam kepala saya, menjadi sebaris tanya yang kemudian akan melahirkan puisi baru lagi. Puisi pun saya gunakan sebagai media berkomunikasi dengan diri saya sendiri.
Linimasa yang saya amati akhir-akhir ini pun penuh oleh puisi. Ada banyak akun-akun yang membagikan foto berisi puisi singkat. Teman-teman saya yang mengaku tidak terlalu suka membaca pun membagikannya, menandakan bahwa mereka suka. Walaupun mungkin ada orang nyinyir tentang puisi-puisi tersebut, yang katanya hanya berisi kalimat-kalimat galau kisah asmara saja.. mengutip dari perkataan Aan Mansyur “Siapa sih yang tidak galau di Indonesia? Orang gila yang tidak galau di Indonesia”. Lagipula, cinta adalah topik yang selalu laku di setiap kalangan. Seakan tidak ada istilah kadaluwarsa saat membahas cinta.
“Penyair di Indonesia itu kaya
tukang tambal ban. Tiap tikungan ada. Saya harus mencari penyair yang bisa
membuat saya jadi penyair juga. Penyair lahir dari penyair-penyair lain.” Ujar
Aan yang disambut gelak tawa para penonton yang mungkin adalah penyair yang
lahir dari puisi-puisinya. Saya rasa, saya pun salah satu penyair itu.
Kita
tidak bisa tidak berkomunikasi. Kita tidak bisa berhenti berpuisi.
0 komentar:
Posting Komentar