One Chance
POV : Him
Dua hari setelah hari pernikahan Dyo. Gue
pulang, ke tempat di mana gue seharusnya berada.
Nyokap protes dengan kepulangan gue yang
katanya terlalu mendadak. Dia protes dengan penggunaan kata pulang yang gue
pakai, dia bilang :
“Kamu mau pulang ke
mana? Di sini rumah kamu. Ibu, rumah kamu.”
Serasa ada tamparan di pipi ketika
mendengarnya. Tentu, tentu selamanya akan begitu. Sejauh mana pun gue
melangkah, kepada Ibu lah gue pasti kembali.
Tapi, maksud gue mengucapkan kata pulang
adalah untuk menghindari kata pergi.
Gue pulang ke sana bukan berarti gue gak
bakal kembali ke sini kan?
Gue benci mendengar kata pergi, terlebih lagi
menggunakannya. Terlebih lagi melakukannya.
Meski Ibu tidak mengerti sepenuhnya keputusan
gue untuk “pulang”, tapi dia tetap bersedia mengantar gue ke bandar udara.
Membekali gue dengan makanan, nasihat dan saran-saran.
“Kamu gak bisa
terus-terusan melarikan diri. Tempat kamu di sini.”
“Melarikan diri? Aku gak
kabur dari apapun Bu.”
“Pulang ke sini lagi.
Jangan lupa ama Ibu.”
Katanya, ketika gue
mencium telapak tangannya sebagai ucapan perpisahan.
“Pasti aku gak akan
lupa sama Ibu.”
“Jangan lupa pulang
ke sini.”
Ulangnya.
“Aku pasti pulang ke
sini, Ibu.”
...
Gue selalu suka suasana di sini, di bandar
udara. Ataupun di tempat-tempat sejenisnya, seperti stasiun kereta api,
terminal bus, pelabuhan dan lain sebagainya.
Tempat di mana seseorang berangkat ke suatu
tempat, atau pulang kembali.
Tempat di mana seseorang harus melepas
akar-akar di kakinya yang melekat di bawah kota kelahirannya, tempat di mana
seseorang yang lainnya harus melepas doa dan rasa rela melepas kesayangannya.
Gue suka mengamati orang-orang, dan di tempat
seperti ini gue ketemu banyak orang yang menarik untuk gue amati.
Kadang, gue beranikan diri untuk membuka
obrolan dengan mereka.
Atau kadang, gue hanya berani untuk membuat
cerita tentang mereka di kepala gue.
Hari ini, di ruang tunggu bandar udara.
Gue mengamati sepasang kekasih yang duduk di
depan gue. Tangan mereka saling menggandeng. Di tangan kiri sang perempuan
tergenggam erat sebuah peta dunia. Di tangan kanan sang laki-laki, ada dua buah
paspor negara. Di samping kaki mereka terdapat dua buah ransel besar.
Dugaan gue, pasangan ini sudah bersama dalam
jangka waktu yang cukup lama. Sehingga bisa saling percaya untuk pergi berdua
bersama ke suatu tempat baru. Dan sepertinya, ini trip berdua mereka yang
pertama kali. Terlihat dari antusiasme di wajah mereka, dan genggaman erat
tangan mereka pada peta dunia dan paspor mereka berdua.
Pengalaman gue mengajarkan, salah satu cara
terbaik untuk mengetahui pribadi seseorang yang sebenarnya adalah dengan
berpergian bersama dengannya.
Selama perjalanan, tidak hanya hal
menyenangkan yang menunggu. Banyak tanggung jawab dan kejadian mengejutkan yang
ikut menanti.
Semoga, pasangan ini sama-sama bisa menikmati
perjalanan mereka berdua.
Tapi, di lain sisi. Ada rasa ngeri dengan
cerita mereka yang gue buat di kepala gue sendiri.
Tentu akan banyak memori yang tercipta selama
perjalanan.
Bagaimana jika suatu hari mereka berpisah?
Tentu tidak mudah melepas satu persatu
kenangan yang mengikat mereka.
Di setiap tempat yang pernah mereka datangi
berdua, akan ada kenangan yang menunggu di sana. Di setiap lagu yang pernah
mereka senandungkan berdua, akan ada luka yang menunggu di dengarkan. Di setiap
potret diri berdua, akan ada rindu yang menunggu di lihat.
Bagaimana cara mereka bisa melepas semua itu?
Selama gue sama Dia,
Tidak banyak tempat yang kami kunjungi. Dia
kurang suka berpergian, tapi suka berlama-lama di suatu tempat kesukaannya.
Tidak banyak lagu yang kami senandungkan
bersama. Dia sangat pemalu, dia seringkali menyembunyikan suaranya. Tapi, ada
beberapa mixtape berisi kumpulan lagu yang gue buat untuknya.
Tidak banyak potret diri kami yang tercipta.
Meski hubungan kami bisa terbilang lama.
Dia kurang suka difoto, gue suka mengerjai dia dengan cara memfotonya
diam-diam.
Tapi, segala kenangan juga luka masih susah
gue lepaskan dari diri gue. Bahkan hingga saat ini. Ah, sial gue jadi rindu.
Ketika kali terakhir kami bertemu, gue gak
tau apa yang mengontrol diri gue sepenuhnya saat itu. Gue tidak bisa menahan
senyuman gue, tapi ada rasa nyeri dan gengsi untuk menyapa terlebih dulu.
Gue membuang pandangan gue ke jendela,
diam-diam berharap dia masih memandangi gue.
Meski begitu, gue tetap mencoba bersikap
biasa saja. Meminum kopi hitam di meja, untuk menghentikan lidah gue yang ingin
menyapa. Mengajak ngobrol Dyo kembali, untuk segera lupa akan segala rentetan
pertanyaan yang ingin gue tanyakan ke dia.
Gue ingin biasa aja. Gue gak ingin membenci
wanita yang dulu pernah buat gue bangga, gue gak bisa. Gue juga gak pengen
terus menerus menyayangi wanita ini kaya dulu, dan gak pernah bisa berbalik
membuat dia merasakan hal yang sama.
Selama kami bersama, gue memberi dia banyak
kesempatan untuk mencoba jatuh cinta kepada gue. Gue memberi lebih banyak
kesempatan lagi kepada diri sendiri, untuk mempertahankan dia- untuk
mempertahankan kita.
But,
She
only get one chance to break my heart.
Ah, jadi melankolis kan gue.
Suara pengumuman keberangkatan pesawat yang
akan gue naiki terdengar. Gue bangkit dari kursi, memakai tas gue. Menggenggam
erat paspor gue.
Memberikan senyuman gue kepada dua pasang
muda mudi yang sedang saling jatuh hati di depan gue. Rasa terima kasih, karena
mereka sudah mengingatkan gue akan dia,
terima kasih karena setelah mengingatnya. Gue semakin yakin.
Gue melangkah pasti.
Gue gak sedang melarikan diri.
Gue sedang memulai hidup gue yang baru.
Sehingga, ketika gue pulang kembali ke kota
ini. Gak akan lagi ada jejak pahit dan rasa sakit di hati.
...
Dear Him, are you sad inside?
...
Salt Water
POV : Her
They're
all these and those, nothing
I don't care
It's okay
I'm used to being alone myself
I was so cold
I was so emotionless
These days I'm a bit strange
I was so greedy
I was so selfish
But I started to let myself go little by little
I get everything I've wanted
But I can't have what I need
I don't care
It's okay
I'm used to being alone myself
I was so cold
I was so emotionless
These days I'm a bit strange
I was so greedy
I was so selfish
But I started to let myself go little by little
I get everything I've wanted
But I can't have what I need
(Taeyang – Let Go)
...
Gue mengusap keringat yang mengalir di kening
gue dengan handuk yang diberikannya.
“Masih kuat?”
Tanya Rama, Bos Gue.
Gue mengangkat bahu, mengambil ancang-ancang
untuk berlari lagi.
Tapi, untuk berdiri aja gue gak sanggup. Untungnya,
ada Rama. Dia segera menjadi tumpuan buat gue.
“Udah jangan paksain diri sendiri.”
“I’m okay.”
“I know you’re not.”
Gue mengalah kepada diri gue sendiri. Baiklah
istirahat untuk beberapa lama, tidak akan berarti apa-apa.
Gue duduk di kursi taman. Tiba-tiba ada
sensasi dingin di pipi gue.
Rupanya, Rama menempelkan air mineral dingin.
Gue membisikkan kata terima kasih. Dia duduk
di samping gue.
Selama beberapa lama kami hanya duduk diam.
“Kenapa...”
“Hah?”
Rama menarik nafas sebelum melanjutkan
pertanyaannya.
“Kenapa pilih lari?
Dari sekian banyak olahraga?”
“Gue payah di bidang
ini Ram, gue gak suka olahraga beregu. Cuma lari yang gue bisa dari kecil.”
“biasa kabur dari
nyokap ya pas kecil?”
“Hahaha kan waktu
dulu mah mainnya emang lari-larian.”
Lalu kami larut dengan pembicaraan tentang
permainan masa kecil. Seperti galaksin, petak umpet, tapak gunung, batu tujuh,
polisi maling, dan lain-lainnya.
“Bagus sih olahraga. Tapi
gak bagus jadinya kalo lo maksain diri kaya gini.”
“Gue gak maksa...”
“Kenapa harus lari
coba? Mau belajar lari dari masa lalu ya? Hahahaha.”
Rama tertawa begitu puas.
Dan raut muka gue bias.
Karena gue tidak menanggapi omongannya (untuk
kesekian kalinya hari itu). Dia sepertinya mulai lelah, dan memutuskan untuk
menyerah.
Tiba-tiba, jidat gue basah oleh sesuatu.
Hujan gerimis turun.
Orang-orang yang berolahraga di taman dan melakukan
aktivitas lainnya segera berlarian ke sana ke mari mencari tempat berteduh.
Rama menarik tangan gue, mengajak gue pergi
untuk menghindari hujan.
Gue menggeleng.
“Kenapa lagi sih yas?”
Ada rasa putus asa
yang terdengar dari pertanyaannya.
“Ya gapapa.”
“...”
Dia duduk kembali di samping gue. Gue
memandangnya heran.
“Kalo mau sakit
jangan sendirian. Gue temenin.”
Gue tertawa mendengar kalimatnya, yang maksa.
“Sana neduh.” Gue
mendorong bahunya pelan.
“Sama lu tapi.”
“Dih ogah.”
“...”
“Lo suka hujan ya?”
Pertanyaannya membenturkan gue ke kenangan
lama. Seseorang pernah bertanya hal yang serupa pada suatu waktu.
Gue hanya mengangguk, tidak bisa menahan
senyuman.
“Kenapa?”
“...”
Hujan semakin deras. Mungkin orang-orang yang
berteduh memandang kami sebagai dua orang yang tidak waras.
Gue tidak menjawab pertanyaan Rama. Dan
berbalik mengajaknya pergi.
“Ram? Hujannya makin
deras.. Ke laut yuk?”
“Lo sakit ya yas?
Ujan gini kok ke laut.”
“Gue belom pernah
liat ujan di laut.”
“Gue juga. Tapi kan....”
“Kenapa?”
“Kenapa lo mau liat
hujan di lautan?”
“I want to wash away all of my pain."
...
"The
cure for anything is salt water - sweat, tears, or the sea."
Isak
Dinesen
...
Dear Her, Are you satisfied?
...
(Cerita ini adalah lanjutan dari "Is This Love?" dan "Are you happy, My Dear?")
Tyas Hanina