Hari kedua #WritingChallenge
Tema : Abu-Abu
(Tema ini direkomendasikan oleh Yuniar Dwi Putri)
Undefined
“Nanti
jendelanya nervous lho kamu liatin mulu.”
“Hmm..”
Aku hanya
tertawa mendengar gurauannya.
“Ada
apa sih di luar?”
Dia berdiri
dari kursinya, dengan telapak tangan bertumpu pada meja. Dia ikut melihat-lihat
ke luar jendela. Tidak ada siapapun atau apapun yang istimewa di luar sana, setidaknya
untuknya.
“Ah.
Aku tau kamu mandangin apa dari tadi.”
Aku
mengangkat alisku satu, bertanya-tanya apakah dia benar-benar mengetahuinya
dalam hati.
“Langit.”
...
Pria
yang kini duduk di depanku ini.
Memang
selalu seperti ini, sejak pertama kali kami saling memperkenalkan diri.
Mulutnya
seperti tidak pernah kehabisan kata untuk mengajakku ngobrol, dan tertawa.
Dan dia
senang menggulirkan pertanyaan, karena dia hampir selalu penasaran.
Meskipun
kadang aku hanya meresponnya dengan diamku. Walau diam-diam aku menyukai
usahanya itu.
Pria
yang saat ini memakai Sweater abu-abu
polos ini- memiliki keistimewaan.
Salah
satunya adalah,
Dia
mengingat detail-detail hal yang pernah kuucapkan- dan kulakukan.
Tanpa pernah kusadari bahwa dia memberikan perhatian
pada hal-hal itu.
Aku menjawab
pernyataannya dengan anggukan.
“Langitnya
kelabu.”
Selepas
aku mengucapkan dua kata itu, pintu masuk Kafe berdecit. Pertanda datangnya
pelanggan baru.
Aku
melirik pelanggan baru itu dari ujung mataku, seorang pasangan muda.
“Seperti
hatimu?”
Dia menyeruput
Kopinya cepat setelah bertanya padaku- tanpa pernah memperdulikan panasnya. Uap
panas dari kopi itu, membentuk embun di kacamatanya.
Aku
mengangkat bahu.
“I'm in love-hate relationship with grey
colours.”
“Oh
. Aku fikir kamu sedang tidak berikatan hubungan dengan apapun saat ini.”
Kami sama-sama
tersenyum, karena hal itu hampir benar adanya.
Hampir
tidak ada hal apapun yang mengikatku saat ini.
Kecuali,
dia- pria ini mengikatku.
Tanpa pernah dia sadari- bahwa dia sudah menyentuh tali
itu. Dan memperumit ikatan itu setiap pertemuan demi pertemuan kami.
Namun, dia tidak pernah tau.
Kini,
dia duduk diam di kursinya. Dengan kilatan mata yang tidak pernah diam
memandangiku.
Ikatan itu semakin rumit
dibuatnya.
Aku bisa
membaca dari pandangannya, bahwa dia memintaku bercerita.
Kulemparkan
pandanganku ke arah jendela, ke arah langit kelabu.
“Aku
menyukai warna abu-abu...” Kataku sambil
melirik sweaternya.
“Abu-abu itu melambangkan sesuatu yang
tidak terdefinisi.”
“Warnanya
netral, dan cenderung permanen.”
“Begitulah
keindahan yang terkandung di dalamnya.”
Belum
selesai aku menceritakannya. Dia memotong ucapanku.
“Sepertimu.”
Ucapnya
sangat pelan, tapi aku mendengarnya dengan jelas seakan hal itu diteriakkan di
depan telingaku.
Aku
tidak tau apakah dia sedang bergumam untuk dirinya sendiri, atau berniat
memujiku.
Aku
tidak tertawa. Tapi, aku pun tidak kuasa mengontrol bibirku untuk tidak
tersenyum.
Aku
menekan perutku, kupu-kupu di dalamnya bertambah liar menari.
Semakin rumit.
“Lanjutkanlah.”
Katanya, seperti tidak sadar bahwa dia yang sudah memotongnya tadi.
“Tapi,
ketika abu-abu melukiskan warnanya di
langit. Seperti sore ini.”
“Aku
tidak menyukai kehadirannya.”
Lalu aku
kembali dalam diamku, untuk sementara.
Menciumi
harum kopiku, dan meninumnya secara perlahan.
“Masih
panas kopinya? Sejak lama kamu diamkan tadi.”
Aku
memang tidak terlalu suka minuman panas. Tapi aku tergila pada kopi, terlebih
kopi buatan kafe ini.
“Ya.”
Dia
selalu ingat.
“Jadi..
Kenapa? Bukankah langit dan warna kelabu itu
sendiri adalah kesukaanmu, mengapa justru ketika mereka digabungkan kau tidak
menyukainya?”
Dia
menanyakan pertanyaan panjangnya dengan lancar. Tidak sepertiku yang
sepotong-potong ketika menceritakan sesuatu.
“Karena..
ketika langit kelabu. Kita tidak
mendapat kepastian. Kapan hujan akan turun. Apakah hanya gerimis yang dibawanya
atau badai besar? Apakah justru kelabu
itu hanya sementara, sedangkan matahari tengah bersembunyi di baliknya?”
“Lalu
apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus berhenti lalu meneduh walau
hujan belum turun, atau kita harus melanjutkan perjalanan dengan ada resiko
kehujanan?”
“Dia
menimbulkan terlalu banyak pertanyaan. Aku suka pertanyaan. Tapi aku benci
tiadanya kepastian.”
...
“Bukankah,
seperti itu kita sekarang?”
Aku tidak
tau apakah itu sebuah pertanyaan atau justru pernyataan.
Aku
kembali dalam diamku. Begitupun juga dengan dia.
Apa yang
kami pikirkan mungkin tidaklah sama, tapi aku sadar.. sebaris kalimat yang aku
ucap barusan menimbulkan pertanyaan yang hampir sama di benak kami.
“Bukankah saat ini hubungan kita terjebak dalam zona abu-abu?”
Salah
satu dari kami akhirnya mengeluarkan pertanyaan itu. Aku tidak tau siapa yang
bertanya, apakah aku ataukah dia? Karena kalimat pertanyaan itu persis dengan
apa yang tengah kupikirkan.
Apakah
aku lepas kendali... atau...
“Maaf.”
Tiba-tiba
bibirnya mengeluarkan kata itu. Entah untuk alasan apa.
Dan
entah kenapa, kata maaf itu justru terdengar menyakitkan.
...
Hujan pun tumpah ke
jalanan.
Jendela berembun
dibuatnya.
Saat ini begitu
banyak pertanyaan.
Namun, dia hanya
menjawab dalam diamnya.
Maaf yang baru saja
dia ucapakan.
Terasa seakan
pukulan telak di kepala.
Menyakitkan.
Tyas Hanina
0 komentar:
Posting Komentar