Hari pertama #WritingChallenge
Tema : Diam
Ledakan
Diamnya
seorang perempuan bisa berarti banyak hal.
Bisa
karena emosi yang menumpuk di dalamnya, dan bersiap untuk meledak kapan saja.
Namun,
Ledakan
itu belum pernah terjadi. Sejak kali pertama kami saling memperkenalkan diri.
Sejak
awal, dia memang pendiam sekali. Dia hanya sesekali menjawab ucapanku.
Dan
aku berkali-kali mencoba untuk membuatnya tertawa, karena aku ingin membuatnya
suka (setidaknya tertarik) padaku seperti saran orang-orang di luar sana.
Dia
tertawa, dan setelahnya dia kembali dalam diamnya.
Dia
tidak tertawa dengan terbahak-bahak sehingga semua orang menoleh ke arahnya. Tawanya
tidak memekik seperti suara tercekik. Tapi, tawanya juga bukan jenis tawa
malu-malu.
Dia
hanya tersenyum- lebih lebar dari sebelumnya. Hingga lesung di pipi kanannya
terlihat lebih dalam.
Dan
pelan sekali aku mendengar dia mengatakan “hmm”.
Aku
tau dia tertawa saat itu. Karena matanya mengatakan begitu, pandangannya dalam
dan ada kilatan di sana ketika dia ‘tertawa’.
Dan
itu sempat membuatku diam. Menghentikan segala kata yang mengantri di ujung
lidahku.
...
Aku
pernah mendengar, seseorang meledeknya. Mengatakan bahwa seorang Tuna Wicara
dapat lebih banyak berbicara dibanding dirinya.
Dan
aku tau orang itu menyesali perkataannya.
Karena
ketika ia mengenal perempuan itu, dia tau bahwa diamnya adalah keistimewaannya.
Dan
menyadari bahwa ada 2 tipe orang istimewa di dunia ini.
Orang
yang pintar dalam berbicara, dan orang yang hebat dalam mendengarkan.
Dia-perempuan
itu adalah tipe yang kedua.
Ketika
dia benar-benar ‘payah’ dalam yang pertama, Penciptanya memberikan keistimewaan
yang kedua.
Aku
mencintai sang Pencipta. Aku mencintai idenya untuk menciptakan perempuan
sepertinya- dengan keistimewaan dalam diamnya.
Dan
kau tau, aku sangat menyesali
ucapanku itu.
...
“Jika, diamnya
seorang perempuan bisa berarti banyak hal. Aku tidak kuasa menerka, seberapa
banyak hal yang kau simpan di dalam dirimu...”
Petang
menuju malam di Rooftop itu, Kalimat
itu keluar begitu saja dari bibirku- ah lagi-lagi aku sulit mengontrol
ucapanku. Belum sempat aku mencecap kalimat itu di lidahku, untuk menerka
apakah itu akan menyakiti hatinya jika ia mendengarnya..
Namun,
dia tertawa. Dengan suara “hmm” di
bibirnya.
“Katakanlah, 1 atau beberapa hal di antaranya. Mengapa lebih sering ku temukan atau kau tunjukkan diammu daripada perkataanmu kepadaku?”
Aku melihat ia mengubah posisi duduknya menjadi berbaring di kursi malas itu. Dan aku memandanginya terus memandangi langit, hingga akhirnya dia menjawab pertanyaanku.
“Sebab, aku ingin- aku butuh lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.”
Setelah
kalimat itu keluar dari bibir mungilnya. Kami bertukar “posisi”.
“Sebab mendengarkanmu berbicara- terasa sangat menenangkan lebih dari sekedar menyenangkan. Sebab dengan begitu- rasanya aku tak perlu lagi mencari-cara bahan obrolan karena kamu selalu menemukannya dan kamu tidak pernah keberatan meski hanya diamku yang membalas segala perkataanmu.”
“Sebab, aku lebih memilih untuk mendengarkan pikiranku berteriak dengan lantang daripada membiarkan orang-orang harus menyiapkan telinganya dan menjaga diri mereka agar tidak bosan mendengarkan ceritaku.”
“Sebab seorang Pria yang pernah mengatakan bahwa seorang Tuna Wicara bisa lebih banyak berbicara dibandingku, kini ada di sebelahku memberikanku kesempatan untuk mendengarkan ceritanya dan memberiku kesempatan untuk diam. Dia memang sering tidak menjaga omongannya, tapi dia bukan seorang pemaksa.”
“Dan ada sebab-sebab yang lainnya. Aku khawatir kini kau sudah bosan mendengarkannya.”
Aku
hanya menjawab kekhawatirannya itu dengan menggelengkan kepalaku, lidahku
seakan terkunci ketika dia membuka
dirinya.
Dia
memilih untuk tidak meneruskan menceritakan sebab-sebab yang lainnya, dan
kembali menyimpan untuk dirinya sendiri.
Dia
kembali tertawa menyaksikan aku diam- setelah menyaksikan “ledakannya”.
“Sungguh
itu “ledakan” yang indah.” Pujiku tulus untuknya.
“Hmm.” Dia hanya tertawa.
...
Gelap
pun jatuh di atas atap gedung-gedung tinggi itu.
Aku
memandanginya yang sedang memandangi langit-
yang
selalu memandangi kami berdua.
Aku
memeluknya erat dalam tatapanku.
Menjaganya
bersama keistimewaannya,
mengagumi
kekurangannya.
Diamnya.
Tyas
Hanina
3 komentar:
bagus. salam kenal ya :)
Maryeni Anatesia : terimakasih. salam kenal juga ya :)
Bagus! Semangat dek
Posting Komentar