Panggung Sandiwara
Dunia ini
panggung sandiwara
Cerita yang mudah berubah
Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar ada peran berpura pura
Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara
Peran yang kocak bikin kita terbahak bahak
Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan
Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan
Mengapa kita bersandiwara
(Achmad Albar - Panggung Sandiwara)
...
“Naskahmu sudah kau hafal, keh?”
“Sudah, pak.”
Pria di depanku ini mengangguk-nganggukkan kepalanya, sambil
memilin-milin jenggotnya.
“Fokuslah, keh. Sejak minggu kemarin kamu
kaku sekali.”
Aku hanya membalas ucapannya dengan selengkung senyuman. Kugigiti
kembali permen karet di gigiku. Waktu tampil semakin dekat.
Pria itu menepuk bahuku pelan. Dia langkahkan kakinya menuju pemain
lain.
...
Sejujurnya masalahku bukanlah menghafal naskah. Sungguh, bagiku itu
bukanlah hal yang susah. Aku bisa menghafal sesuatu dengan mudah.
Hanya saja,
Semenjak minggu kemarin, lawan mainku diganti. Menjadi perempuan itu.
Aku seperti hilang kendali, atas diriku sendiri.
Sejak pertama kali aku latihan drama dengannya. Aku bagaikan robot di
atas panggung.
Melafalkan naskah yang sudah kuafal di luar kepala.. Tanpa ekspresi dan
akting yang mendukung.
Perempuan itu,
Sepertinya memakluminya. Dia memang lebih dulu terjun ke bidang teater
ini.
Namun, dia anak baru di sini.
Dan semenjak kepindahannya, dia dipasangkan denganku. Dipasangkan
menjadi pasanganku, pula!
...
“ Rama!”
Tanpa sadar Shinta langsung melangkahkan
kakinya mendekati Rama dengan tangannya yang merentang ingin memeluk Rama,
Namun…
“
Tidak Shinta sebaiknya kau jangan mendekat sebelum memastikan bahwa kau masih
suci! “ Rama mengelak dari pelukan Shinta dan mengucapkannya dengan nada Ketus.
Mendengar kata-kata Rama, Shinta pun
menangis. Hingga terduduk di tanah, di hadapan kaki Rama yang tegap berdiri.
Namun, Rama tidak memandang ke arahnya.
Meskipun matanya pun kini berkaca-kaca oleh bening air mata.
“ Sungguh tak kusangka kau tega berkata
seperti itu kepada ku”
Disela-sela tangisannya, tiba-tiba Shinta
berlari menuju Api dan membakar dirinya.
Rama berteriak tak kuasa menyaksikan hal itu
terjadi di depannya. Dia berlari mengejar Shinta, sebelum ia sampai ke kobaran
api itu..
Dewa Angin meniupkan angin untuk
memadamkannya. Atas bantuan Dewa Angin Shinta pun selamat dan tidak mengalami
luka sedikit pun.
“ Api pun tak kan mau menyentuhnya, Rama. Karena
Shinta masih dalam keadaan suci.”
Lalu angin pun bergelung pergi meninggalkan
mereka berdua.
Rama melangkahkan kakinya dengan cepat. Ia
pun akhirnya percaya bahwa Shinta masih dalam keadaan suci. Lalu Rama menghampiri
Shinta.
“ Maafkan aku Shinta karena aku telah berburuk
sangka kepada mu “
“
Tidak apa-apa Rama…. Aku senang karena kau telah mempercayai kesucianku.
...
Drama itu selesai dimainkan.
Rama berhasil memerankan perannya dengan
baik, jauh lebih baik dari yang dia lakukan saat latihan.
Bunyi musik instumental Jawa dimainkan.
Tirai panggung mulai ditutup perlahan, ketika
keduanya tengah merentangkan pelukan.
Dua tetes air mata jatuh di pipi Shinta, Rama
membisikkan sesuatu di telinganya perlahan.
Penonton menyeka air mata di wajah, merasa
ikut merasakan kesedihan.
Beberapa
di antaranya mulai berdiri dari kursinya.
Tepukan
tangan pun membahana.
Tirai
akhirnya menutup sempurna.
...
“Kau
tau. Kalau saja aku mampu, dan kau mau.. Aku tak akan melepaskan pelukan ini.”
“Sehingga
kau tidak pergi tanpa penjelasan lagi.”
Shinta, nama perempuan itu yang sebenarnya.
Terisak setelah mendengar ucapan Rama.
“Sungguh.
Aku tak peduli kegadisanmu. Bukan hal itu yang membuatmu suci, Ta.”
“Tapi,
hatimu.”
Tirai panggung semakin erat menutup. Terasa
lambat sekali bagi Rama, seperti berjalannya waktu saat ini
“Seandainya,
saat itu kau katakan bahwa kau akan pergi ke pelaminan. Bersama seseorang- yang
bukan aku.”
“Seandainya,
Ta. Kau tidak pergi tanpa penjelasan.”
Panggung tertutup sempurna.
Tepuk tangan terdengar digaungkan di kursi
penonton
Mereka tidak mendengar apapun dari mulut
mereka berdua semenjak Tirainya menutup perlahan, microphone sudah dimatikan.
“Aku
mau Rama. Aku tak kan pergi, aku akan beri kau penjelasan. Tolong jangan
lepaskan pelukannya..”
Shinta berkata dengan suara parau, punggung Rama
basah oleh air matanya.
“Tapi,
kau bukan lagi Shintaku, Ta. Aku bukan lagi Ramamu. Kau sudah diculik oleh
Rahwana- untuk selamanya.”
“Maaf
Shinta.”
Rama mengeratkan pelukannya untuk beberapa
saat.. Dan perlahan-lahan pelukannya mengendur.
Dia memegang bahu Shinta dengan kedua
tangannya, tidak peduli banyak sorot mata diemparkan pemain drama lainnya
kepada mereka berdua.
“Aku
menyayangimu Ta, sangat. Kau tau, itu akan tetap menyakitkan meskipun kau
memberi penjelasan sebelum kepergianmu. Aku sudah memikirkannya dari dulu.”
“Hanya
saja, sebelum tirai itu tertutup tadi. Denganmu di pelukanku, aku kembali
memikirkannya. Bagaimana jika, setidaknya kau memberi tanda sebelum
kepergianmu. Sehingga aku bisa menyadari kehilangan- sebelum dia menampakkan
wajahnya di depanku.”
“Maaf
aku sudah lancang, kepadamu. Kini kau adalah perempuan orang lain.”
“Meskipun
pernikahanmu terjadi karena hilangnya kegadisanmu olehnya.” Rama membisikkan
kalimat itu dengan sangat pelan, tapi Shinta merasa seperti hal itu diteriakkan
di depan telinganya.
Rama memberi tepukan pelan di bahu Shinta,
mengangkat dagunya pelan, menghapus air mata yang seakan tak bisa berhenti
mengalirkan air mata walaupun dia sudah tidak meneruskan kalimatnya.
Tiba-tiba tepuk tangan terdengar lagi, kini
di atas panggung yang tirainya sudah tertutup sempurna.
Lelaki tua berjenggot tebal mendatangi mereka
berdua, menepuk pundak mereka bersamaan.
“Luar
biasa. Emosi yang kalian sampaikan begitu nyata. Hey Shinta, kau benar-benar
menangis karena dialog Kekeh?”
“Kekeh?”
“Ya.
Panggilan bujang lapuk ini dariku, habis dia selalu terkekeh ketika selesai
mengucapkan dialog percintaan.”
Rama tersenyum mendengarnya, memang benar
adanya. Dia melirik ke arah Shinta dari sudut matanya- perempuan itu terpaku.
“Bagus
sekali yang barusan kalian mainkan.”
“Itu
bukan......”
“Yang
barusan itu pasti dialog ciptaan si Rama. Dia memang sering seperti itu,
merencanakan lanjutan dramanya diam-diam dengan lawan mainnya.
Yak
semuanya, waktunya Istirahat.”
Lelaki itu memotong ucapan klarifikasi
Shinta.
Baik Rama maupun lelaki itu sama-sama memilih
untuk tidak mendengarkan penjelasannya.
...
Shinta memandangiku, setelah yang lainnya pergi dari situ meninggalkan
kami berdua di panggung dengan Tirai yang Tertutup ini.
Lelaki tua itu masih berdiri di ujung panggung, mengawasi kami.
“Rama aku bisa jelasin tentang pernikahan
itu.”
“Ya. Kau bisa, jika aku mau dan mampu
mendengarkannya. Tapi aku tidak.”
Dengan langkah cepat aku menjauh darinya. Tidak mampu lagi berdekatan
dengannya- ia menggoyahkan hatiku setiap kali menyaksikan tangisannya.
Ayahku benar, perempuan memang
seperti itu. Senjata tangisannya, begitu hebat- sehingga membuatku merasa
takut.
Aku mendekatkan langkahku ke arah Pak Tua, dia tersenyum memandangiku
sembari memilin jenggotnya.
Dia, ayahku.
“Jangan bawa-bawa urusan pribadi di panggung,
Keh.”
Aku terkekeh keras.
Berusaha sekeras hati, menahan tangis yang sedari tadi kutahan.
...
...
...
Tyas Hanina