“Nanti kalo gue punya anak.. kalo cowok mau gue suruh les masak. Kalo cewek gue suruh les drum.”“Keren tuh pasti.”
Itulah sepenggal kalimat dari
salah satu teman kampusku saat kami sedang break
kelas. Keadaannya berbeda jika dibandingkan dengan masa sekolah dulu, kelas
kosong atau pun jeda kelas merupakan angin segar bagi para siswa. Kini, kelas
kosong atau jeda antar kelas yang terlalu lama saat kuliah kadang malah terasa
menjengkelkan. Setidaknya, buatku.
Alasannya.. Ya. Karena seringkali
gak tau mau ke mana dan harus ngapain selama waktu kosong itu.
Tapi, memang dasar pemalas. Aku (dan teman-temanku yg juga pemalas)
memilih untuk menghabiskan waktu dengan “Tok-Tok Wow” ke kosan temen. Sekedar
membicarakan hal-hal yang tidak terlalu penting seperti alasan kenapa Raisa
putus sama Keenan atau seperti siang itu ketika kami membicarakan perihal masa
depan, “calon anak” kami.
Namanya, Dira. Sesekali jarinya
masih bergerak mencari lagu yang dia inginkan. Kosan yang kami jadikan tempat
gegoleran ini sudah disulap menjadi tempat karaoke! PC dengan dua layar dan keyboard
on screen, serta extension musicmatch dari google chrome juga turut
membantu menghidupkan suasana. Belum lagi, jiwa-jiwa biduan yang sudah melekat
betul dalam diri kami.
Mulai dari Baby-nya Justin Bieber
hingga Seperti Yang Kau Minta-nya Chrisye. Dari band anyar yang bakal manggung
di Singapore yaitu Coldplay hingga lagu baru lelaki yang merupakan figur
patah-hati-terbaikku, Gaga Muhammad. Semuanya kami senandungkan.
Ah, back to the main topic.
Mari kita telusuri lebih lanjut
ucapan Dira tadi.
*
Sepintas, memang keren ya
kedengarannya. Mungkin, kelak anaknya akan terkenal seperti Chef tampan Arnold
dan Juna yang sama-sama menjuri di ajang masak bergengsi di salah satu stasiun
televisi.
Putrinya, wah tidak kalah keren
pastinya! Pasti bakalan beken seperti artis (yang kini tidak lagi cilik) JP
Melanix yang merupakan kontestan salah satu ajang pencarian bakat.
Dan, ya. Pernyataan dira sebagai
calon orang tua ini juga keren! Karena seakan Dira mau mematahkan persepsi
kalau masak itu tugasnya cewek. Dan anak band itu mayoritas cowok.
Ya, okelah, Dir.
Namun, sayangnya aku berbeda
pandangan dengan gadis yang ulang tahunnya beda seminggu denganku ini.
*
Kalo aku..
Kalo nanti aku punya anak. Aku
mau membimbing dia agar dia tahu sesungguhnya apa yang dia mau.
Aku mau dukung apapun yang dia
ingin pelajari. Satu-satunya yang ingin kutekankan hanyalah rasa ingin
belajarnya itu. Perihal dia akan mempelajari apa, aku dukung saja.
Mungkin, kelak dia ingin jadi
ikan paus.
Atau mungkin ingin jadi pelukis
langit.
Apa saja, aku sebagai ibunya,
mendukung.
Aku ingin saat dia merasa
sendirian, dan seluruh partikel dunia seakan meragukannya.
Akan selalu ada aku, menemaninya
dan mempercayainya.
Sebab, kata orang.
Doa ibu adalah restu semesta.
Entahlah, aku sebenarnya tidak
benar-benar tahu akan jadi orang tua yang seperti apa aku nanti.
Bagaimana kalau cita-cita anakku
ternyata sangat berbeda dari pada yang lainnya? Bagaimana kalau ternyata aku
justru yang tidak siap menerimanya?
Ha.. Entahlah. Semoga saja, aku
benar-benar menjadi orang tua yang baik kelak.
Namun, sebelum itu. Sebelum kita
membicarakan bagaimana kita harus bersikap ketika menjadi orang tua. Atau
sebelum kita sibuk mengangankan anak kita inginnya seperti apa.
Ada pertanyaan penting yang
mungkin belum bisa kita jawab sampai saat ini.
Apakah kita sudah menjadi anak
yang baik bagi orang tua kita?
*
Melihat dari field of experience & frame
of reference-ku (halah sok english,
sok anak komunikasi aku ini).
Melihat dari apa yang hatiku
rasakan dan pikiranku renungkan.
Ayah dan ibuku adalah penyokong
terbaikku. Barangkali merekalah definisi rumah yang kemarin ku tanyakan di
tulisanku sebelumnya.
Aku tidak pernah disuruh belajar
dari kecil. Percaya tidak akan fakta ini?
Kakak perempuanku malahan sangat
ingin disuruh, sampai suatu hari menjelang ujian nasional SMA-nya (saat itu aku
masih SD) dia bilang begini, “Kenapa sih bapak-ibu gak pernah nyuruh belajar?
Gue pengen deh disuruh kaya anak yang lain”.
Berbeda dengannya, aku malah
senang keadaannya seperti itu.
Kebebasan yang mereka berikan.
Bukanlah suatu tawaran yang tanpa batasan dan tanpa harapan. Menurutku.
Aku memang tidak suka
disuruh-suruh, terlebih perihal kegiatan yang menurutku adalah urusanku
sendiri. Dan tidak melibatkan tanggung jawabku kepada orang lain.
Sebenarnya, saat aku memasuki
usia ini, yang katanya sudah dewasa.
Aku bersyukur sekaligus bingung
dengan kebebasan yang kudapat ini.
Aku bingung saat aku ingin
mengeluhkan sesuatu. Sekaligus bersyukur karena ada sesuatu yang kukeluhkan.
Ngomong-ngomong, pernah mikir gak sih? Makin kita dewasa, makin susah
ketemu tempat buat curhat?
Ya, aku bingung karena apapun
yang terjadi saat ini. Mayoritasnya karena pilihanku sendiri.
Tapi, ya, aku juga bersyukur saat
semuanya terasa berat dan hanya keluhan yang dapat kuucapkan. Selalu ada Bapak
yang menyediakan telinga, pundak, dan pikirannya untukku.
*
Akhir-akhir ini, aku lagi sibuk
sama beberapa kegiatan.
Ah, kalau boleh nyinyir sama diri
sendiri.
Sepertinya, kesibukan itu hanya
kubuat-buat.
Toh, pilihanku kan mau ikut
kegiatan atau tidak?
Tapi, aku tidak bisa diam terus.
Aku tidak ingin semestaku hanya seputar kampus dan kos saja.
Banyak orang yang memiliki kegiatan
yang lebih menyita waktu dariku. Dan malahan kulihat mereka jarang mengeluhkan
itu. Kadang, aku malu.
Dengan kegiatanku yang sebenarnya
hanya itu-itu saja, aku seperti tidak pernah maksimal mengerjakan sesuatu.
Terus terang, bom waktu-ku
meledak hari ini.
Aku merasa capek harus
bertoleransi dengan kesalahan-kesalahan yang aku rasa sengaja orang lain buat.
Aku sedang tidak ingin berkompromi.
Dan, rasanya ingin angkat kaki
dari tanggung jawab ini.
Saat-saat seperti ini selalu aku
ceritakan ke Bapak.
“What should I do?,” adalah bunyi pesan terakhir yang kukirimkan
padanya.
Hubunganku dan Bapak bukanlah
hubungan orang tua yang intens chat setiap hari.
Isi percakapan kami bukan
pertanyaan 5W+1H seperti saat aku harus menulis sebuah lead berita.
Ada di mana aku, sedang berbuat
apa, bersama siapa, dan sebagainya. Kurasa dia tidak perlu tahu, dan kurasa dia
pun tidak mau tahu.
Lebih dari itu, isi percakapanku
dengannya selalu menyita perhatianku. Aku tidak pernah menulis sejujur dan
setulus dibandingkan ketika aku mengirim pesan kepadanya.
Contohnya, saat aku ulang tahun, beberapa
waktu lalu. Wah, rasanya itu bukan percakapan yang bisa sembarangan ku buka
dengan orang lain.
Bapak tidak pernah bertanya aku
sedang apa setiap hari.
Bapak selalu menyapa dengan pertanyaan,
“How’s life?”
“Bagaimana semestamu?”
Yang lucunya, sapaan itu selalu
datang di saat aku membutuhkan telinga yang benar-benar bisa mendengarkanku.
Seakan intuisinya berbicara,
kalau aku membutuhkannya.
Aku sungguh merasa
beruntung.
*
“Nanti, kalo aku punya anak, Dir.Aku mau ceritain kisah superhero yang menurutku paling keren! Gak punya senjata mumpuni, musuh buat dilawan aja gak punya.Badannya juga gak kuat-kuat banget, boro-boro otot kawat tulang besi. Kadang, masih suka dikerok kalo sakit!Superhero-nya, Ayahku. Kakek dari anakku.”
Tyas Hanina
Jatinangor
0 komentar:
Posting Komentar