Dan kawan
Bawaku tersesat ke entah berantah
Tersaru antara nikmat atau lara
Berpeganglah erat, bersiap terhempas
Ke tanda tanya
(Banda Neira – Ke Entah
Berantah)
...
“Mari
kita berpetualang. Giliran mendadak gini aja, malah jadi. Setan.”
Saya tertawa membaca sebaris kalimat darinya di Line.
Teman saya yang satu ini memang gemar menggunakan kata-kata kasar di kesehariannya.
Tapi, saya tau bahwa sebenarnya perasaannya halus.
Malam itu, saya mendaftarkan diri untuk mengikuti sebuah Pameran Pendidikan yang akan diadakan keesokan harinya di salah satu hotel di daerah
Ibukota. Saya juga mendaftarkan dirinya, karena diancam. Hahaha, gak deng. Ya
karena, memang orang ini yang mengajak saya untuk mengikuti acara ini dan
sepertinya dia pun cukup “sibuk” dengan kegiatannya sehingga tidak sempat
mendaftar.
...
Pukul 07:42
Sebuah panggilan telepon membangunkan saya dari tidur.
Saya terbangun dengan kepala berat dan hidung tersumbat.
Mendiamkan dering telepon yang rewel untuk beberapa lama,
dan akhirnya mengangkatnya.
Seseorang yang terikat janji dengan saya untuk bertualang
di Ibukota lah pemilik suara di telepon tersebut. Sebut saja ia, Sarra.
Saya berangkat ketika Sarra hampir sampai di tempat kami
sepakat untuk ketemuan.
Sebuah Coffeeshop di Mal dekat rumah saya.
Begitu saya sampai di sana, saya justru menemukan Ia
duduk di halte Bus dengan earphone yang seakan terjahit di telinganya. Lucunya,
saya mengenalinya dari sepatu biru muda yang ia kenakan, karena tubuhnya tertutupi
oleh orang-orang sekitar.
Kami pun memesan tiket untuk 2 orang. Memastikan jadwal
keberangkatan.
Dua orang yang buta arah akan pergi menjelajahi Ibukota.
Kami berjalan menuju Coffeeshop terdekat, memesan dua
gelas Kopi Dingin.
Duduk di tengah-tengah Kafe, perlahan mulai membuka tas
masing-masing. Saya mengeluarkan buku yang ia pesan. Dan buku yang ingin saya
baca.
Kami merencanakan dan mempertimbangkan banyak hal untuk
perjalanan kami hari ini.
Sesekali ia menyesap Cappuccinonya. Begitu pun saya,
menikmati setiap teguk Cafe Latte saya.
Dengan cekatan dia mencatat semua hal yang kami perlukan,
memberi advice kepada saya untuk memisahkan uang. Jadi, apabila kemungkinan
terburuk kami kecopetan.. kami tidak kehilangan semuanya.
Hope for the best, prepare for the worst.
Saya berjanji dalam hati untuk mendokumentasikan kegiatan
kami hari ini, dan memberikan tantangan untuk menulis tentang hari itu di blog
masing-masing.
Sarra menyetujuinya.
...
Mendekati jam keberangkatan, kami berjalan ke halte yang mulai
dipenuhi oleh orang-orang. Meskipun terlambat dari jadwal, bus yang akan
mengantarkan kami pun tiba.
Kami duduk terpisah cukup jauh di dalam bus. Saya di
bagian belakang bus, dan Sarra di depan.
Saya memasang earphone di telinga, memainkan playlist
lagu kesukaan yang akan menemani saya sepanjang perjalanan. Saya memilih
Adhitia Sofyan.
Saya membuka buku yang belum selesai saya baca, membuka
lembaran-lembarannya dengan perlahan. Buku ini seakan “membaca” pribadi saya,
jadi beberapa kali saya mengambil jeda dalam membaca dan larut dalam pikiran
saya sendiri. Buku apa itu? Semoga saya sempat untuk menuliskan reviewnya
ketika selesai membacanya.
Petikan gitar dan suara halus Mas Dhit dan buku yang
membaca saya. Keheningan orang asing di sebelah saya. Kebisingan isi kepala
saya.
Mereka menemani saya di perjalanan kali ini.
Inilah kenapa, saya hampir selalu menikmati perjalanan
menuju suatu tempat.
Sepi
itu indah, percayalah. Membisu itu anugerah.
(Banda Neira – Hujan di Mimpi)
...
Sampai di Pameran Pendidikan, yang menjadi tujuan utama
kami.
Kami mendapat banyak informasi tentang kuliah dan tinggal
di luar negeri.
Sarra yang berniat untuk meneruskan pendidikan di bidang
desain atau hukum.
Saya dengan passion saya di bidang sastra dan
jurnalistik.
Kami mendapat banyak informasi secara gratis di sini.
Terima kasih untuk pihak-pihak yang terlibat, yang kartu namanya masih saya
selipkan di notes saya.
Kami menghentikan taksi di jalan, menuju Perpustakaan
Nasional sebagai titik tujuan berikutnya. Sebenarnya, sudah sejak liburan
panjang yang lalu kami merencanakan akan pergi ke Perpustakaan di Ibukota namun
baru hari itu kami bisa mewujudkannya.
Pilihan yang nekat dan selamat untuk memilih taksi
sebagai kendaraan di Ibukota. Mengingat kita tidak bisa menebak bagaimana
kondisi jalanan Ibukota, tapi mengingat bahwa kami berdua buta arah... Ini
pilihan yang aman.
Di taksi, kami berdiskusi tentang jurusan yang akan kami
pilih. Mengeluh tentang ketidakyakinan kami. Menggerutu tentang pandangan
kebanyakkan orang yang berorientasi pada uang.
“Waktu gue diskusi sama dia
dan nyadar kalo orientasi dia adalah uang. Gue langsung ngerasa gak cocok.”
“Gue mikirinya gue kuliah ya
buat mempelajari sesuatu yang gue suka.”
Begitu sampai di sana, disambut oleh sapaan dua orang
Satpam. Kami dikejutkan oleh fakta bahwa perpustakaan sudah tutup beberapa saat
yang lalu.
Kebetulan pada saat itu, dua orang yang merupakan petugas
perpustakaannya ke luar untuk pulang. Salah satu dari mereka, memberitahu kami
tentang jadwal perpustakaan dan memberi saran untuk mendaftarkan diri secara
online.
Dengan langkah gontai dan sedikit perasaan kecewa kami
melangkah ke luar gerbang, menaiki kendaraan roda tiga berwarna biru. Menuju tujuan
akhir kami, mencari makanan.
Kanan kiri, ramai jalanan
Arungi lautan kendaraan
Oh, senja di Jakarta
Nikmati jalan di jakarta
Maafkan jalan Jakarta
(Banda Neira – Senja di Jakarta)
...
“Berarti
lu cocok jalan ama gue yas. Gue ngabisin apa aja yang bisa dimakan.”
Kata Sarra, sembari mengambil potongan terakhir sushi di
meja.
Saya hanya tersenyum simpul. Tiba-tiba teringat seseorang
yang dulu juga sama seperti Sarra, mungkin bedanya orang yang saya ingat ini
seringkali mengomeli saya kalau menyisihkan makanan.
Saya menatap bolpoin dan notes di meja, dan teringat
bahwa kami belum menulis apa-apa.
Sebelum makan, saya mengusulkan untuk menulis tentang apa
yang akan kami lakukan ketika kami menginjak usia 20 tahunan. Apa yang kami
lihat di diri kami beberapa tahun mendatang. Apa yang kami ingin lakukan dan
butuhkan.
Sarra bertanya tentang hal itu kepada saya sebelum
menulis, saya menjawab pertanyaannya setelah terdiam beberapa lama sembari
menatap langit-langit restoran.
Satu hal yang otomatis keluar dari bibir saya adalah, “menulis
buku.”
Dan impian saya lainnya yang saya utarakan secara
panjang..
“gue udah bayangin setelah
lulus kuliah nanti, gue bakal ikut Indonesia Mengajar. Baca taglinenya aja udah
merinding, setahun mengajar seumur hidup terinspirasi. Dan gue gak bisa
bayangin kerja di kantoran...”
“ngerjain data...”
“iya ngerjain data...
bayangin ya... pagi-pagi berangkat macet... pulang sore kejebak macet.. di
kantor ngapain? Ngerjain data yang udah disuguhkan, yang harus gue kerjakan. Tanpa
gue tau pasti ini data dari mana? Sampe tua kaya gitu.. gue gak mau.”
Sarra menyetujuinya, dia pun sepertinya sama.
Kami memasang deadline 30 menit untuk menulis, dan akan
membaca tulisan masing-masing di perjalanan pulang di bus.
Gue menghabiskan 3 halaman untuk menulis, sedangkan Sarra
hanya 2.
Ini adalah salah satu hal yang membedakan kami berdua,
meskipun kepribadian kami hampir sama tapi dalam beberapa aspek kami sangat
berbeda.
Sarra lebih straightforward dalam menyampaikan
pendapatnya, ucapannya sangat persuasive sehingga membuat orang lain mudah
percaya.
Sarra adalah seseorang yang berkepribadian INTP. Sedangkan
saya adalah seorang INTJ.
Kami berdua sama-sama terlihat “dingin” di luar. Dan
sama-sama tidak menikmati pembicaraan basa-basi tanpa arti. Kami mencintai
analisa, juga terbiasa menilai seseorang dari pertemuan pertama.
Sarra memberi tahu saya tentang betapa pentingnya “pandangan
mata”. Saya mengaku kalau saya sering menghindari kontak mata secara lama.
Dan lain-lainnya.
...
Di perjalanan pulang, untungnya kami bisa duduk
bersebelahan. Sehingga dapat bertukar notes, dan membaca tulisan masing-masing.
Tanpa disengaja, kami menulis satu hal yang sama.
“.... membuat mereka
merasakan hal yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya...”
Ketika saya larut dalam pikiran saya sendiri, tiba-tiba
Sarra menepuk pundak saya. Membisikkan sesuatu yang langsung saya setujui.
Dengan hati-hati saya memotret seorang Ibu yang duduk di
sebelah kami. Sebagai bagian dari dokumentasi.
Ibu itu tampak lelah, dia tertidur dengan mulut terbuka.
Ketika terbangun, dia membuka ponselnya- mungkin untuk mengetahui kabar orang
rumah.
Silih berganti datang para pengamen dan peminta-minta.
Hingga, tiba seorang Pria tua yang menggendong jualannya.
Kumpulan buku dan majalah.
Dia menawarkan buku gambar dan buku mewarnai. Juga
majalah anak-anak yang dulu sempat menjadi langganan saya.
Peluh dan lelah terlihat di wajahnya. Harapannya sederhana,
semoga buku-buku yang dia bawa saat ini bisa menemukan pembelinya. Sehingga dia
dapat menafkahi keluarganya.
Meski bukan lagi buku yang cocok untuk usia kami. Saya dan
Sarra sama-sama membelinya.
Semoga beban Bapak itu menjadi lebih ringan, dan
punggungnya lebih dikuatkan untuk menampung beban. Aamiin.
Perempuan di paruh waktu,
Hatinya teguh ditempa kalut
Lelaki di ujung tanduk, harapannya sederhana
Sekisah tanpa cerita
Sekisah tanpa cerita
(Banda Neira – Kisah Tanpa
Cerita)
...
Begitulah sepintas cerita perjalanan kami berdua.
Mungkin biasa saja untuk sebagian orang yang terbiasa
pulang pergi ke Ibukota.
Mungkin terlalu naif bagi kebanyakan orang.
Namun, tidak mengapa.
Saya dan Sarra, sedang melangkah. Menuju ke mana kami
belum tau pasti.
Tapi yang kami ketahui, mulai saat ini dan juga nanti.. kami
akan berjalan lebih jauh, menyelam lebih dalam. Seperti lirik lagu Banda Neira.
Saat ini, kami berdua masih menjadi dua orang yang buta
arah. Tapi tunggulah, beberapa tahun lagi. Ketika kami mampu dan mau untuk
menjelajahi bumi.
Mungkin sesekali kami masih akan menuju Entah Berantah, tapi
tak mengapa. Karena kami tidak ingin sekedar pergi, tapi juga mempelajari
tempat kami berpijak. Perhatian utama kami bukanlah hanya di titik tujuan, tapi
juga di perjalanan.
Saat ini kami sedang di perjalanan, menuju masa depan.
|
Kaki-kaki kecil kami, si Calon orang besar. |
Semoga, apapun yang selama ini saya dan Sarra doakan dan
perjuangkan bisa sejalan dengan takdir Tuhan.
Semoga kami tidak lupa untuk menguatkan punggung, tidak
hanya mengeluh meronta meminta beban untuk berkurang.
Semoga.
“Semesta mengamini apa yang
kamu yakini.” (Tyas Hanina, di usia 15 tahun)
Kalimat yang secara spontan keluar dari bibir saya ketika
guru BK saya menanyakan apa prinsip hidup saya.
Sebuah kalimat yang akan selalu saya ingat. Sebuah
semangat yang saya teriakkan untuk diri sendiri.
Semoga semangat tersebut bisa sedikit menguatkan punggung orang yang membaca ini.
...
Hey,
siapapun kamu.
Berhati-hatilah,
dan nikmatilah perjalananmu.
Terima
kasih sudah membaca.
Tyas Hanina