Well, gue lagi kangen banget sama mamah.
Shubuh tadi gue terbangun, dengan dada berdebar kencang. Dan
keringat dingin di dahi dan sekujur tubuh.
Gue memang sedang terkena demam sejak kemarin malam- selepas
pulang main dengan teman.
Sebenarnya sejak pagi gue sudah merasakan
gejala-gejala akan sakit, nafas yang panas, kepala yang berat, dan lidah terasa
agak pahit. Tapi, janji adalah janji kawan. Lagipula gue pengen main.
Iya. Lagi-lagi gue sakit pas liburan.
Mungkin kalau mamah belum
pulang, beliau akan menyadarinya hanya dengan melihat air muka gue. Dan
beliau akan mencegah gue untuk pergi, menyuruh gue untuk diam di rumah-
meskipun dia tau benar bahwa cucu bungsunya ini sangat keras kepala dan akan
tetap pergi.
Dan malamnya, beliau
akan menyediakan sisi kosong di tempat tidurnya. Membiarkan gue berbaring
disana, dengan segelas teh manis hangat untuk gue nikmati. Dan saat gue tertidur,
beliau akan memijiti tubuh gue dan menaruh kompres air dingin di dahi gue.
Kemarin malam, gue sangat merindukan hal itu. Dan rindu itu
terasa sakit, mengingat gue tidak akan dapat merasakannya lagi- dengan sentuhan
yang sama.
Shubuh tadi, gue terbangun dari mimpi yang menampilkan dia
sebagai salah seorang “bintang tamunya”.
Mimpi itu terasa nyata, tapi gue tau itu mimpi. Pernah gak
ngerasain mimpi yang seperti itu? Rasanya
membingungkan.
Di mimpi, gue sedang tidur di kamar Ibu. Dan ada suara
ketukan pintu, saat gue membukanya. Ada Mamah di sana, dengan setelan
kebayanya. Dia menyapa gue, gue merapal doa.
Tapi dia tidak pergi, seperti (yang gue baca) bahwa makhluk
halus akan pergi setelah dibacakan doa seperti itu.
Dia tetap di sana. Berkumpul dengan anggota keluarga seperti
biasa. Duduk di sofa ruang TV bersama Ibu, Bapak, dan Kakak-kakak gue. Mereka semua tau bahwa saat itu dia sudah pulang, namun mereka mengobrol seolah tak terjadi apa-apa.
Bukan hanya membingungkan, lagi-lagi itu terasa menyakitkan.
Begitu terbangun. Gue memegang dahi dan leher gue yang masih
terasa hangat.
Tidak gue temukan jejak kompres dengan air dingin di sana.
Gue memeluk diri gue sendiri di pinggir tempat tidur, menangis selama kurang lebih 2 jam.
Lalu bangun dan menonton Televisi pagi yang masih penuh
kartun. Mencoba melupakan mimpi barusan, dan perasaan rindu yang ditinggalkan.
...
Saat hari kepulangannya, pada waktu shubuh.
Gue menangis bersama abang gue di kamarnya. Memandang
tubuhnya yang sangat kurus, terbujur kaku- dan dingin.
Berdua kami menangis, sesekali abang gue menyebut namanya dengan suara yang parau.
Dan gue hanya bisa duduk di sisi tempat tidurnya, memeluk lutut dan menangis-
berusaha agar tangisan itu tidak mengeras.
Saat pemakamannya, selepas dzuhur.
Gue berdiri di depan liang lahatnya, memegang sekeranjang
bunga untuk ditaburi di atas makamnya.
Memandangi tubuhnya yang kini dibungkus kain putih.
Gue tidak menangis.
Saat sampai di rumah.
Sehari setelahnya.
Seminggu sesudahnya.
Sebelum mimpi itu hadir.
Gue tidak pernah lagi menangis untuknya.
Bukan karena gue tidak merasa sedih, atau kehilangan.
Tanpa pernah gue katakan pada siapapun, bahwa gue merasa sangat kehilangan.
...
Setelah kepulangannya, Ibu adalah orang yang paling merasakan
kehilangan.
Dia tidak bisa ditinggal di rumah sendirian.
Dia merasa ketakutan. Entahlah, gue tidak tau benar apa yang
dia takuti.
Tapi, dia sempet bilang ke gue. Dia terlalu merasa
kehilangan- karena hingga terakhir kali nafas terakhir mamah dihembuskan dia
adalah orang yang merawatnya.
Dia tidak mau pergi ke kamar mamah, begitupun gue.
Haha. Mungkin iya, gue takut. Sama dengan yang Ibu rasakan.
Takut terlalu jauh untuk mengenangnya.
...
Setiap kali, gue sakit.
Merasa takut.
Pikiran gue kalut.
Atau, ingin dipijit.
Gue akan datang ke kamarnya, berbaring di sebelahnya. Memegang tangan atau ujung kain kebayanya, sebelum perlahan-lahan gue jatuh
tertidur.
Dengan begitu gue merasa nyaman. Dan aman.
Dimana lagi, ada kenyamanan seperti itu yang orang lain bisa
tawarkan?
Ah. Selamat hari Ibu, Ibu dari Ibuku.
Tyas Hanina
0 komentar:
Posting Komentar