Jika saja aku sejenak melupakan perihal batasan. Mungkin sudah tak terterka sebanyak apa kata yang akan kukirimkan.
Entah hal ini harus kusyukuri atau tidak. Aku selalu membatasi diri jika hal itu mengenai dirimu.
Aku harus bisa mengontrol diriku, sepenuhnya. Perasaanku, gesture tubuhku, mimik wajahku, perkataanku, jeda dan tarikan nafasku, dan lain-lainnya.
Terlebih jika harus berhubungan secara langsung. Lewat suatu media tidak langsung pun rasanya tak karuan.
Dan. Ada satu hal yang sering aku lewatkan. Ada satu batas yang sengaja aku lupakan.
"Kita" sudah berbeda.
Aku selalu sulit menerima perubahan. Aku cenderung ingin segala sesuatunya bergerak sama dengan apa yang aku inginkan, memberi kenyamanan tetap untukku. Tidak perduli hal itu baik atau buruk.
Terlebih perihal "kita".
Kenapa aku menyebutnya dengan kata "kita"?
Karena bagaimanapun.. Pertemuan, percakapan, kedekatan, hubungan, kemesraan dan perpisahan itu kita jalani berdua. Sebagai dua aktor utama.
Meski mungkin hanya aku yang terus mengingatnya, seperti gajah yang terus mengingat rute perjalanannya.
Akupun begitu setiap harinya, meniti segala awal terbentuknya kita hingga akhir yang menyakitkan lewat ingatanku. Berulang kali begitu.
Meski menyakitkan, itu terasa menyenangkan.
Mungkin kau tidak akan mengerti.
Bagaimana satu lirik lagu, satu folder di laptop, surat-surat tanpa nama yang tak pernah kukirimkan, percakapan kita di ponsel, segala ucapan selamat pagi dan malam, alat transportasi saat kau mengantarku pulang, hadiah ulang tahun yang masih rapi kusimpan, hal-hal yang dulu sering kita tertawakan, segala hal remeh yang kita perbincangkan, tiket-tiket film yang pernah kita tonton.
Dan lain-lain. Masih banyak sekali.
Setiap aku membuka atau menyentuh itu semua. Bahkan hanya dengan menengoknya.
Aku selalu ingin cepat pulang, menjemputmu. Menuju "kita", kembali.
Tapi tak pernah ada cukup keberanian. Nyaliku kalah besar oleh keinginanku sendiri.
Aku ingin (kita) kembali. Tak pernah secara lugas dapat aku sampaikan.
Aku selalu takut dan membiarkan fikiranku menjadi buruk.
Bagaimana jika aku menjemputmu, lalu kau tidak mau.
Bagaimana jika aku menjemputmu, lalu kau menutup pintu.
Bagaimana jika aku menjemputmu, lalu kau mengusirku.
Bagaimana jika aku menjemputmu, lalu kau dijemput orang lain terlebih dahulu.
Bagaimana jika aku menjemputmu, lalu kau sudah lama pindah ke tempat baru.
Bagaimana jika aku menjemputmu, lalu ternyata kau memberikan alamat palsu. (Re: Harapan Palsu)
Dan masih banyak bagaimana-bagaimana lainnya.
Tapi, bagaimana mungkin tak pernah terfikirkan olehku keadaanku sendiri. Keadaan ruang hatiku..
Berantakan sekali sejak kamu tinggal pergi, dan aku tidak pernah mencoba merapikannya. Merasa tak mampu dan tak mau setiap menggeser atau memindahkan sesuatu di ruang ini.
Karena berharap kau akan datang, dan membantuku merapikannya.
Harapan. Bagaimana bisa aku berpegang pada sesuatu yang tidak memberi kepastian?
Bagaimana mungkin, aku sudah berlari lama sekali. Lelah sekali. Namun tak berpindah sama sekali.
Seperti berlari di treadmill.
Semoga saja ada manfaat untuk kesehatan dan kebugaran hatiku pelarianku selama ini :|.
Dan..
Bagaimana aku harus menutup tulisan ini? Menghentikan jariku memuntahkan huruf-huruf.
Apa itu semudah menutup perjalanan "kita"?
Tidak usah dijawab. Aku tidak butuh jawaban kali ini. Aku tau aku sedang berbicara sendiri, kamu sudah lama pergi dan tidak dapat mendengarkan lagi.