Kalau menulis adalah senjata, Pujangga sudah kehabisan amunisi.
Pada suatu sore, terdengar suara ketukan di pintu kamarku. Pasti si kamar nomor tiga, ketukannya khas dan tidak terburu-buru. Aku butuh waktu 2 menit untuk menuju pintu dan menyambut sang tamu. Sedikit tergesa aku segera mengancingkan kemeja abu-abu.
Baru
sampai kancing keempat, terdengar lagi suara dentuman di pintu kayu,
kali ini menggebu. Rupanya, si kamar nomor satu juga ikut bertamu.
“Ya?”
“Ikut
kami ke pinggir kota, ngopi lalu makan malam”, ujar nomor satu. Ajakan
itu lebih terdengar seperti perintah, karena setelahnya mereka
meninggalkanku menuruni tangga dengan daun pintu yang masih terbuka.
Mobil
hijau sudah menunggu di depan pagar merah jambu. Aku membuka pintu
mobil, memilih duduk di bangku tengah. Si nomor satu memutuskan menyetir
mobil si nomor tiga, pilihan yang aman karena nomor tiga seringkali
terganggu konsentrasinya. Ia bisa tiba-tiba berhenti karena melihat ulat
bulu di pohon yang tidak genap bulunya atau plat mobil depan yang
berurutan hurufnya. Atau, bila boleh kusimpulkan, ia hanya malas
menyetir karena jadi tidak bisa bebas bermetafora dalam pikirannya
sendiri.
Sebelum
aku bertanya, si nomor tiga berbaik hati menjawab, “Ada sayembara
menulis puisi, hadiahnya 1 set perawatan gigi. Belakangan ini gigi
gerahamku ngilu tak karuan, tapi aku tidak punya cukup tabungan untuk
berobat. Itu masalah satu..”
Tiba
di lampu merah, si nomor satu melirikku lewat kaca spion, memborong
penjelasan, “Masalah dua dan ketiga dan seterusnya, si bodoh ini juga
tidak punya cukup inspirasi untuk menulis. Inspirasinya dihabiskan untuk
mencari nomor judi”.
Aku tersenyum memamerkan gigi tak berpagarku, “Hadiahnya cuma 1?”
Si
nomor tiga menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, menghadapku, “Ada
hadiah lain, untuk juara kedua, satu set peralatan menjahit. Hanya itu.”
“Tapi
kenapa jauh-jauh ke kedai kopi?” pertanyaan lain timbul di kepalaku.
Bahwasanya, kedai kopi ini ternama akan dua hal. Pertama, biji kopinya
yang diimpor langsung dari Islandia, dan kedua, harganya. Aku tidak
terlalu paham tentang kuliner dan kopi khususnya. Aku hanya dapat
membuat perkiran bahwa beberapa cangkir kopi di kedai ini sebanding
dengan biaya pengobatan gigi yang dibutuhkan si nomor tiga.
“Kopi bikin mata melek dan kaya akan inspirasi,” kata si nomor tiga sambil memainkan daun tanaman sukulen di meja dengan pena.
Si
nomor satu menyangkal, “Kalau mau inspirasi tinggal pergi ke toilet
asrama, tidak dipungut biaya!” Suara keran air yang beradu dengan
perutnya yang menggerutu, baginya adalah sebuah muse. Ia melanjutkan menyeruput kopinya yang sudah tinggal setengah.
Sebelum aku mengajukan pertanyaanku yang lain, Mbak yang duduk di meja sebelah menyela, “Eh,
sori ya Mas. Kalo ngomongin soal biaya, jalan-jalan ke luar rumah juga
gratis. Lebih banyak yang bisa diliat dan ditelusuri dibandingin tembok
kamar mandi!”
Mas
yang sepertinya pacarnya memelotinya, “Kamu tuh jangan suka ikut campur
urusan orang lain”. Seraya mengucapkan maaf, Mas melempar senyum kepada
kami, lantas menambah gaduh diskusi, “Kalau saya boleh saran sih, perbanyak baca tulisan orang lain, siapa tahu ada ide yang bisa diambil..”
“Ngambil-ngambil, dikata mangga kali!”
Si
nomor tiga yang tadi ingin menulis puisi, memutuskan angkat kaki dari
kedai kopi ini. Mbak dan Mas di meja sebelah masih betah di kedai kopi,
meneruskan perang dingin yang terjadi perihal perkara penulisan puisi.
“Ya, elu! Mau nulis aja ribet. Inspirasi mah gak perlu dicari, nanti dateng sendiri”, si nomor satu yang suka diam di kamar mandi menyambar lagi.
Aku
malas menanggapi, sedikit kesal karena kopiku masih terlalu panas untuk
dinikmati. Masih butuh 2 menit lagi untuk membuatnya agak dingin
digigilkan waktu. Tapi, kedua temanku sudah keburu gatal pantatnya untuk meninggalkan kursi.
Mobil
hijau itu kembali melaju, membelah jalanan kota. Kami bertiga akhirnya
memutuskan untuk menyambangi warung pecel lele, mengganti rasa percuma
dengan beberapa suap nasi.
“Ikan
banyak protein yang bagus buat otak, alias gizi yang bagus buat puisi!”
Penyair kita masih ngotot dengan cocoklogi, sembari dibungkusnya
beberapa suwir ikan di dalam daun lalapan.
“Iya,
bisa jadi puisi A-B-A-B, lele dimakan sama nasi, lama-lama jadi tahi.”
Satiris sepertinya sudah rindu kamar mandi. Ku tengok piringnya sudah
hampir bersih dari nasi.
“Kata orang kan lele makannya tahi,” kataku sambil mengambil tusuk gigi.
Kota
mulai gelap. Atau meminjam istilah pujangga sedang kekurangan cahaya.
Versi lain dari temanku yang cempala sudah waktunya para penjaja tubuh
bekerja. Langit makin temaram, pujangga tambah diam. Cempala berhenti
menyela, ejekannya bersemayam.
“Kayanya emang lebih pasti buat beli kupon judi daripada nulis puisi.”
Mobil hijau berhenti.
Pintu
kamar pujangga dibuka, “Susah sekali menulis malam ini. Besok aku akan
ke kota sebelah, ada kedai kue pancong yang baru dibuka di sana.”
Cempala membuka mulutnya, “Aku tidak ikut. Sepertinya besok pagi aku akan sakit perut.”
“Kau?”
Aku
mengangkat bahu, mulai memasukkan kunci ke lubang pintu, “Aku belum
tahu besok seperti apa”. Usai mengucapkan selamat malam, aku masuk ke
kamarku. Kubuka kemeja abu-abu dengan sedikit terburu-buru. Kancing
nomor empat terlepas.
Aku mengambil buku dan pena, lalu mulai menulis puisi.
“Kalau menulis adalah senjata, Pujangga sudah kehabisan amunisi.”
0 komentar:
Posting Komentar