Prakata:
Wow. Baru kata kelima aku sudah gemetaran. Rasanya seperti dikepung oleh sekelompok orang tidak dikenal dalam satu ruangan. Overwhelming.
Tadinya
aku kira aku udah sembuh dari sindrom Peterpan sialan itu. Sampai
setahun lalu, aku masih takut bertambah tua. Aku takut ketika aku bangun
tidur di kemudian hari ternyata hitam rambutku sudah memutih.
Ini sebenarnya rahasiaku: aku selalu takut kehilangan waktu.
Itulah
kenapa, jika kamu sejenak memerhatikan aku, kamu akan sadar bahwa aku
adalah pribadi yang sangat terburu-buru. Tapi anehnya, di sela-sela
gegap gempita akhir perkuliahan, aku justru menemukan diriku jadi jauh
lebih santai. Aku masih bisa menarik nafas, juga tersenyum dan
membiarkan diriku melakukan kesalahan. Yang utama, berhenti
membandingkan diriku dengan siapa saja, bahkan diriku sendiri.
Kedengarannya seperti sebuah pencapaian yang hebat, padahal tidak sama sekali. Seharusnya, dari dulu memang seperti ini.
Isi:
Jakarta.
Aku
masih merasa asing tiap kali mendengar namanya. Kota padat yang rawan
macet ini tidak pernah kusukai dari dulu. Belagu banget gak sih? Haha padahal jarak kediamanku hanya 45 menit dari arah barat kota.
Aku ingat betul, saat sudah hopeless memilih perguruan tinggi, aku pernah berdoa begini:
Tuhan, tolong, jangan Jakarta.
Aku
segitu ogahnya menempuh jarak pulang-pergi ke ibukota. Rumahku yang
berada di tengah-tengah, membuatku merasa jauh dari mana-mana.
Ke stasiun, terminal, bandara, pelabuhan. Semuanya tekor.
Seharusnya
aku menulis prosa romantis tentang Jakarta nanti saja di akhir tahun.
Ketika urusanku dengannya sudah tamat, sudah tutup buku.
Tapi, ya sudahlah. Jakarta tidak akan pernah habis juga untuk diceritakan.
Sumpah
serapah yang datang untuknya, selalu dilawan habis-habisan oleh
rangkaian asa dan harapan orang-orang yang setiap hari menggantungkan
hidup di bawah ketiaknya.
Jum’at
lalu, aku datang ke gedung merah di samping pom bensin di pinggir jalan
raya; kantorku untuk sementara. (Bagian Jakarta yang ini akan aku
ceritakan nanti saja ya?)
Aku duduk di kursi yang menghadap jendela yang membelakangi meja telepon.
Kring-Kring.
Maaf, aku tidak mau mengangkat. Aku sedang pake earphone dan tidak mendengarkan apa-apa.
Happy birthday to you, happy birthday to you.
Kukecilkan suara komputerku, lupa kalau suaranya emang kumatikan.
Suara
tawa berderai datang dari meja sebelah. Aku kenal dia, pada hari kedua
aku pernah disuruh angkat telepon olehnya. Usut punya usut, nyanyian itu
untuknya.
Aku ikut tertawa saja dalam hati. Kulanjutkan mengetik kata kunci di mesin pencari.
Siang datang. Sore menyusul.
Lagu itu diputar lagi. Kali ini lebih besar volumenya. Pantesan, orang pake speaker.
Kulihat di sudut ruangan ada banner laki-laki yang selfie dengan kambing atau dinasaurus gitu. Tapi, lho? Kok laki-laki, mana foto Mbaknya?
Hari
itu, aku kenyang makan nasi kotak dan kue ulang tahun. Senang juga
denger nyanyian sepanjang hari. Meski, semua doa dan ucapan bukan
dikirimkan buatku. Aku yang kesenggol pesannya ikutan riang hatinya.
Yaudah
deh. Gitu aja. Pulang dari sana, hariku sisa 7 jam. Pembagiannya
begini: 5 jam kuhabiskan di perjalanan, 1 jam kuhabiskan untuk makan
malam dengan pacar, sisanya buat balas pesan-pesan yang datang di media
sosial.
Tidak ada yang menarik yah dari cerita ulang tahunku?
Penutup :
Sampai
di ujung paragraf ini aku ingin mengucapkan terima kasih untuk semua
orang di hari itu. Untuk abang gorengan dekat pom bensin, satpam bank
genit sebelah kantor, ibu-ibu cerewet yang mengkuliahiku tentang jalanan
Jakarta (bu, sumpah saya gak mau
denger), kenek Transjakarta yang pasti bosan melihatku berdiri di
tempat yang sama setiap harinya, mas pacar yang menemaniku makan indomie
hampir tengah malam, dan sebagainya.
Selamat ulang tahun buat Mbak Aya dan Mas Siapa Ya Namanya.
Ah,
juga untuk Paw, Vincent, dan Alvin yang menyanyikanku lagu Jamrud (kali
ini lagunya memang benar untukku) besok malamnya. Meski ulang tahunku
sudah kadaluwarsa, tapi aku suka!
Tulisan ini kayanya juga ikut kadaluwarsa pesannya, tapi gapapa ya, semoga kalian suka?